Mohon tunggu...
Sono Rumekso
Sono Rumekso Mohon Tunggu... -

Life is about helping and serving others.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Karena Novela Orang Papua

13 Agustus 2014   21:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NAMA Novela menjadi perbincangan yang sangat hangat sejak kemunculan dan kesaksiannya dalam sidang gugatan Pilpres di MK. Bukan tentang substansi apa yang disaksikannya dalam persidangan di MK, tetapi lebih ke arah style bagaimana dia mengkomunikasikan apa yang ada di dalam pikirannya. Siapapun akan tertawa melihat dan mendengar bagaimana Novela berkomunikasi dan menjawab pertanyaan baik dengan Majelis Hakim maupun dengan kuasa hukum.

Sebagai orang yang bertahun-tahun pernah hidup di Papua bahkan di pedalamannya, saya tidak heran melihat bagaimana Novela bersaksi. Orang-orang seperti Novela sering saya jumpai. Tidak ada rasa takut menghadapi siapapun. Kalau kita menghadap pejabat pemerintah atau ingin bertemu dan berdiskusi dengan mereka, kita memikirkan banyak hal, sikap, sopan santun dan pilihan kata yang mungkin harus kita siapkan. Tetapi bagi Novela dan banyak orang-orang di sana, seolah nothing to lose. Tidak peduli siapa yang dihadapi bahkan saat ada kesempatan berbicara kepada Pangdam, Kapolda, Gubernur, Bupati, tidak ada yang bisa menghambat mereka untuk berbicara.

Apakah gaya yang disampaikan oleh Novela di pengadilan bisa diterima? Ketika Novela menggunakan pilihan kata 'dibodoh-bodohi' tidak ada teguran apapun dari majelis hakim. Apakah karena Novela orang Papua sehingga hakim  'memaklumi'?  Saya membandingkan dengan saksi lain yang ditegur oleh majelis hakim bahkan ada anggota majelis hakim yang menggunakan pendekatan 'kekuasan' saat bertanya pada saksi. Tetapi hal ini tidak terjadi saat majelis hakim berdialog dengan Novela.

Dalam banyak kesempatan, Papua seolah menjadi "anak emas".  Banyak hal yang dimaklumi jika sesuatu yang salah terjadi di sana. Di Papua kita menemukan  angka epidemi HIV sangat tinggi, gizi buruk yang memprihatinkan, index SDM yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai dlsb. Jika sesuatu yang salah itu dimaklumi dan menganggap sesuatu yang salah adalah hal yang biasa, disitulah petaka terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun