Jika poros tengah ini akhirnya tetap terwujud, penulis melihatnya sebagai poros kekuatan politik yang lemah dibandingkan poros politik yang sudah ada.
Faktor terbesar, tidak adanya tokoh khususnya kader partai yang bisa diajukan untuk menandingi pamor Jokowi dan Prabowo. Sejauh ini, masing-masing partai hanya mengajukan nama kadernya untuk membidik posisi bakal calon wakil presiden.
Memang masih ada kemungkinan mengajukan nama non kader partai yang dianggap memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai calon presiden. Andai itu terjadi, masalah baru akan muncul. Ketiga partai tersebut pasti akan berebut memajukan kadernya sebagai pendamping.
Jika tak ada titik temu, poros ini akan kian tergerus kekuatanya dan bukan tidak mungkin sudah harus "bubar jalan" sebelum bertarung. Â Â Â Â
Pengalaman di Pilkada DKI Jakarta bisa dijadikan rujukan. Spekulasi memunculkan poros tengah dengan mengusung AHY sebagai calon terbukti gagal total. Pasangan AHY-Silvy langsung tersingkir sejak putaran pertama. Â Â Â
Waktu itu kekuatan poros tengah masih diisi oleh Demokrat, PKB, PAN, dan PPP. Untuk Pilpres mendatang PPP sudah menyatakan sikap berada di gerbong pendukung petahana (Jokowi). Â
Atas pertimbangan tersebut, sepertinya langkah terbaik bagi tiga partai politik tersebut adalah memilih bergabung ke salah satu poros kekuatan politik yang sudah ada. Itu pilihan yang lebih logis, sederhana, sekaligus realistis dibandingkan membentuk poros tengah yang sepertinya lemah.
Atau barangkali ide pembentukan poros tengah ini sengaja digaungkan namun hanya sekadar siasat guna menaikkan daya tawar tiga partai politik tersebut di mata dua poros kekuatan politik yang sudah ada ?
Segala kemungkinan bisa saja, namun hanya waktu jua lah yang akan menjawabnya. Kita tunggu saja.
Jambi, 9 Maret 2018 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H