“Begitu ya?” ujarnya setengah tertawa, “baik kalau kamu tidak ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Baik-baik saja?”
Aku tidak punya pilihan lain selain menjawab, ‘iya,’ dan anggukan kecil.
Meski sorot matanya tak lagi sama saat diamatinya aku menganggukkan kepala.
“Kamu membenciku?”
Aku tertegun. Spontan menghadapkan wajah ke arahnya. Dia masih menatapku dengan sorot muka yang tidak kumengerti. Ada gestur lembut saat dia menatapku dengan binar mata bersahabat. Aku dibuat luruh, sarkatisku mencair.
“Kenapa bertanya begitu?”
“Who knows?”
Aku ingin berteriak ditelinganya keras- keras. Memakinya dengan kata ‘Bodoh!” berkali-kali. Dia sama sekali tidak perlu bertanya apa pun, termasuk menginterogasiku apakah aku membencinya atau tidak. Terlalu retoris.
Karena dia sudah pasti tahu bahwa bagiku membencinya adalah sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang tidak mungkin bisa kulakukan, tanpa alasan.
“Bagaimana kuliahmu di sana?” aku mengganti pertanyaan basinya dengan topik yang lain. Mencairkan suasana.
“So far so good. Kamu sendiri yang bilang kan? Aku terlihat lebih baik sekarang.”