Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengenal Lubuk Beringin, Hutan Desa Pertama di Indonesia

24 Mei 2018   20:27 Diperbarui: 24 Mei 2018   20:48 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa Lubuk Beringin yang terletak di Kecamatan Bathin III Ulu, kabupaten Bungo, provinsi Jambi awalnya termasuk kategori desa miskin dan tertinggal yang masih kurang terjangkau oleh program-program pemerintah.

Dari survey BPN tahun 1999, diketahui luas wilayah administrasi desa 2.800 ha, diantaranya terdiri dari 47 ha sawah, 682 ha kebun karet, 13 ha kebun kulit manis dan masih terdapat lahan tidur yang tidak diolah oleh masyarakat yang luasnya 567 ha serta 1.436 ha hutan (kawasan hutan lindung). Desa Lubuk Beringin termasuk penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Mayoritas penduduk desa adalah petani. Mereka mengelola lahan pertanian baik kebun atau sawah dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Dalam mengelola kebun karet yang merupakan perkebunan turun temurun masyarakat desa sejak zaman Belanda, tidak menjadikan perkebunan mereka menjadi monokultur. Hingga sekarang, kita masih bisa menemui pohon karet tua yang ditanam di zaman Belanda.     

Masyarakat desa membuka kebun karet dengan sistem yang mereka sebut berhumo yang dilakukan secara berkelompok. Sebelum dilakukan penanaman karet, lahan tersebut digunakan untuk menanam tanaman semusim seperti padi, cabe rawit, dan tanaman palawija lainnya.

Selama merawat padi dan cabe rawit (sampai 1,5 tahun) akan dilakukan penanaman karet, buah-buahan serta tanaman sayur semusim dengan melibatkan semua anggota keluarga. Setelah panen selesai, pembersihan lahan atau perawatan tanaman karet dilakukan satu kali setahun selam 2-3 kali, selanjutnya lahan akan ditinggalkan sampai dengan pohon karet sudah besar dan siap untuk disadap (10-15 tahun).  

Selain kegiatan perkebunan karet yang mengarah kepada usaha konservasi, masyarakat desa Lubuk Beringin juga masih menjalankan beberapa kearifan lokal diantaranya; lubuk larangan (pengambilan ikan yang diatur sesuai ketentuan adat dan desa), larangan pengambilan ikan di sungai dengan menggunakan pukat panjang, tuba, racun, sentrum, dan bahan-bahan kimia lainnya, larangan pengambilan durian sebelum masak/jatuh dalam jumlah besar.

Semua ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam serta memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dalam jangka panjang. Gagasan dan program-program pemerintah di bidang konservasi bisa diterima dan direspon dengan cukup baik oleh masyarakat desa.

Sejak April 1999-2002, ada program ICDP TNKS (Integrated Conservation Development Project Taman Nasional Kerinci Seblat) yang telah menghasilkan Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) yang memuat semua aturan adat istiadat, nasional atau kesepakatan baru yang berhubungan dengan aspek-aspek kelestarian dan konservasi kawasan Hutan Lindung dan TNKS.

Dokpri
Dokpri
Lubuk Beringin juga menjadi desa pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor. SK.109/Menhut-II/2009 tanggal 17 Maret 2009. Selanjutnya, Gubernur Jambi juga telah memberikan SK HPHD (Hak Pengelolaan Hutan Desa) Nomor: 124 tahun 2009 tanggal 27 Maret 2009. Adapun areal kerja hutan desa yang dikelola berada pada kawasan Hutan Lindung seluas 2.356 ha.               

Hutan desa merupakan salah satu skema kebijakan perhutanan sosial yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan hingga saat ini. Jika awalnya masyarakat benar-benar dilarang masuk ke dalam kawasan hutan, melalui skema kebijakan ini justru diberi peluang untuk turut serta dan berperan aktif melalui pemberian hak kelola dan pemanfaatan kawasan hutan dengan tetap memegang prinsip-prinsip kelestarian.    

Masyarakat desa Lubuk Beringin menyadari betul akan arti pentingnya menjaga hutan. Salah satunya adalah demi menjaga sumber daya air di desa tersebut yang hingga kini masih banyak digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat. Untuk mengairi persawahan, mandi, cuci, dan sebagainya.

Dokpri
Dokpri
Bahkan sebelum listrik PLN masuk, aliran air sungai benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk menggerakkan dinamo pembangkit listrik (masyarakat menyebutnya PLTKA atau Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air). Saat itu, PLTKA sangat membantu aktivitas masyarakat desa.

Hingga kini, potensi air sungai nan jernih di desa Lubuk Beringin juga menjadi daya tarik bagi orang-orang yang datang berkunjung ke desa tersebut. Gemiricik air sungai yang jernih mengundang minat siapa saja untuk menceburkan diri atau minimal sekadar merasakan kesegaran airnya dengan membasuh kaki, tangan, dan muka.

Foto: jambiupdate.co
Foto: jambiupdate.co
Ditambah lagi, pengunjung bisa menyaksikan langsung keriuhan ikan-ikan semah berenang kian kemari yang memang sengaja dibibitkan di sungai tersebut. Semakin menambah sensasi keindahan dan kesegaran suasana alam yang masih terpelihara dengan baik.  

Usaha sungguh-sungguh masyarakat Desa Lubuk Beringin dalam menjaga dan melestarikan hutan tidak sia-sia. Selain dampak langsung yang bisa dirasakan masyarakat setempat, berbagai penghargaan juga sudah diraih baik dalam skala lokal bahkan nasional. Desa tersebut juga sering dikunjungi oleh mereka yang ingin belajar tentang praktik pengelolaan hutan dan lingkungan secara berkelanjutan.     

***

Jambi, 24 Mei 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun