Negara dalam menerapkan sistem pendidikan di Indonesia mindsetnya diarahkan kepada kepentingan pasar, bahwa sekolah akan menjamin penghidupan masa depan yang lebih cerah. Bagi saya ini juga adalah salah satu bentuk kekerasan. Kita diarahkan untuk berpikir setelah lulus sekolah, lapangan pekerjaan menanti dan persaingan akan semakin ketat. Akan tetapi, tidak pernah diarahkan pada pengembangan potensi diri anak karena setiap anak punya potensi yang berbeda yang turut berpengaruh pada kehidupannya di masa mendatang. Padahal, dari potensi tersebut berbagai kesempatan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik juga bisa mereka peroleh dengan kehendak mereka sendiri tanpa disetir oleh pendidik.
Di awal tulisan ini saya menyatakan bahwa perjuangan dan cita-cita para pahlawan pendidikan kita patut kita gali kembali. Disorientasi dan dehumanisasi dalam pendidikan adalah ancaman besar bagi masa depan bangsa ini. Dari yang saya paparkan di atas mengenai akar kekerasan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada dua solusi kongkrit yang bisa saya tawarkan. Pertama, merekonstruksi sistem pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan haruslah diarahkan untuk memanusiakan manusia. Guru tidak punya hak istimewa untuk menerapkan metode kekerasan terhadap muridnya. Bahkan sebelum menjadi guru, mereka sudah dibekali dengan metode pengajaran kesetaraan dan humanistik, bahkan dibekali dengan pengetahuan tentang feminisme. Mental para calon guru pun harus dibenahi sehingga dalam proses belajar mengajar bisa seimbang, komunikatif dan dialogis. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab untuk ini? Jawabnya adalah negara. Negara perlu menyediakan pelatihan dan bimbingan pengajaran yang berperspektif setara kepada para guru dan calon guru sehingga dalam proses belajar mengajar tidak ada superioritas yang muncul dan tidak ada lagi pemanfaatan atas jabatan mereka untuk dengan mudah melakukan kekerasan fisik, psikis dan seksual kepada muridnya.
Yang kedua, harus ada jaminan keamanan dalam setiap proses pembelajaran yang terjadi baik di institusi pendidikan formal maupun nonformal. Harus ada aturan yang memperketat pengawasan dan evaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Kelas-kelas khusus ditiadakan karena diskriminasi tersebut bisa memunculkan potensi kekerasan di lingkungan sekolah. Praktek kemiliteran yang berindikasi pada kekerasan di sekolah juga harus dihilangkan. Untuk apa mengajarkan kekerasan kepada anak didik jika di kemudian hari itu akan berdampak buruk pada anak tersebut. Bisa saja setelah lulus anak itu akan ikut menerapkan praktek kekerasan ala militer di lingkungannya yang baru atau ketika ia kemudian menjadi pendidik.
Bagi saya, itulah yang harus kita benahi. Secara umum, semoga tulisan ini bermanfaat dan  dapat membantu bagi kemajuan pendidikan kita ke depan yang lebih humanis. Bukan tidak mungkin, kesetaraan akan dapat kita peroleh jika kita menerapkan konsep pendidikan yang setara pula.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
Jakarta, 2 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H