Sebagai pengguna media sosial, bisa lihat sendiri beberapa teman kita yang entah sadar atau tidak turut menjadi penyebar kebencian/provokasi bernuansa agama. Ada yang menyampaikannya secara tersirat, namun tidak sedikit pula yang terang-terangan dan terbuka. Modusnya beragam. Ada yang sekadar membagikan (share) informasi berita, kutipan, gambar atau pernyataan yang kebanyakan asal usul sumbernya tidak jelas. Ada pula yang aktif “membumbui” informasi yang dibagikannya dengan kata atau kalimat-kalimatnya sendiri.
Aktivitas menyebarkan provokasi/kebencian bernuansa agama ibarat virus yang bisa menghinggapi siapa saja. Tak kenal usia, status sosial atau tingkat pendidikannya. Saya memiliki pertemanan di media sosial dengan seseorang yang saya tahu memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan ia berprofesi sebagai dosen. Membuat saya heran, jejak aktivitasnya sehari-hari di media sosial tak lebih dari sekadar menyebarkan provokasi bernuansa agama. Ia juga gemar mengomentari ajaran agama yang tidak diyakininya.
Beberapa pejabat publik kita juga ada yang gemar memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak ramah terhadap adanya perbedaan agama. Bukannya menyejukkan, mereka justru senang memantik api kebencian.
Mengontrol diri
Untuk itulah perlu belajar tanpa henti agar cerdas dalam berinteraksi di media sosial. Belajar mengendalikan diri, menahan diri serta rajin melakukan klarifikasi. Saya berpikir, sekuat apapun usaha yang dilakukan pemerintah, sepertinya tidak akan pernah mampu menghentikan penyalahgunaan media sosial yang bernuansa agama.
Kita menghargai upaya pemerintah yang sudah memblokir banyak situs yang dianggap gemar menyebarkan provokasi dan kebencian. Kita juga apresiasi tindakan sigap aparat keamanan yang sudah menangkap oknum-oknum yang dengan sengaja telah menyalahgunakan media sosial. Porsi pemerintah untuk terus mengedukasi warga agar cerdas menggunakan media sosial sekaligus melakukan perlindungan terhadap upaya penyalahgunaan tentu harus terus ditingkatkan.
Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa upaya-upaya tersebut tetap saja belum maksimal. Jagat maya terbukti dengan cepat mampu beranak-pinak. Hari ini, ada satu situs provokator yang ditutup, tapi hari ini pula sudah muncul lima situs provokator yang baru. Hari ini polisi menangkap seorang penyebar kebencian, esok bisa saja muncul lebih banyak lagi provokator di media sosial.
Solusi terbaiknya tentu saja ada pada diri masing-masing. Kita harus terbiasa mengontrol diri agar tak mudah terprovokasi. Menahan diri agar tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi/berita yang tidak jelas asal-usulnya. Selanjutnya, rajin melakukan klarifikasi terhadap informasi yang kita peroleh. Sikap kritis benar-benar diperlukan agar kita tidak “tersesat” di dunia maya.
Langkah-langkah praktis pun bisa kita lakukan misalnya, menandai situs-situs yang terbukti sudah berulangkali menyebarkan informasi fitnah dan kebohongan. Artinya, kita bisa langsung mengabaikan informasi apapun yang disampaikannya. Tak ada gunanya membuang waktu habis percuma. Kita harus belajar menahan diri karena situs “abal-abal” tersebut biasanya cukup pandai memilih judul-judul berita yang membuat pembaca merasa penasaran.
Agar pikiran kita tetap waras dan tidak terkontaminasi, perlu juga untuk sesegera mungkin memutus pertemanan dengan siapapun di media sosial yang sehari-harinya selalu sibuk menyebarkan provokasi dan kebencian. Masih banyak orang di media sosial yang setiap harinya gemar menyebarkan kebaikan. Belajarlah dari mereka. Entah apapun agama, suku, tempat tinggal, status sosial, tingkat pendidikannya. Setiap harinya, kita perlu mengisi diri dengan hal-hal yang positif.
Mari belajar menerima dan menghargai perbedaan. Tetaplah waspada karena isu agama begitu mudah dipelintir untuk menciptakan kebencian sekaligus permusuhan. Kita harus belajar dari para pendiri bangsa. Mereka terbukti mampu menempatkan kepentingan bangsa diatas segalanya. Sesungguhnya perbedaan jika dirawat dan dikelola dengan baik akan menciptakan keindahan. Kerukunan beragama harus terus kita rawat dan tingkatkan, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga