Pemerintah akhirnya secara resmi menunda pembentukan Densus Tipikor (Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi). Keputusan tersebut diambil melalui rapat terbatas yang digelar Presiden Jokowi di Istana Merdeka bersama dengan sejumlah pihak. Â Â
Kapolri Tito Karnavian menjelaskan, salah satu yang menjadi perhatian Jokowi adalah soal pola rekrutmen personel untuk Densus Tipikor. "Beliau meminta agar rencana atau usulan pembentukan densus tipikor ini dikaji lagi. Betul-betul matang baik dari segi internal bagaimana sistem rekrutmennya karena otomatis ada rekrutmen dengan open bidding. Antaranya arahan beliau open bidding di kalangan Polri sehingga yang terpilih terbaik, memiliki integritas dan standar tinggi," ujar Tito usai hadiri Rapat dengan Komisi III, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/10). Â
Tito menyebutkan ada beberapa permasalahan lain yang turut disoroti oleh Jokowi. Permasalahan tersebut seperti penataan SOP serta tata cara kerja internal dan eksternal Polri yang dinilai masih perlu dikaji lebih lanjut.
Sebagaimana diketahui bersama, usulan pembentukan Densus Tipikor ini kembali mencuat beberapa waktu belakangan ini setelah adanya Rapat antara Kapolri dengan Komisi III DPR RI. Meski diprediksi akan menelan biaya fantastis sekitar 2,6 triliun rupiah, para anggota Komisi III ternyata tetap mendukung usulan tersebut.
Berbeda dengan sikap DPR RI, beberapa kalangan justru masih tetap mempertanyakan bahkan kontra terhadap usulan pembentukan Densus Tipikor karena dianggap tidak relevan dan tidak mendesak. Pembentukan Densus Tipikor bahkan dicurigai sebagai upaya untuk menggantikan peran KPK. Ini terkonfirmasi dari pernyataan beberapa anggota DPR RI sendiri yang jelas-jelas mengatakan bahwa jika Densus Tipikor telah terbentuk, otomatis KPK sudah tidak dibutuhkan lagi.
Pro dan kontra terhadap usulan ini semakin menarik perhatian karena ternyata dari pihak pemerintah pun masih belum satu suara. Wapres Jusuf Kalla bahkan terang-terangan menyatakan tidak setuju dengan ide tersebut karena menganggap lebih baik mengoptimalkan kinerja lembaga-lembaga penegak hukum yang sudah ada.
Penulis menganggap bahwa keputusan penundaan pembentukan Densus Tipikor merupakan langkah bijak dan tepat yang diambil Presiden Jokowi dalam rangka mengakhiri polemik yang berkepanjangan. Bukan tidak mungkin, ini semata-mata untuk menciptakan kondisi yang lebih kondusif terlebih lagi mempertimbangkan isu-isu terkini.
Sebagaimana diketahui, pada saat yang bersamaan, Perppu No.2 tahun 2017 tentang Ormas yang tak kalah kontroversial pun sedang dalam tahap pembahasan akhir di Paripurna DPR. Setelah melalui voting, Perppu tersebut telah ditetapkan menjadi Undang-undang. Namun, pengesahan itu bukan tanpa catatan.
Sejak digulirkan, Perppu tersebut mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak. Rezim ini dianggap sedang berupaya memberangus kebebasan berserikat, berkumpul yang jelas-jelas dijamin oleh konstitusi. Penolakan terus berlangsung bahkan hingga menjelang disahkannya Perppu tersebut.
Upaya pemerintah untuk menjelaskan motif dan tujuan Perppu tersebut kelihatannya tidak memberikan hasil maksimal. Bahkan, sikap pemerintah yang menyatakan siap untuk merevisi beberapa pasal dalam rangka penyempurnaan, justru dianggap sebagai bentuk pengakuan bahwa Perppu tersebut memang bermasalah secara substansial.
Kembali lagi soal pembentukan Densus Tipikor. Keputusan penundaan bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk mendengar suara publik. Faktanya saat ini publik lebih percaya pada KPK dibandingkan institusi penegak hukum lainnya dan tentu saja DPR. Sikap DPR yang sangat ngotot menyetujui usulan tersebut ditambah lagi pernyataan beberapa anggotanya, justru membuat publik kian merasa yakin ada motif lain dibalik usulan pembentukan Densus Tipikor tersebut.