Apresiasi tertinggi layak diberikan pada dua institusi penegak hukum kita yaitu KPK dan Polri. Di tengah keriuhan publik dalam menyambut awal tahun politik, mereka langsung membuat gebrakan.
KPK di awal tahun ini hanya dalam jangka waktu kurang lebih dua bulan mengumumkan penetapan status tersangka terhadap beberapa kepala daerah. Yang terkini, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (ADP) dan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun yang juga ayah dari Adriatma resmi menjadi "pasien" KPK.
Sebelumnya sudah ada nama-nama: Imas Aryumningsih (Bupati Subang), Marianus Sae (Bupati Ngada, NTT), Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalsel), Rudi Erawan (Bupati Halmahera), Mohammad Yahya Fuad (Bupati Kebumen), Zumi Zola Zulkifli (Gubernur Jambi), Nyono Suharli (Bupati Jombang).
Satu hal yang menarik, bahwa hampir semua kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka pada saat yang bersamaan sudah ditetapkan pasangan calon kepala daerah yang sudah siap maju di Pilkada serentak.
Potensi tudingan KPK sedang ikut "berpolitik" dengan menjegal calon-calon partai politik tertentu langsung terbantahkan karena kebetulan hampir semua partai politik mengalaminya.
Publik pantas berterima kasih kepada KPK karena berani bertindak cepat "mencegah" kemungkinan terpilihnya (kembali) para koruptor di Pilkada nanti.
Pengalaman buruk sebelumnya, ada kepala daerah yang baru saja ditetapkan sebagai pemenang Pilkada langsung jadi tersangka tentu pengalaman buruk bagi catatan demokrasi kita. Bahkan, ada beberapa tersangka korupsi yang tetap dilantik sebagai kepala daerah kerena secara prosedural sudah ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Sungguh memalukan. Â Â
Penangkapan MCA
Sementara itu, Polri baru-baru ini menangkap beberapa orang yang diduga sebagai penyebar ujaran provokatif di media sosial. Mereka tergabung dalam grup "Muslim Cyber Army" dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Adapun konten-konten yang disebarkan mulai dari isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan mencemarkan nama baik presiden hingga tokoh-tokoh tertentu. Tidak sulit menyimpulkan aktivitas mereka kemungkinan besar terkait dengan kepentingan aspirasi politik kelompok tertentu.
Aktivitas para pembuat/penyebar konten provokasi dan hoax di media sosial sudah menimbulkan keresahan. Bahaya paling menakutkan adalah timbulnya perpecahan di masyarakat akibat terpengaruh isu-isu yang mereka sebarkan.
Berkaitan dengan pesta demokrasi yang akan kita jelang dalam waktu dekat ini, sudah seharusnya kita merayakannya dengan kegembiraan bukan ketakutan atau di bawah pengaruh intimidasi dan provokasi kebencian.
Cukuplah Pilkada DKI Jakarta saja yang akan tetap dikenang menjadi pengalaman paling buruk sepanjang sejarah pelaksanaan pesta demokrasi di republik ini. Jangan sampai praktik-praktik politik kotor yang mengintimidasi dan memecah belah warga justru dipraktikkan kembali ke berbagai daerah di tanah air. Â
Masyarakat sebagai pemilih harus diberikan edukasi yang mencerdaskan untuk mampu memilih dengan cerdas dan sesuai hati nurani bukan dibodoh-bodohi dengan isu kebencian dan provokasi yang menyesatkan. Hanya dengan itu, pesta demokrasi yang kita laksanakan bisa "naik kelas" dari sekadar rutinitas menjadi lebih berkualitas. Â Â Â Â Â
Jambi, 2 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H