Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tahun (Kegaduhan) Politik dan Sikap Kita

28 Maret 2018   08:20 Diperbarui: 28 Maret 2018   09:09 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu-isu yang terkait dengan persoalan publik pun dikapitalisasi sedemikian rupa hanya demi menyerang penguasa bukan didasari rasa empati dari dalam diri. Sebaliknya, penguasa kian gemar mengklaim angka-angka keberhasilan yang belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan.

Momen pergantian kabinet kemarin pun menurut banyak pengamat lebih kental nuansa kepentingan politisnya dibandingkan kebutuhan menyusun tim yang bisa bekerja lebih optimal di waktu yang tersisa.

Satu hal yang perlu diingatkan bahwa kegaduhan saat ini sudah terjadi bahkan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan kampanye, sehingga sudah terbayang kegaduhan yang lebih hebat lagi mungkin akan terjadi di hari-hari mendatang. Tensi politik dipastikan kian meninggi dan mencapai puncaknya saat mendekati hari pemungutan suara. Lalu bagaimana sikap kita, siapkah kita?.

Sikap kita

Pada kondisi yang serba rupa ini, kita harus bersikap. Pesta demokrasi bukan sekadar tentang mereka yang berlomba merebut kekuasaan, melainkan tentang nasib kita sebagai warga. Kegagalan memilih pemimpin-pemimpin yang terbaik akan membuat nasib kehidupan kita kian terpuruk.

Data menunjukkan sudah ada ratusan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Ini membuktikan kita sering salah memilih pemimpin. Padahal momen memilih pemimpin terjadwal hanya sekali dalam kurun waktu lima tahun. Kemalasan mencari informasi guna mengenali dan mengidentifikasi sosok mereka akhirnya berakibat fatal karena kita telah memenangkan para calon maling sebagai pemimpin publik.       

Kita mudah terbuai dengan janji-janji manis para politisi sehingga tak bisa lagi membedakan antara janji yang mungkin bisa terealisasi dengan janji yang sekadar mimpi. Seringkali kita mudah dikelabui oleh pencitraan seorang kandidat yang memang sudah dipoles sedemikian rupa oleh konsultan politik dan media ditambah lagi keahliannya berkata-kata.                                

Beberapa waktu lalu kita menyaksikan sendiri pertarungan Pilkada DKI Jakarta yang bisa dikatakan paling brutal dalam sejarah pesta demokrasi kita. Ketika segala cara termasuk yang berpotensi membahayakan persatuan justru dihalalkan demi meraih kemenangan.

Sentimen agama dan ras dikumandangkan untuk bisa mengalahkan lawan. Tak cukup sampai disitu, intimidasi secara terstruktur pun dijalankan. Sialnya, pihak-pihak berwenang yang sudah diberikan mandat oleh negara justru berpangku tangan dan terkesan melakukan pembiaran.                              

Jangan lupakan pula, demi meraih simpati publik, ajang pertarungan politik biasanya "dibumbui" praktik politik uang. Dengan kata lain, mereka sedang mencoba membeli hak suara kita sebagai pemilih. Banyak modus yang biasa dipraktikkan mulai dari terselubung sampai yang terang-terangan.       

Berpulang pada kita sekarang, mampu dan beranikah mengambil sikap yang tepat atau hanya acuh dan sekadar mengikuti arus yang mungkin bisa menghanyutkan. Sekali lagi, pesta demokrasi adalah tentang kita, bukan hanya mereka yang sedang bertarung berebut kuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun