Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Gus Dur dan Cinta Papua

4 Agustus 2018   17:32 Diperbarui: 20 Agustus 2019   07:55 7842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: nu.or.id)

#TerimakasihGusDur sempat menjadi topik perbincangan di twitter. Wajar saja, 4 Agustus merupakan hari kelahiran mantan Presiden kita tersebut. Ketokohan Gus Dur ternyata sangat melekat dalam ingatan publik banyak orang.

Bukan hanya karena ia pernah menjadi Presiden, tetapi publik mengingat sikap dan karyanya untuk bangsa ini. Mengingat dan merayakan hari lahir Gus Dur sekaligus mengenang kebijaksanaannya yang diharapkan bisa ditiru para tokoh bangsa saat ini serta di masa mendatang.

Kebanyakan orang barangkali menyimbolkan Gus Dur sebagai tokoh pejuang pluralisme di republik ini. Berbagai pernyataan dan kebijakannya dinilai sangat ramah untuk menyuburkan benih-benih persatuan di tengah-tengah fakta keberagaman bangsa.

Salah satu contohnya adalah perayaan Imlek. Perayaan itu dilarang digelar secara terbuka, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tersebut dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Dilansir dari harian Kompas, Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Tanuwibowo masih ingat kejadian yang melatarbelakangi pencabutan inpres tersebut. Prosesnya terbilang cepat, malah membuat Budi kaget dengan sikap Gus Dur itu. 

Pernyataan-pernyataan Gus Dur juga sampai sekarang masih terus diingat dan diucapkan oleh banyak orang. Hermawi Taslim, salah satu orang terdekat presiden Republik Indonesia keempat, almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tak menyangka bisa mendampingi dan turut dalam berbagai kegiatan Gus Dur dalam 10 tahun terakhir. Sebagai seorang non-muslim, ia tak menyangka bahwa seorang tokoh Nahdlatul Ulama membuka lebar pintu bagi dirinya. 

Hermawi mengungkapkan, perkenalannya dengan Gus Dur pertama kali di NTT. "Saat itu, Gus Dur ke NTT untuk urusan PKB. Saya bertemu ketika transit. Beliau tanya, 'Kamu orang apa?' Saya jawab saya dari Nias. Beliau mengajak saya bergabung dan mengatakan, 'Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu".

Bapak Orang Papua

Nama Gus Dur juga begitu melekat di hati warga Papua. Tanggal 1 Januari 2001, Gus Dur secara resmi mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Warga Papua masih sangat ingat betul perkataan Gus Dur kala itu, kata demi kata.

"Mata saya memang tidak bisa melihat, tapi hati saya bisa merasakan air mata dan penderitaan orang Papua. Maka dari itu wahai orang Papua, akan kukembalikan harga dirimu sebagai bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia"      

Beberapa waktu sebelumnya, Gus Dur juga mengeluarkan kebijakan kontroversial saat mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres. Gus Dur bahkan memberi bantuan dana untuk menggelar Kongres Rakyat Papua II itu.

Gus Dur bertemu tokoh Papua (Foto: nu.or.id)
Gus Dur bertemu tokoh Papua (Foto: nu.or.id)
Dalam pertemuan yang dihadiri lebih kurang 5.000 peserta dari semua pelosok Papua, mereka dengan terbuka membicarakan pelurusan sejarah Papua. Mereka juga membahas pentingnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. 

Kebijakan Gus Dur berikutnya adalah mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora. Gus Dur beranggapan bendera tersebut merupakan simbol kultural orang Papua. Sekali lagi, kebijakan Gus Dur dianggap kontroversial. 

Rohaniwan Franz Magnis Suseno punya pendapat menarik terkait kebijakan kontroversial Gus Dur khusus mengenai Papua. Menurut Franz Magnis, pemberian nama Papua pada Irian Jaya dan pemberian izin pengibaran Bintang Kejora bukan tanda Gus Dur meremehkan Indonesia. Justru sebaliknya, Gus Dur mau membantu orang-orang Papua untuk bisa menghayati ke-indonesiaan dari dalam.      

Dalam buku berjudul "Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, dan Gus Dur Kita" yang ditulis Muhammad AS Hikam, Franz Magnis menuliskan kata pengantar sebagai berikut:

"Gus Dur percaya orang Papua. Gus Dur tahu bahwa itulah cara untuk merebut hati suatu masyarakat yang puluhan tahun merasa tersinggung, tidak dihormati, dan bahkan dihina. Karena itu orang-orang Papua mencintai Gus Dur".

Mengenai kecintaan orang-orang Papua terhadap Gus Dur, ada satu kisah yang sempat viral di media sosial berdasarkan penuturan Darto Syaifuddin, pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Madrasatul Qur'an Al-Qolam, Papua Barat. 

Darto mengisahkan, pada suatu ketika, kepala suku besar Manokwari Selatan, dan berbagai pihak setempat berkumpul di depan pondok dengan membawa berbagai senjata, seperti tombak, parang, panah. Pada kondisi saat genting itu, Darto hanya pasrah dan menerima apa yang terjadi pada pondoknya itu.

Ketika masuk ke ruang utama pondok, mereka lalu melihat gambar Hasyim Asy'ari, Gus Dur, dan Nahdlatul Ulama (NU). Seketika itu juga mereka berbicara dan langsung menurunkan senjata dengan mengatakan, "Gus Dur itu bapak kami dan NU itu baik dengan kami".

Soal Freeport yang sempat menghangat beberapa waktu belakangan, Adhie M. Massardi, yang saat itu menjadi Juru Bicara Presiden punya kisah menarik. Adhie mengisahkan, bekas Menlu Amerika Serikat, Henry Kissinger pernah datang menemui Gus Dur di Istana. Dia datang dan menyampaikan intimidasi kepada Gus Dur agar mau perpanjang Kontrak Karya Freeport yang dibuat di zaman Soeharto.

Tapi, Gus Dur melawan dan menegaskan tidak akan menggadaikan masa depan Papua. Pasalnya, Gus Dur akan mengeluarkan kebijakan untuk meninjau kembali Kontrak Karya yang pernah dibuat di zaman rezim sebelumnya agar menguntungkan warga Papua supaya cita-cita Kongres Rakyat Papua II yang meliputi hak-hak dasar, seperti bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya rakyat dapat tercapai

Freeport marah bukan hanya soal renegosiasi, Freeport juga marah karena Gus Dur mengusulkan Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Papua, Tombenal, untuk menjadi Komisaris Freeport. Freeport jelas menolak karena Tombenal terkenal keras dan selalu melawan perusahaan asal Amerika Serikat itu akibat limbah yang dibuang ke wilayahnya.

Diam-diam Freeport melakukan gerilya menemui politisi yang bermarkas di parlemen Senayan saat itu. Upaya penghasutan dan adu domba pun mulai dilakukan demi melawan Gus Dur. Sejak itulah, mulai muncul perlawanan keras dari parlemen yang berakhir dengan pemakzulan pada Gus Dur.

Kini, Gus Dur sudah tiada. Namun, di hati orang-orang Papua, sampai kapanpun Gus Dur adalah "Bapak Orang Papua".

***

Jambi, 4 Agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun