Mohon tunggu...
Qory Dellasera
Qory Dellasera Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis adalah bekerja untuk keabadian -PAT-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Perempuan Internasional: Perempuan (Masih) dalam Petaka Penindasan

8 Maret 2016   09:30 Diperbarui: 8 Maret 2016   10:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan, dalam perjalanan sejarahnya telah mengalami berbagai bentuk penindasan. Setelah fase pembagian peran dan kerja yang menyamakan derajat kemanusiaan perempuan dan laki-laki dalam sebuah masyarakat komunal di masa lalu berakhir, sejak itulah fase perbudakan muncul dan memulai eksploitasi habis-habisan terhadap posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan yang sebelumnya mempunyai hak dan kewajiban yang adil dan setara dalam masyarakat, dihilangkan paksa dengan meminggirkan dan menempatkan perempuan ke ranah domestik. 

Kemudian lambat-laun peminggiran perempuan ini “dipatenkan” menjadi sebuah aturan yang terus menerus dipupuk dan dipertahankan dari masa ke masa sehingga dianggap menjadi hal yang kodrati (patriarki). Tugas-tugas kerumahtanggaan (domestik) seperti memasak, mencuci, merawat anak, melayani suami menjadi hal yang patut dimiliki oleh perempuan. Sedangkan di ranah seksual dan reproduksi, perempuan menjadi pabrik anak dan pemenuhan kebutuhan seksual suami. Perempuan harus tunduk dan patuh kepada laki-laki pasangannya dan tidak berdaya ketika dinikahkan pada usia yang sangat muda, dipoligami, kehilangan identitas, mengalami KDRT, kekerasan seksual, kekerasan psikis dan kekerasan ekonomi.

Domestifikasi yang terbungkus dalam patriarki ini lalu ditarik ke ranah struktural oleh negara dan pemilik modal sehingga mengakibatkan ketimpangan relasi.Ketimpangan relasi ini menempatkan posisi perempuan tersubordinat dalam struktur ekonomi, sosial dan politik. Dengan iming-iming demokrasi, perempuan sudah boleh bekerja di luar rumah, memiliki hak suara, hak berorganisasi, hak untuk duduk dalam kursi parlemen, hak untuk berkespresi dan berkarya, dan sebagainya.

Berkembang paradigma bahwa ketimpangan relasi ini akan hilang ketika perempuan diberi ruang untuk ikut merasakan demokrasi. Hal ini diamini oleh negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Maka dibukakanlah “sedikit” kran demokrasi bagi perempuan sehingga perempuan tidak lagi berteriak dan melawan ketimpangan relasi. Memang terbukti, saat ini perempuan telah mengisi lapangan kerja, terwakilinya 30 persen perempuan dalam parlemen, perempuan telah mengisi tampuk pemerintahan, adanya transportasi khusus perempuan, kesempatan mengenyam pendidikan lebih tinggi dan sebagainya.

Namun ternyata, membuka kran demokrasi bukanlah jawaban atas hilangnya penindasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan di tahun 2014 (CATAHU) mencatat jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di tahun 2014 sebanyak 293.220 kasus. Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan ini meningkat dibanding tahun 2013 (CATAHU) sebesar 279.760 kasus. Jenis-jenis kasus yang dialami perempuan juga beragam diantaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Seksual (Perkosaan), Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP). Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI) juga masih sangat tinggi. Dari data WHO (2014), AKI di Indonesia mencapai 214 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT), data yang dihimpun Jala PRT dari tahun 2012 – 2015 terdapat 1.474 kasus.

Sementara itu, kekerasan ekonomi juga terjadi pada perempuan pekerja. Di banyak perusahaan, cuti haid dan melahirkan masih sering dilanggar, upah kerja yang diterima perempuan juga lebih sedikit, penempatan perempuan pekerja di sektor yang tidak signifikan sehingga upah yang diterima rendah, kontrak kerja yang tidak jelas sehingga rentan untuk dieksploitasi, upah borongan yang seringkali tidak layak diterima dan sebagainya. Perempuan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga boleh dibayar lebih rendah daripada upah laki-laki.

Beruntun, akibat yang lain juga dirasakan oleh para Pekerja Rumah Tangga. Karena anggapan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan (domestik) merupakan pekerjaan rendah, maka upah yang diterima juga rendah. Eksploitasi terhadap waktu kerja, beban kerja, jenis pekerjaan bahkan kekerasan fisik dan psikis terhadap PRT makin banyak terjadi akhir-akhir ini. Yang cukup menggemparkan adalah kasus Toipah dan kasus Ani yang saat ini masih menjalani proses hukum.

Melanggengkan penindasan terhadap perempuan juga menguntungkan secara ekonomi. Dengan mempertahankan patriarki, maka pemilik modal dapat menjaga kaum perempuan untuk tetap berada di rumah mengerjakan pekerjaan domestik dengan label ibu rumah tangga. Pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemilik modal untuk meraup keuntungan namun tidak membuat para pemilik modal harus membayar upah. Bisa dibayangkan hilangnya sebagian keuntungan yang didapat pemilik modal jika harus menyediakan tempat penitipan anak dan segala fasilitasnya. Atau jika harus membayar tunjangan untuk jasa Pekerja Rumah Tangga untuk mengurusi rumah bagi perempuan yang bekerja.

Neoliberalisme dan turunannya sekarang ini, perempuanlah yang paling merasakan dampaknya. Lemahnya posisi perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat, menyebabkan perempuan sering sekali dilanggar hak ekonomi, sosial dan politiknya, serta dibatasi aksesnya terhadap sumber daya. Perempuan masih dianggap sebagai komoditi; sebagai barang yang dapat menghasilkan nilai lebih sehingga terjadilah pengeksplotasian terhadap tubuh perempuan.

Selain itu, terbatasnya akses terhadap kesehatan reproduksi, jaminan keselamatan dan jaminan sosial bagi ibu dan anak, belum adanya tempat Penitipan Anak yang disediakan pemerintah, masih terbatasnya ruang menyusui, menunjukkan betapa lemahnya keberpihakan negara terhadap kaum perempuan. Akibatnya, pemiskinan, pembodohan, pengasingan, bahkan kematian yang dialami perempuan merupakan cermin gagalnya kehadiran negara dalam memberi perlindungan terhadap perempuan.

Banyak produk hukum yang tidak adil terhadap perempuan. Undang-undang yang selama ini dianggap menjauhkan perempuan dari keadilan (misalnya UU Perkawinan) harus segera direvisi. Beberapa Rancangan Undang-Undang (misalnya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan PRT) juga telah disodorkan ke DPR , namun hingga saat ini belum ada satupun dari RUU tersebut disahkan.

Penindasan kultural dan struktural terhadap perempuan dalam berbagai ranah ini, harus segera diakhiri. Penindasan ini tidak lahir begitu saja, tetapi seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ada sebuah sistem yang sengaja dibangun oleh pemilik kekuasaan maupun pemilik modal untuk memposisikan perempuan sedemikian rupa tak berdaya.

Perspektif keadilan dan kesetaraan perlu dipahami oleh perempuan itu sendiri. Perjuangan menuju keadilan dan kesetaraan perempuan memang merupakan proses yang panjang dari produk sejarah yang tetap bertahan hingga sekarang. Dalam konteks ini, gerakan perempuan menemukan jalannya. Sejarah Hari Perempuan Internasional menjadi bukti bahwa perempuanlah yang harus bergerak, bukan menunggu hadiah atau belas kasihan dari penguasa.

Merekonstruksi sistem yang ada saat ini tidak hanya bersandar pada pendidikan keadilan dan kesetaraan. Tetapi harus didorong menuju kualitas yang lebih tinggi adalah membangun gerakan rakyat yang lebih luas. Semakin besar kekuatan, semakin mudah mendorong perjuangan agar berhasil menghapus ketertindasan. Dengan membangun organisasi-organisasi perempuan yang berjuang untuk kesetaraan dan keadilan adalah hal yang penting untuk dilakukan saat ini.

Disadari atau tidak, mengharapkan negara hadir menyelesaikan penindasan yang terjadi pada perempuan masih sangat sulit. Pemenuhan hak terhadap perempuan juga masih dijalankan setengah hati oleh pemerintah. Walaupun sudah merupakan tanggungjawab negara untuk melindungi rakyatnya, memanusiakannya, dan karena perempuan adalah bagian dari rakyat.

Selamat Hari Perempuan Internasional.

“…Masjarakat tidak terdiri dari kaum laki-laki sadja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan sadja. Masjarakat adalah terdiri dari kaum laki-laki dan kaum perempuan, dari kaum perempuan dan kaum laki-laki. Tak sehatlah masjarakat itu, manakala salah satu fihak menindas kepada jang lain, tak perduli fihak mana yang menindas dan tak peduli pihak mana yang tertindas. Masjarakat itu hanjalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, jang sama tengahnja, sama beratnja, sama adilnja.” (Dr.Ir.Sukarno, Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, Tjetakan Ketiga/1963 hal.41)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun