Heboh dan gonjang-ganjing politik yang sedang terjadi saat ini memang berpotensi meluputkan perhatian kita pada hal-hal yang sebenarnya tak kalah penting. Memasuki tahun politik, hampir seluruh perbincangan di media massa termasuk media sosial dikuasai perdebatan para politisi termasuk para pendukung. Â Â Â
Perhatian publik sepertinya luput atas satu peristiwa penting yang terjadi di salah satu sidang pengadilan, tepatnya Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.
Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Said Hasan dan hakim anggota masing-masing Muhammad Tahir dan T Latiful menganulir vonis Mahkamah Agung (MA) terhadap pembakar hutan PT Kallista Alam (PT KA) yang sebelumnya sudah dihukum harus membayar denda Rp 366 miliar. Â Â
Vonis terhadap PT KA awalnya sudah diketok pada 28 November 2013 silam. PN Meulaboh menyatakan perusahan kelapa sawit tersebut bersalah karena melakukan pembakaran hutan.
Hakim menjatuhkan hukuman dan PT KA diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan sebesar Rp 251 miliar.
Atas vonis ini, PT KA lalu mengajukan banding. Tapi Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh menolak permohonan banding PT KA pada 15 Agustus 2014 dan menguatkan vonis itu. Tidak tinggal diam, PT Kallista Alam mengajukan kasasi. Lagi-lagi, upaya itu kandas. MA secara resmi menolaknya pada Juni 2016.
Putusan PN Meulaboh yang baru saja menganulir vonis MA memang menarik untuk dikaji lebih dalam. "Rasanya tidak ada satu pun logika hukum yang dapat menjelaskan apa yang telah terjadi dalam perkara lingkungan di PN Meulaboh ini benar-benar keterlaluan. Setidak-tidaknya kepastian hukum sama sekali tidak ada dalam peristiwa ini," kata jubir Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi kepada wartawan, Senin (7/5/2018), seperti dilansir beberapa media arus utama seperti Detik.com atau juga Kumparan.com
Sementara itu, Koalisi Antimafia Hutan mengecam putusan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh terkait putusannya terhadap PT KA. Vonis PN Meulaboh yang menganulir denda PT KA Rp 366 miliar dianggap janggal.
Koalisi Antimafia Hutan sendiri terdiri dari beberapa LSM, di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Auriga.
Koalisi Antimafia Hutan turut mengeritik pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dinilai tak cepat tanggap. Seharusnya KLHK yang berstatus penggugat dalam kasus ini harusnya langsung menyurati MA dan bukannya ke PN untuk segera melakukan eksekusi. Alhasil dua tahun berselang usai putusan, eksekusi tak kunjung terlaksana.
Putusan PN Meulaboh selain janggal secara prosedural juga harus dipertanyakan dari sisi substansial. Kasus perusakan lingkungan hidup, salah satunya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seharusnya menjadi perhatian penting seluruh elemen bangsa ini.
Kasus karhutla yang terjadi dan berulang setiap tahunnya merupakan momok menakutkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah "langganan" kebakaran seperti: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Aceh dan Papua. Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kabut asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Sudah banyak yang menjadi korban. Ada yang menderita gangguan pernafasan, bahkan ada yang meninggal dunia. Negara-negara tetangga juga sudah menyampaikan protes akibat asap karhutla kita yang sampai ke negara mereka. Â Â
Lebih mengherankan, meskipun kasus karhutla terjadi secara berulang, ternyata masih sedikit sekali pihak-pihak yang berhasil diseret ke pengadilan guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.Â
Khususnya korporasi, jarang sekali kita mendengar vonis pengadilan bagi mereka. Sejauh ini, vonis bersalah pada korporasi pelaku karhutla baru pernah dijatuhkan pada PT. Kallista Alam (Aceh), PT. National Sago Prima (Riau) dan PT. Adei Plantation & Industri (Riau). Berbeda jauh jika kita bandingkan jumlah warga (petani) yang sudah dijerat hukum atas kasus yang sama. Â Â Â
Padahal kasus karhutla terbesar justru sering terjadi di areal izin/konsesi korporasi. Pembakaran hutan dan lahan sengaja dilakukan dalam rangka land clearing (pembersihan lahan) sebelum kegiatan penanaman. Metode membakar tentu saja lebih cepat dan hemat biaya.Â
Menghukum korporasi pelaku karhutla tentu tidak otomatis menghilangkan trauma masyarakat terhadap bencana asap akibat karhutla. Juga tidak akan mengembalikan harta, kesehatan, apalagi nyawa yang sudah terkorban.
Namun melalui penegakan hukum seadil-adilnya, masyarakat masih memiliki harapan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan tidak akan pernah terjadi lagi.
Penegakan hukum tanpa pandang bulu juga akan berdampak positif terhadap persepsi masyarakat yang telanjur skeptis terhadap kesungguhan aparat penegak hukum.
Adanya putusan PN Meulaboh yang menganulir vonis MA lantas membuat kita bertanya-tanya, apakah (aparat) penegakan hukum kita masih serius dan berkomitmen untuk menyelamatkan lingkungan yang tersisa?. Â
Jambi, 7 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H