1. Agar sektor migas diliberalisasi.
2. Agar terjadi internasionalisasi harga, agar harga-harga domestik migas disesuaikan dengan harga internasional.
3. Agar asing boleh masuk sektor hilir yang sangat menguntungkan dan bahkan risikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.
Pertama kali draft undang-undang ini diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto pada masa pemerintahan Habibie, ditolak oleh DPR atas saran kami karena kami pada waktu itu adalah penasihat DPR untuk keempat Fraksi, Fraksi Angkatan Bersenjata,
Fraksi Golkar, dan PPP dan PDIP.
Kemudian selama pemerintahan Gus Dur Undang-Undang ini nyaris stak tidak ada kemajuan karena tidak mungkin dilewatkan jika Menkonya itu Pak Kwik Kian Gie dan kemudian dilanjutkan oleh saya. Begitu pemerintahan Gus Dur jatuh, undang-undang ini kemudian diajukan dengan sangat cepat oleh Pak Boediono sama Pak Purnomo kawan saya dan diproses di DPR dengan sangat cepat.
Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington telah berhasil menggolkan undang-undang ini yang sangat penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat, dan conditionalities-nya, dan sering diiming-imingi dengan pinjaman, apa yang dikenal sebagai loan-tied laws, undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman.
Dalam sejarah Indonesia, itu banyak sekali kasusnya. Saya berikan contoh, ADB menawarkan U$300.000.000,00 dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang- Undang Privatisasi BUMN. Jadi, Undang-Undang Privatisasi BUMN ini dipesan oleh ADB dan ditukar dengan pinjaman sebesar U$300.000.000,00. Undang-Undang Privatisasi Air dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman U$400.000.000,00. Jadi, air yang di dalam Undang-Undang Dasar kita dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat sebesar-besarnya, itu pun mau diswastanisasikan. Dan untuk itu, Pemerintah Indonesia diberikan pinjaman U$400.000.000,00, Undang-Undang Migas termasuk. Jadi undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman luar negeri, penuh prasyarat, itu tidak mungkin tujuannya betul-betul untuk menyejahterakan rakyat dan negara Indonesia. Sudah pasti ada kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut dompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut.
Ini semuanya kebanyakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, banyak sekali undang-undang begini. Dan ini adalah pintu masuk dari liberalisasi dan neoliberalisasi di dalam bidang ekonomi. Jadi, kalau zaman Belanda dulu, Belanda mau berkuasa di Indonesia, itu harus pakai senjata, harus pakai pasukan. Kalau sekarang itu tidak perlu, siapa saja boleh jadi presiden ya, siapa saja, partai apa saja boleh berkuasa. Yang penting, undang-undang dalam bidang ekonominya itu merupakan pesanan dari kepentingan asing. Dari situlah Indonesia dipaksa mengambil langkah-langkah dan undang-undang yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan bertentangan dengan itikad untuk memanfaatkan semua sumber daya alam itu untuk kesejahteraan rakyat dan bangsa.
Seharusnya, pembuatan undang-undang tidak boleh dibiayai oleh asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, sehingga undang-undang betul-betul mencerminkan kepentingan rakyat dan bangsa kita. Tidak mungkin asing membiayai dan memesan undang-undang tanpa melibatkan kepentingan strategis mereka.
Salah satu adalah menyangkut harga. Menurut UU Migas harga itu harus sama dengan harga internasional. Saya mengulangi kembali karena ini penting sekali. Contoh yang sangat sederhana, pulpen ini ongkos produksinya Rp90,00. Kalau dijual di Indonesia, harganya Rp100,00. Tetapi seandainya pulpen ini dijual di New York, harganya Rp1.000,00. Para ekonom neoliberal dan essensi UU Migas akan mengatakan, “Indonesia rugi karena kalau dijual di dalam negeri hanya Rp100,00, kalau dijual di luar negeri, di New York, ini Rp1.000,00.” Inilah di belakang dasar dari banyak pikiran supaya harga Migas di dalam negeri disamakan dengan harga internasional.