Keluarlah dari sembunyimu wahai roh para pujangga purba,
bangkitlah dari sisik-sisik batu,
dari lipatan-lipatan kitab tua.
Lihat mumi-mumi puisi kalian ini sedang meluap membanjiri pori bumi
Remaja mengerubungi rumah-rumah pustaka, mengacak-acak Gurindam Duabelas dan sebaris Bulan di atas Kuburan Malam Ramadhan yang dierami Sitor Situmorang dengan air mata.
Kemarin kurindukan engkau, dengan kemenyan yang masih berasap-asap lalu kubuahi rahim-rahim puisi dengan arangnya agar lahir bayi-syair yang lebih mancung dan lebih gagah dari Eyangnya.
Kita sama-sama pernah saksikan purnama meleleh di kelambu dan gerimis yang membatu dibalik bantal. Kita, yang buru-buru mencoretkannya dibalik saputangan jam satu lewat tengah malam.
Keluarlah dari batu-batu nisanmu, wahai sipenulis batu dan kulit kayu.
Lihat kalian huruf-huruf bukumu ini,
Semua telah beterbangan di udara. Abadi di balik kaca-kaca.
Gubuk Rasa. Samosir, lewat tengah malam '21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H