Mohon tunggu...
Sekdilu Mel39enda
Sekdilu Mel39enda Mohon Tunggu... -

Diplomat soon to be

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekdilu 39 Ikuti Lokakarya Bersama IOM Tentang Migran Ireguler di Indonesia

26 September 2015   10:45 Diperbarui: 26 September 2015   11:29 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya pemberitaan mengenai asylum seekers dan refugees yang mencari negara untuk dijadikan sebagai rumah kedua menjadi isu internasional yang sedang hangat. Beragam alasan menjadi pemicu mengapa banyak orang yang ingin bermigrasi dari negara asalnya, mulai dari adanya konflik kelompok yang terjadi karena politis maupun agama, permasalahan ekonomi sampai dengan perang. Banyak cara yang ditempuh demi mencari ‘rumah’ yang aman dan damai tersebut termasuk dengan cara illegal salah satunya adalah people smuggling.

Untuk mempelajari lebih dalam isu ini, Sekdilu 39 berkesempatan untuk mengikuti lokakarya yang diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Luar Negeri dengan International Organization for Migration (IOM) pada tanggal 7-8 September 2015 di Yogyakarta. Lokakarya ini mengambil tema “Penanganan Penyelundupan Manusia dan Migran Ireguler” dengan seminar di hari pertama dan kunjungan lapangan di hari kedua.

Di hari pertama, seminar disampaikan oleh perwakilan dari IOM, Dinas Sosial DIY, Polda DIY, dan Direktorat Imigrasi Kemkumham. Di hari kedua, kami mengunjungi Pantai Samas sebagai salah satu jalur pemberangkatan para migran ireguler menuju wilayah Australia dan berbincang dengan seorang warga yang berhasil menggagalkan upaya penyelundupan migran ireguler. Pak Sadino, yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan, telah bermitra dengan Polair Polsek Bantul dan Polda DIY sehingga berhasil membantu Polisi dalam menggagalkan upaya migran ireguler saat hendak menyeberang ke Australia. Selain itu, kami juga mengunjungi Asrama Haji Yogyakarta yang juga menjadi rudenim (rumah detensi imigrasi) bagi para imigran yang sudah memiliki status refugee. Di sana, kami berbincang dengan para imigran yang berasal dari berbagai negara seperti Iran, Irak, Afghanistan, dan Myanmar.

[caption caption="Pak Sadino dan Petugas Polair Polsek Bantul berbagi cerita di Pantai Samas"][/caption]

Lokakarya ini memberikan gambaran nyata kepada kami mengenai isu migran ireguler di Indonesia dan akan menjadi bekal kami dalam menjalankan tugas sebagai diplomat Indonesia, terlebih saat ditugaskan untuk berunding mengenai isu migran ireguler dalam forum-forum internasional. Berikut adalah sedikit ulasan dari ilmu dan pengalaman yang kami terima selama mengikuti lokakarya di Yogyakarta mengenai migran ireguler dan penanganannya di Indonesia.

Apa Perbedaan Human Trafficking dan People Smuggling?

Berbeda dengan human trafficking, people smuggling terjadi karena kehendak para migran yang secara sengaja menempuh cara ilegal untuk bermigrasi ke negara tujuan karena situasi negara mereka yang tidak aman dan damai sedangkan human trafficking terjadi bukan karena sukarela dan tujuannya adalah untuk dieksploitasi. Dalam hal means keduanya hampir sama, keduanya dapat ditempuh dengan cara yang ilegal (pemalsuan dokumen) dan tidak aman. Masih ingat dengan bocah kecil dari Suriah yang bernama Aylan Kurdi yang ditemukan meninggal di tepi pantai akibat terbaliknya perahu yang ditumpangi olehnya, Ibunya dan Kakaknya Galip (5 tahun) pada saat mencoba untuk mencapai pulau Kos di Yunani? Itulah salah satu gambaran bagaimana para migran berusaha untuk keluar dari negaranya dan mencari rumah kedua mereka termasuk dengan cara ilegal. Mencari tempat yang aman bagi para migran tersebut sama halnya dengan mempertaruhkan nyawa mereka.

Potret Migran Ireguler yang Transit di Indonesia

Dari mana saja asal para migran tersebut? Beberapa migran berasal dari Afghanistan, beberapa dari Iran. Mereka memiliki tujuan yang sama yaitu ingin menuju ke Australia melalui Indonesia. Perjalanan yang ditempuh mereka lalui baik melalui udara ataupun laut. Beberapa melakukan perjalanan langsung ke Indonesia melalui perjalanan udara, namun beberapa melakukan perjalanan melalui laut dengan menggunakan kapal setelah melakukan penerbangan ke Malaysia. Untuk perjalanan tersebut mereka menggunakan ‘agen’ yang jaringannya telah tersebar baik di Malaysia ataupun Indonesia.

Apa alasan mereka meninggalkan negara asal? Alasan mereka meninggalkan negara bermacam-macam. Sebagai contoh salah satu migran dari Iran menyebutkan bahwa alasannya meninggalkan Iran karena dia merupakan keturunan Kurdistan yang terancam keadaannya serta tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak meskipun telah mengemban pendidikan sampai dengan S1. Contoh lainnya adalah salah seorang migran yang berasal dari Afghanistan yang menyampaikan bahwa pergi dari Afghanistan merupakan sebuah cara dimana kehidupan yang aman dan damai serta keadaan ekonomi yang lebih baik akan dapat diperoleh mengingat keadaan Afghanistan tidak stabil karena terjadinya konflik agama maupun politis.

Dimana para Migran tersebut ditampung? Shelter untuk menampung para migran disebut rumah detensi imigrasi (rudenim). Banyak rudenim yang disediakan oleh Indonesia untuk migran tersebut salah satunya rudenim di Pontianak. Contoh lainnya adalah Asrama haji Yogyakarta, salah satu tempat dimana para migran yang telah berstatus refugee menunggu keputusan UNCHR untuk resettlement ke negara ketiga. Bukan waktu yang sebentar, dua tahun atau lebih mereka harus menunggu keputusan UNHCR. Selama masa menunggu tersebut, mereka melakukan kegiatan peningkatan kapasitas seperti fotografi ataupun berinteraksi bersama masyarakat sekitar.

[caption caption="Salah satu kelompok Sekdilu 39 saat berbincang dengan para imigran di Asrama Haji"]

[/caption]

Apa yang sudah dilakukan oleh Indonesia?

Indonesia bukan negara anggota UNHCR namun Indonesia memberikan kontribusi dalam isu people smuggling seperti menyediakan rudenim untuk para migran dan membantu dalam penanganannya. Tidak hanya itu, Indonesia juga melakukan penjagaan di wilayah perbatasan laut dengan menempatkan Polisi Air serta membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) di pesisir pantai serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat pesisir mengenai people smuggling. Adapun dalam menangani isu people smuggling, Indonesia tidak sendiri melainkan dibantu oleh International Organization on Migration (IOM).

Salah satu contoh nyata kasus people smuggling adalah kasus yang terjadi di Pantai Samas, Yogyakarta pada 17 Februari 2012 lalu. Bapak Sadino, salah satu anggota kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) di pesisir Pantai Samas menjadi saksi nyata sekaligus pelaku dalam menghentikan people smuggling. “Go...Go...” ungkapnya saat menceritakan bagaimana dia mengingat kilas balik upayanya dalam mencegah people smuggling. Pada saat mendengar kata ‘go’ tersebut dia melihat banyak orang asing yang berlari menuju ke 6 perahu miliknya yang telah disewa namun usaha mereka gagal karena ditangkap oleh Polisi Air. Bapak Sadino sebelumnya telah melakukan koordinasi dengan Polisi Air setempat karena kecurigaannya kepada penyewa perahu yang beralasan akan menangkap ikan padahal pada bulan tersebut bukan waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan nelayan. Kecurigaannya juga didasari pada cerita mengenai kasus people smuggling yang terjadi di Gunung Kidul dan mendorongnya untuk mengadukan hal tersebut kepada Polisi Air setempat. Laporannya ditangggapi oleh Polisi Air dan dilakukan upaya-upaya untuk menangkap para migran ireguler tersebut sehingga tertangkaplah 30 orang. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa betapa pentingnya kelompok-kelompok pengawas yang dibentuk di tiap pesisir pantai dan koordinasi yang baik dengan pejabat pemerintahan setempat untuk menangani kasus people smuggling.

[caption caption="Pak Sadino, warga Samas yang menjadi mitra Polair Polsek Bantul dan Polda DIY "]

[/caption]

Setelah para migran iregular tersebut ditangkap, mereka akan didaftarkan ke UNCHR dan melewati assessment untuk mendapatkan status sebagai refugee. Dengan statusnya tersebut, mereka baru bisa mendapatkan kesempatan untuk resettlement, repatriation atau pun integration into community.

(DSS/AS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun