Hanya ada di Indonesia, iklan layanan masyarakat paling populer di dunia. Iklan tersebut ada di berbagai sudut, baik di kampung, kota kecil sampai di kota-kota besar. Isi dari iklan tersebut mengandung makna suatu pesan. Biasanya ditulis dengan alat ala kadarnya, bisa dengan cat, arang dapur, kapur, spidol bahkan ada yang menggunakan efek warna daun yang diambil tidak jauh dari tempatnya. Cukup memikat perhatian publik walaupun ditulis oleh orang yang tidak memiliki ilmu komunikasi.
“DILaRAnG kENCIng DiSini, KeCUaLi AnJiNg”
Walaupun sudah ada tulisan tersebut, baunya masih menyengat. Itu pertanda ada orang yang melanggar walaupun sudah ada larangan. Ternyata betul terjadi, tiba-tiba Caciem datang dan kencing di tempat terlarang. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut, mencaci maki, menghujat dan mentertawakan. Namun Caciem cuek bebek, tak menhiraukan cacian, makian dan hujatan yang ditujukan kepadanya. Usul punya usul, ternyata Caciem buta huruf.
Kenapa Caciem masih buta huruf. Siapa yang salah Caciem masih buta huruf. Mengapa Caciem yang tidak bisa membaca malah di marah-marah. Apakah yang salah Menteri Pendidikannya atau Presidennya atau orang tuanya atau gurunya. Tak seorangpun yang mau disalahkan termasuk Caciem sendiri.
Malapeta bersumber dari diri sendiri. Kenapa siswa tidak bisa Matematika, kenapa siswa malas belajar IPA, kenapa siswa tidak senang Bahasa Inggris, kenapa siswa takut dengan gurunya. Kenapa siswa tidak bisa matematika di marah-marah, kenapa siswa malas belajar IPA di bentak-bentak, kenapa siswa tidak senang Bahasa Inggris di hukum.
Buat apa kalau bisa matematika, buat apa kalau pinter IPA, buat apa kalau senang Bahasa Inggris. Siswa tidak tau buat apa kalau bisa, karena gurunya tidak pernah memberitahu, tidak pernah memotivasi, tidak pernah memberi pujian, tidak pernah memahami pribadi siswa dan yang pasti gurunya tidak punya perasaan.
Satu pengalaman yang diulang-ulang selama belasan tahun. Pendidikan dulu dan kini jauh berbeda. Karakter siswa banyak dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk sekolahan itu sendiri. Mungkin metode mengajar yang jadul, mungkin kemampuan gurunya yang kurang, mungkin mengajar tanpa skenario yang tepat, mungkin mengajar kurang konsentrasi, mungkin gurunya terlalu banyak hutang, mungkin gurunya kurang sehat, mungkin gurunya mata keranjang, mungkin gurunya sedang selingkuh, mungkin gurunya sedang mabuk, mungkin gurunya angker, mungkin gurunya sedang rebutan jabatan, mungkin gurunya sedang rebutan jumlah jam mengajar.
“Akibat dari itu semua, integritas guru rendah”, jelas Bento.
“Masak begitu Bro”, sangkal Caciem.
“Ya i ya lah…masak siswa selalu dikambinghitamkan terus”, terang Bento.
“Bener… coba bayangkan, kalau tidak ada siswa, guru mau ngajar apa”, tambah Caciem.
“He he he….bingung cari siswa, ujung-ujungnya Cas cis cus”, guman Bento.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H