berpose di depan mi comisariato (dok. pribadi)
Penggunaan istilah hemat kian melekat untuk banyak hal yang berkaitan dengan pengeluaran uang. Bukan hanya yang menyangkut jual beli barang yang umum dilakukan, seperti di masa lalu. Istilah ini kian melekan pada banyak hal dan semakin luas diasosiasikan. Maka kita pun menjadi terbiasa mendengar jalan-jalan hemat sebagai ungkapan memikat dari penyedia jasa tour and travel, nonton hemat ala bioskop popular di tanah air, ngobrol hemat ala iklan provider telekomunikasi, dan masih banyak lagi.
Hemat memang identik dengan pilihan sikap bijak dalam menggunakan uang, paling tidak itu yang semua orang akan pikirkan mengenai definisi hemat. Dan itu dipahami benar oleh pelaku bisnis untuk mempropaganda konsumen bahwa barang dan jasa yang ditawarkannya merupakan pilihan bagi konsumen yang bersikap bijak dalam pengeluaran. Meskipun adakala itu hanya sebuah jebakan dan strategi bisnis belaka. Karena seringkali nilai kegunaan yang ditawarkan jauh dibawah nilai harga yang diberikan. Dalam arti lain, konsumen seringkali dijebak oleh tawaran gaya hidup dan merk yang nilainya jauh lebih mahal dari nilai kegunaan dari produk atau jasa yang dibelinya.
Konsumen cerdas tentu tidak akan mudah terjebak pada sikap pragmatis, nalarnya senantiasa bisa berjalan dengan baik, dan selalu dapat memilah mana yang menjadi kebutuhan dan layak untuk dibeli dan mana yang tidak. Sekalipun iklan senantiasa melambai dimanapun ia berada, di depan TV kah itu, di internet, di sepanjang jalan yang ia lalui atau bahkan di dalam tempat perbelanjaan itu sendiri. Terkecuali jika ia memiliki uang berlebih untuk sebuah gaya hidup dan merk yang memang memberi kepuasan tersendiri baginya. Namun untuk konsumen yang pendapatannya terbatas, harus cerdas dalam berbelanja.
Alasan hemat pula yang pada akhirnya mendorong konsumen untuk memburu produk yang sedang di diskon, atau membanjiri tempat perbelanjaan yang terkenal murah. Karena ia bisa mengurangi biaya belanja dalam nilai puluhan ribu hingga ratusan ribu untuk setiap kali aktifitas berbelanja. Itupula sebabnya Walmart yang meskipun menuai banyak cacian dari konsumen di Amerika, karena rendahnya kualitas pelayanan dan panjangnya antrian. Toh pada akhirnya ia tetap di serbu pembelanja setiap harinya, karena ternyata semakin banyak orang berusaha mengubur kekecewaannya terhadap sebuah pelayanan dan kenyamanan selama ia bisa menghemat beberapa lembar uang yang dimilikinya. Dan itu terjadi di Amerika, dimana taraf hidup masyarakatnya lebih baik di banding di Indonesia. Sudah pasti masyarakat Indonesia bisa berkorban lebih besar untuk bisa berhemat.
Berbicara masalah hemat, tentu ada komparasi di dalamnya. Komparasi pengeluaran untuk sesuatu yang dianggap ‘lebih mahal’ dengan hal sejenis yang ‘lebih murah’. Tidak perlu ada training bagi konsumen untuk bisa mengenali sikap hemat dalam pengeluaran yang secara kasat mata tidak tersamar. Sebagai contoh, minyak makan kemasan 1 liter dengan merk A dijual dengan harga lima belas ribu rupiah. Dan minyak makan yang secara kasat mata berkualitas sama bermerk B dijual dengan harga dua puluh ribu rupiah. Saya rasa hampir semua orang akan sepakat bahwa dengan membeli minyak makan bermerk A berarti kita telah menghemat lima ribu rupiah untuk satu Ãtem barang belanjaan. Nah, bagaimana jika ada begitu banyak Ãtem belanjaan yang bisa dihemat dengan selalu berupaya menjadi pembeli smart.
Dan alasan hemat itu pula yang dijadikan strategi bagi Mi Comisariato selaku salah satu retail besar untuk kian menggurita di Ecuador. Di Ecuador, hampir di semua toko kelontong yang saya masuki untuk membeli barang kebutuhan, setiap produk sudah diberi label harga yang relatif sama antara satu toko kelontong dengan toko kelontong lainnya, contohnya saat saya membeli sebotol air mineral bermerk A di toko yang ada di Santa Elena seharga 0.3 dollar. Maka harga air miniral itu pun akan dijual dengan harga yang relatif sama dengan di toko kelontong yang ada di Naranjal. Dan harga yang relatif sama juga akan saya temui di supermarket. Karenanya saya tidak perlu terlalu takut untuk ditipu oleh penjual karena mengetahui saya bukan warga negara sini, mereka pasti mengenali dari cara saya berbicara dengan bahasa Spanyol.
Hal itu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Mi Comisariato sebagai pelaku retail di Ecuador untuk melakukan kiat bisnis tertentu agar dicinta dan diburu oleh konsumen. Dan ternyata, selain dengan upaya menyediakan barang kebutuhan selengkap-lengkapnya, Mi Comisariato pun berupaya untuk memproduksi sendiri berbagai barang kebutuhan, dari yang sepele sampai yang berupa kebutuhan pokok. Beberapa diantaranya yaitu : sabun mandi, sabun cuci, es krim, dan menjualnya SEPARUH dari harga barang sejenis dengan merk lain.
Saya tahu bahwa Alfamart maupun Indomart juga membuat beberapa produk dengan merk retail mereka. Namun ada perbedaan yang saya lihat disini. Alfamart maupun Indomart, sejauh yang saya ketahui, tidak memberikan penawaran harga yang jauh berbeda dengan produk sejenis dalam merk lain.
Agar lebih mudah dipahami, ini contohnya, saya membeli es krim dengan merk Mi Comisariato seharga 1.25 dollar untuk ukuran 1 liter. Dan saya pun membeli es krim dengan ukuran yang sama merk Pingüino seharga 3.5 dollar. Contoh barang lainnya saya membeli dtergen Mi Comisariato seharga 1 dollar, sedangkan detergen dengan ukuran yang sama merk Deja dijual seharga 2.5 dollar. Sabun mandi mi comisariato isi 2 buah dalam satu bungkus harganya sekitar 0.5 dollar, sedangkan merk lain perbuah lebih dari 0.5 dollar. Apakah itu akan kita temui di Alfamart atau Indomart?
[caption id="attachment_333205" align="aligncenter" width="300" caption="sabun mandi proactive (dok.pribadi)"]
Dan itu menjadi sebab mengapa Mi Comisariato senantiasa dibanjiri pembeli. Penduduk Ecuador yang saya lihat tidak sekonsumtif masyarakat Indonesia. Jarang terlihat ibu-ibu memborong begitu banyak belanjaan baik dipasar tradisional maupun di pusat perbelanjaan seperti layaknya di Indonesia. Disini bahkan menjadi jamak jika makanan yang kita pesan di restoran ataupun di resto cepat saji seperti KFC misalnya, tidak habis di makan di tempat tersebut, maka kita bisa meminta pada pelayan agar sisa makanan tersebut dibungkus dan dibawa pulang. Dan kita tidak perlu malu untuk melakukannya.
Di perusahaan tempat saya bekerja, seorang pimpinan berkulit putih dan kental dengan darah Spanyol bahkan tidak akan sungkan untuk menghabiskan sisa makanan dalam sebuah jamuan makan bersama, jika ia melihat para bawahan dan semua orang yang hadir disitu sudah tidak ada yang mau memakannya. Dan ini sangat bagus saya rasa, dan sama sekali tidak menurunkan kewibawaannya sebagai atasan.
Masyarakat Indonesia mungkin bisa dikatagorikan sebagai masyarakat yang senang berbelanja. Itu sebabnya Alfamart atau Indomart menjamur dimana-mana. Sebagai konsumen, saya kok tidak terlalu tertarik untuk membeli produk dikedua gerai tersebut dengan nama merk dagang yang sama, semisal air kemasan dengan merk Indomart. Dalam benak saya, air mineral itu kualitasnya belum tentu bagus, sedangkan harga tidak jauh berbeda dengan merk yang sudah terkenal. Mungkin banyak konsumen lainnya berpikir demikian. Saya rasa akan berbeda ceritanya, jika harga dengan merk tersebut dipatok hanya separuh dari harga merk lainnya (ngarep.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H