Oleh : Qory Dellasera
Hari ini adalah 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan yang sekaligus adalah hari lahir RM Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Dikenal karena perjuangannya menentang penjajahan Belanda dan perhatiannya terhadap dunia pendidikan. Tidak menamatkan pendidikan di STOVIA, dibuang ke Belanda, menjadi guru dan mendirikan Taman Siswa hingga menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan setelah kemerdekaan.
Sebenarnya, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara ada banyak tokoh yang memperjuangkan pendidikan di Indonesia diantaranya  Dewi Sartika, RA Kartini dan KH Ahmad Dahlan. Tapi, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud membandingkan atau mempermasalahkan layak atau tidaknya tokoh-tokoh tersebut karena pemikiran dan perjuangan masing-masing terkait dalam konteks yang berbeda. Namun, satu hal yang dapat saya garis bawahi adalah pemikiran-pemikiran maju dari para tokoh ini dalam hal pendidikan, layak kita telaah. Apalagi, di era sekarang konstruksi pendidikan kita sangat jauh dari apa yang para tokoh ini cita-citakan yaitu mewujudkan pendidikan yang humanis.
Akhir-akhir ini, marak terjadi kasus-kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Akhir  tahun 2013 hingga tahun 2014 ini setidaknya dari pantauan saya di media elektronik, cetak maupun online, ada 25 kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Tentu saja angka kekerasan itu bisa lebih banyak dari yang saya pantau atau yang sengaja disembunyikan di media. Yang paling menyita perhatian kita  adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi  lingkungan JIS beberapa waktu lalu, kasus guru di SDN 8 Baturaja yang menghukum muridnya telanjang di depan kelas karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan yang terbaru adalah kasus kekerasan di STIP dan IPDN.
Tentunya, kekerasan ini tidaklah berdiri sendiri. Kita tidak bisa melihat kasus-kasus tersebut adalah kesalahan sepihak baik itu pendidik, peserta didik atau metode pendidikannya saja. Kesemuanya itu berada dalam satu kesatuan sistem pendidikan yang diterapkan dalam proses pembelajaran. Kekerasan yang ingin saya tekankan disini bukan hanya kekerasan fisik dan psikis  tetapi juga kekerasan seksual . Juga dunia pendidikan yang saya maksudkan disini tidak terbatas pada institusi pendidikan saja, namun juga relasi antara pendidik dan peserta didik yang kesemuanya itu tak lepas hubungannya dari peran negara dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Institusi pendidikan hendaknya menjadi wadah interaksi ilmu pengetahuan, bukan menjadi tempat melanggengkan kekuasaan para pendidik sehingga dianggap bisa melakukan apa saja terhadap peserta didiknya. Kebanyakan kekerasan justu terjadi di dalam lingkungan institusi pendidikan itu sendiri. Juga karena pendidik memegang kendali atas kepunyaan ilmu pengetahuan sehingga turut memudahkan seorang guru melakukan kekerasan seksual  dan menambah catatan hitam dunia pendidikan di Indonesia. Kasus kekerasan seksual guru terhadap murid (contoh kasus : pemerkosaan yang dilakukan guru di Rote Tengah terhadap muridnya yang masih kelas 6 Sekolah Dasar pada Januari lalu) adalah bukti nyata disorientasi dan dehumanisasi pendidikan itu sendiri.
Melihat bukti-bukti nyata ini, sudah jelas ada yang salah dalam sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Menurut saya, ada tiga hal yang menjadi akar kekerasan dalam dunia pendidikan kita, pertama; sistem pendidikan yang tidak setara. Di Indonesia, kemajuan pendidikan dibebankan kepada peserta didik dalam hal ini murid, siswa ataupun mahasiswa. Yang berlaku kemudian adalah superioritas pendidik terhadap peserta didik itu sendiri. Metode yang dilakukan pun bisa bermacam-macam misalnya memberi hukuman yang dianggap setimpal karena tidak mematuhi perintah pendidik. Pendidik merasa mempunyai kewenangan penuh terhadap metode pengajaran yang ia yakini dapat membantu keberhasilannya dalam mendidik. Alhasil dalam menerima ilmu pengetahuan, peserta didik cenderung merasakan "keterpaksaan" bukan atas kesadaran bahwa pendidikan itu juga adalah kebutuhan bagi mereka.
Lulusan-lulusan karbitan bertebaran yang pada akhirnya tidak siap melangkah pada proses kehidupan selanjutnya. Saya pernah mendapati satu kejadian dimana seorang anak takut pergi ke sekolah karena tidak mau mengikuti proses belajar mengajar. Setelah saya tanyakan alasannya, anak itu menjawab bahwa dia takut ke sekolah karena gurunya sering membentak di kelas kalau ada anak yang tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan gurunya. Metode pengajaran ini menurut saya salah karena psikologi anak bisa terganggu dan akan berpengaruh pada perkembangan anak ke depannya. Sangat sedikit guru yang sadar ataupun punya bekal dalam hal mendidik. Belum lagi guru yang menggunakan fungsi jabatannya untuk berlaku semaunya terhadap muridnya. Sang guru membuat dirinya menjadi begitu ditakuti oleh muridnya sendiri sehingga suasana proses belajar mengajar tak ubahnya seperti pendidikan militer yang penuh dengan tekanan psikologis. Hal ini juga yang sering dimanfaatkan oleh guru yang bermental bobrok, mengancam tidak meluluskan atau memberi nilai jelek sehingga tega melakukan kekerasan seksual kepada anak didiknya sendiri.
Kedua, Institusi pendidikan yang rapuh dalam hal menjalankan, mengawasi dan mengevaluasi proses belajar mengajar. Pihak sekolah cenderung lepas tangan ketika ada kasus kekerasan yang terjadi di dalam sekolah mereka. Mereka menganggap justru proses belajar mengajar yang terjadi di lingkungan sekolah mutlak menjadi tanggungjawab guru, bukan tanggungjawab institusi. Kasus JIS misalnya, menyalahkan para pengajar di sekolah mereka karena tidak memberikan pengawalan atau jaminan keamanan bagi setiap muridnya. Padahal, di sekolah tersebut ada pihak keamanan yang berfungsi menjaga lingkungan sekolah dari tindakan-tindakan kekerasan. Adalah hal yang aneh ketika sistem keamanan tidak berfungsi lantas menyalahkan guru padahal sudah jelas menjadi tanggung jawab sekolah untuk melindungi setiap kegiatan yang terjadi selama jam sekolah berlangsung.
Ketiga, negara tidak punya konsep dan arah sistem pendidikan di Indonesia akan dibawa. Finlandia dan Jepang; kedua negara ini menerapkan aturan keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk berkasih sayang, bersikap adil dan bertanggungjawab terhadap diri mereka, manusia dan lingkungan sekitar mereka.
Di Indonesia, pendidikan kognitif lebih ditonjolkan dibanding pendidikan karakter. Padahal kedua hal itu sangat penting untuk mencetak generasi muda yang cerdas bukan saja dalam ilmu pengetahuan tetapi juga dalam hal sikap dan perilaku yang humanis. Sekolah hanya bertanggungjawab mengajarkan keilmuan dan pengetahuan umum saja. Bimbingan dan konseling yang dibentuk oleh sekolah hanya bertugas menyelesaikan kasus kekerasan yang terjadi, tetapi tidak memberikan aspek preventif kepada seluruh pelaku didik semisal menanamkan nilai-nilai humanisme dalam proses belajar mengajar.
Negara dalam menerapkan sistem pendidikan di Indonesia mindsetnya diarahkan kepada kepentingan pasar, bahwa sekolah akan menjamin penghidupan masa depan yang lebih cerah. Bagi saya ini juga adalah salah satu bentuk kekerasan. Kita diarahkan untuk berpikir setelah lulus sekolah, lapangan pekerjaan menanti dan persaingan akan semakin ketat. Akan tetapi, tidak pernah diarahkan pada pengembangan potensi diri anak karena setiap anak punya potensi yang berbeda yang turut berpengaruh pada kehidupannya di masa mendatang. Padahal, dari potensi tersebut berbagai kesempatan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik juga bisa mereka peroleh dengan kehendak mereka sendiri tanpa disetir oleh pendidik.
Di awal tulisan ini saya menyatakan bahwa perjuangan dan cita-cita para pahlawan pendidikan kita patut kita gali kembali. Disorientasi dan dehumanisasi dalam pendidikan adalah ancaman besar bagi masa depan bangsa ini. Dari yang saya paparkan di atas mengenai akar kekerasan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada dua solusi kongkrit yang bisa saya tawarkan. Pertama, merekonstruksi sistem pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan haruslah diarahkan untuk memanusiakan manusia. Guru tidak punya hak istimewa untuk menerapkan metode kekerasan terhadap muridnya. Bahkan sebelum menjadi guru, mereka sudah dibekali dengan metode pengajaran kesetaraan dan humanistik, bahkan dibekali dengan pengetahuan tentang feminisme. Mental para calon guru pun harus dibenahi sehingga dalam proses belajar mengajar bisa seimbang, komunikatif dan dialogis. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab untuk ini? Jawabnya adalah negara. Negara perlu menyediakan pelatihan dan bimbingan pengajaran yang berperspektif setara kepada para guru dan calon guru sehingga dalam proses belajar mengajar tidak ada superioritas yang muncul dan tidak ada lagi pemanfaatan atas jabatan mereka untuk dengan mudah melakukan kekerasan fisik, psikis dan seksual kepada muridnya.
Yang kedua, harus ada jaminan keamanan dalam setiap proses pembelajaran yang terjadi baik di institusi pendidikan formal maupun nonformal. Harus ada aturan yang memperketat pengawasan dan evaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Kelas-kelas khusus ditiadakan karena diskriminasi tersebut bisa memunculkan potensi kekerasan di lingkungan sekolah. Praktek kemiliteran yang berindikasi pada kekerasan di sekolah juga harus dihilangkan. Untuk apa mengajarkan kekerasan kepada anak didik jika di kemudian hari itu akan berdampak buruk pada anak tersebut. Bisa saja setelah lulus anak itu akan ikut menerapkan praktek kekerasan ala militer di lingkungannya yang baru atau ketika ia kemudian menjadi pendidik.
Bagi saya, itulah yang harus kita benahi. Secara umum, semoga tulisan ini bermanfaat dan  dapat membantu bagi kemajuan pendidikan kita ke depan yang lebih humanis. Bukan tidak mungkin, kesetaraan akan dapat kita peroleh jika kita menerapkan konsep pendidikan yang setara pula.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Jakarta, 2 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H