PAGI itu sekitar Pukul Lima, adalah kali kedua seorang lelaki tua kembali memapah langkah menuju arah bukit kecil yang tak jauh di samping gubuknya dengan tentengan kain putih berlumuran darah basah di tangannya setelah empat tahun lalu juga ia melakukan hal yang sama. Langit masih remang dan berembun.
Langkah gemetar dari sisa-sisa tenaga begadangnya ia menelusuri perbukitan yang agak menanjak. Terus bergegas mencapai puncak. Dengan cangkul di tangan kanan dan bungkusan putih berlumur merah basah di tangan kiri. Hanya belasan menit perjalanan, langkahnya berhenti.Â
Ia sejenak menghela nafas yang masih terengah-engah. Tepat di hadapannya berdiri tegak rimbun sebatang pohon beringin yang kelihatan sudah sangat tua umurnya tampak dari batangnya berbalut lumut yang menjalar hijau dan akar-akar gantungnya yang ramai menancapi tanah.
Sambil mengais-ngais tebaran dedaunan kering di sekitar beringin, si lelaki tua mulai menggali sebuah lobang. Tanahnya lembab dan gembur sehingga tak terlalu sulit menggalinya.
Di dalam lobang yang tidak begitu besar dan hanya tiga cangkul dalamnya itulah kemudian diletakkannya tentengan kain berlumur darah tadi lalu segera menguburkannya kembali dengan tanah galian serta mengeraskan tanahnya hingga betul-betul rapat sampai dipastikan tak akan ada lagi kemungkinan ada anjing yang bisa mencium dan mengoreknya keluar.
Sehabis meratakan tanah, si lelaki tua itu kemudian meluruskan tulang punggungnya dan menatap ke arah rindangnya dahan ranting pohon beringin tua di hadapannya. Tangannya seperti menengadah menyembah.
''Wahai roh para leluhurku, terimalah kehadiran anak keduaku di muka bumi ini dan tolong jaga dia agar terhindar dari mara bahaya sekitarnya. Berikan juga rasa sedarah diantara kedua anakku agar tetap mengingat tempat ini sebagai simbol keramat persatuan silsilah, tradisi, sejarah keluarga''.Â
Dipalingkannya lagi wajahnya menatap segundukan tanah yang telah menyerupai kuburan kecil itu sambil berjongkok, kemudian memesankan sesuatu;
''Sebenarnya kamu dilahirkan berdua tapi hidupmu hanya sementara sebab harus berkorban demi kehidupan bayiku dan kau rela dipotong pisah dari pusarnya agar simbol kemanusiaan itu sempurna diterimanya. Aku sangat berharap agar senantiasa kau selalu mengawal hari-hari anakku kelak dan mengingatkannya tentang kebaikan, kedamaian dan bakti kepada leluhur''.Â
Sejenak dia menghela nafas dan memejamkan mata lalu bergegas kembali menuruni bukit kecil di bawah semburat sinar mentari pagi yang mulai cerah menjelang siang sambil mengusap tetesan-tetesan keringat di dahi dengan punggung tangannya yang masih tersisa noda darah dan air ketuban.
Sesampainya di halaman gubuknya, nyaring tangisan mungil seorang bayi menyeruak seperti menyambut kedatangannya. Sebuah tangisan suci yang bagai menangisi persinggahannya di dunia fana yang penuh kekerasan ini. Pilu, menggema.Â