ANALISIS UNSUR NOVEL
Analisis singkat novel ini melingkupi unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam konten novel “Pulang” karya Leila S. Chudori.
Unsur intrisnsik yang dapat penulis amati adalah sebagai berikut:
a. Tema. Tema novel ini mengenai politik yang merujuk pada tragedi berdaerah 1965 yang dikenal dengan G30 S PKI dan runtuhnya rezim Orde Baru 1998.
b. Amanat. Mengajarkan sejarah masa lalu yang harus dihargai dan dijadikan sebagai kritikan buat Pemerintah Indonesia. Tokoh utama Dimas Suryo mengajarkan bagaimana menentukan pilihan dalam hidupnya sebagai suatu anugerah yang harus diperjuangkan. Persahabatan, pengorbanan dan kesucian cinta adalah gambaran amanat dari kisah tersebut.
c. Plot/Alur. Plot/Alur cerita yang digunakan adalah maju mundur dengan melalui flash back. Kita bisa melihat dari konflik yang disajikan Leila S. Chudori yang menyajikan berupa pembuktian melalui surat nyata dan penokohan yang begitu mendalam.
d. Penokohan. Penulis menggambarkan masing-masing tokoh dengan karakter yang menggelitik namun kuat. Kita bisa melihat karakter tersebut di paparan cerita dibawah ini.
e. Penokohan. Leila memberikan masing-masing tokoh karakter yang kuat, misalnya Dimas dikisahkan sebagai Ekalaya dalam tokoh pewayangan, seseorang yang memandang lurus kehidupan, alumni Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia yang bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Nusantara.
Kemudian, Hananto dikarakterkan sebagai seorang pimpinan, sahabat dan sekaligus lawan diskusi Dimas. Surti sebagi perempuan cantik jelita yang tanggung jawab ditengah perburuan berdarah suaminya, Hananto.
Nugroho Dewantoro, asal Jogja yang lebih senior namun berprinsip egaliter dalam kelompok, yang digambarkan sebagai sosok paling ceria, optimis dan kerap menjadi motor penyemangat saat mereka dirundung keputusasaan dalam masa pelarian.
Kemudian ada tokoh Risjaf, berasal dari Sumatera dengan perawakan tubuh ideal dan berwajah tampan yang digambarkan sebagai sosok paling lugu dan penurut. Lalu ada Tjai Sin Soe, seorang tokoh Tiong Hoa yang paling apolitis dari semuanya.
Aji Suryo, adik Dimas yang berbudi dan tulus, seorang lulusan ITB yang memilih hidup merunduk dan bekerja sebagai kepala laboraturium penelitian sebuah pabrik ban terkemuka. Ia memang tidak tertarik terlibat dalam politik.
Lalu ada Vivienne Deveraux, wanita Prancis yang menjadi istri Dimas karena mengalami efek le coup de foudre alias cinta pada pandangan pertama pada lelaki Asia yang ditemuinya di tengah ribuan massa aksi mahasiswa dan buruh dalam revolusi Paris, Mei 1968 di depan UNiversitas Sorbone.
Tokoh lain Segara ALam, Bulan, Kenanga, Bimo, Lintang, Rama dan Andini. Serta peran pembantu, Narayana, Radytia, Yos, Gilang dan Mitha.
Dalam cerita ini, Lintang Utara, putri tunggal Dimas dan Vivienne yang sangat cerdas, hidupnya ditempa oleh nuansa sastrawi ayahnya dan nuansa intelektual ibunya sedangkan Segara Alam, putra Hananto yang 10 tahun lebih tua dari Lintang, tumbuh sebagai sebagai anak eks tapol yangpenuh stigma, ia menjelma menjadi sosok pemuda yang sangat cerdas, kritis dan keras dalam berpendirian.
f. Latar Setting utama kisah ini adalah Indonesia dan Perancis ketika terjadi gerakan G30 SPKI 1965, Revolusi Perancis Mei 1968, dan Reformasi Rezim Orde Baru Mei 1998.
g. Sudut Pandang. Penulis menempatkan dirinya sebagai sudut pandag orang ke satu dan sekaligus orang ke tiga. Karena sudut pandang dalam novel ini berubah-ubah, hal ini yang sedikit membuat bingung pembaca karena penempatan tokoh berubah secara tiba-tiba.
Narasi Cerita: Pulang
Novel Pulang adalah paparan mengenai peristiwa bersejarah yang dimulai dengan peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis tahun 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai digulingkannya Presiden Suharto pada rezim Orde Baru di Indonesia.
Tokoh utamanya adalah Dimas Surya ayah dari seorang Putri cantik Lintang yang dilahirkan dari seorang wanita Prancis bernama Vivienne Deveraux. Dimas Surya memiliki tiga orang sahabat yang bernama Nugroho, Tjai, dan Risjaf.
Mereka menyebutkan dengan Empat Pilar Tanah Air yang sudah diharamkan menginjak tanah air sendiri. Para eksil politik ini melarikan diri ke luar negeri hingga luntang-lantung di Kuba, Cina, dan Benua Eropa sampai akhirnya memutuskan untuk menetap di Paris.
Mereka juga memiliki sahabat yang bernama Hananto, yang menikahi Surti Anandari mantan kekasih Dimas. Hingga masa hidupnya Dimas tidak bisa melupakan Surti, meski wanita ini telah melahirkan tiga orang anak bagi Hananto, Kenanga Bulan, dan Alam.
Meskipun tinggal di negeri orang, mereka tetap mencintai Indonesia. Dimas ayah yang jago masak dan karena keahliannya, mereka mengelola Restoran Tanah Air yang menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris.
Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan diinterogasi aparat.
Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan PKI. Tinggal di negara yang asing ternyata tidak menyurutkan cinta Dimas Suryo dan kawan-kawan terhadap Indonesia.
Buktinya, sejak kecil Lintang sudah dicekoki ayahnya dengan kisah-kisah-kisah wayang Ramayana dan Mahabharata, belum lagi literatur Indonesia di samping buku-buku lain yang juga dimiliki oleh Dimas.
Tidak mengherankan jika Putrinya yang bernama Lintang menyukai pemayangan. Dimas adalah sosok ayah yang bijaksana namun mempunyai pendirian yang teguh yang diturunkannya kepada Lintang. Lintang tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas yang memiliki pemikiran yang tajam.
Ada hal-hal yang mungkin tidak diketahui oleh Lintang mengenai sosok ayahnya dan mengapa ayahnya bercerai dengan ibunya. Surti adalah penyebab mengapa ayah dan ibunya bercerai karena kenangan indah masa lalu yang tidak bisa dilupakan bersama sosok Surti yang cantik jelita.
Aroma cengkih dan kunyit adalah simbol sebagai pengenang kisah cinta yang indah yang mereka rajuk di atas meja dapur yang bergoyang-goyang.
Sosok Surti adalah perumpamaan yang bukan hanya setangkai melati, namun dia adalah bintang terang di tengah malam. Dimas biasanya memberikan sepotong kertas berisi puisi atau potongan adegan drama.
Dimas selalu tersenyum. Begitu menggenggamnya. Hingga menatap dan mendekatkan bibir ketelinganya dengan sebuah rayuan gombal “aku ingin bersamamu. Selamanya” ujar Dimas dengan penuh cinta. Hubungan Dimas dengan Surti berjalan seperti pemuda dan pemudi di masa itu yang penuh dengan kesantunan, bersahaja, manis, dan penuh dengan cinta.
Mas Nugroho dan Mas Hananto adalah sahabatnya yang usil sekali menggoda berlagak meminjam gelas atau hanya sekedar membantu Dimas masak setiap kali Surti berkunjung bersama Rukmini dan Ningsih di kosan Dimas.
Pernah Dimas cemburu karena Mas Hananto menggoda Surti mengajak berkencan meskipun Surti menolaknya. Hingga sampai pada satu hari Surti mengundang Dimas untuk makan malam bersama keluarganya.
Nampaknya keinginan Surti tak berbalas dengan manis. Surti yang mulai mengenal Dimas bisa membaca pikirannya dan Surti meninggalkan kosan Dimas dengan bercucurkan air mata. Setelah undangan tak berbalas itu Dimas sulit bertemu Surti. Dimas sibuk dengan ujian akhir dan Surti pun selalu menghindar di kampus. Hingga akhirnya suatu hari Dimas berkunjung ke Paviliun Mas Hananto meminjam kamus.
Dimas mengetuk dan membuka pintunya. Dia mencium aroma melati yang sedang duduk dengan pelukan bahu kedua tangan Mas Hananto di ruang meja kerja. Dimas segera menutup pintu itu gedubrakan. Hatinya hancur berdegup cepat. Nafasnya memburu sambil mengikrarkan sebuah sumpah yang tak akan lagi menginjakan kakinya ke pavilion Mas Hananto dan Nugroho.
Menjadi wartawan, bagi Dimas adalah jalan profesi yang tak bisa ditolak. Dia bergumam. Wartawan adalah profesi yang memperlakukan kekuatan kata sama seperti koki menggunakan kekuatan bumbu masakan.
Tentulah sebagai seorang lelaki biasa yang patah hati, Dimas mencoba mengatasinya dengan cara klise seperti meniduri berbagai perempuan. Dimas merasa semakin mual dan bodoh. Dengan semakin kisruhnya situasi di Jakarta Dimas jarang melihat Mas Nugroho dan Hananto. Mereka adalah peliput peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai pembantu kantor Berita Nusantara.
Bulan September 1965, Dimas dan Mas Nugroho adalah dua dari sekian banyak wartawan yang diundang menghadiri konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Cile. Siapa yang sangka ternyata hari tersebut menjadi hari terakhir mereka tinggal di Indonesia.
Meskipun sebelumnya Dimas merasakan keganjilan pada tingkah laku Mas Hananto di pekan sebelum keberangkatan menuju konferensi. Prasangka Mas Hananto yang menuduh Dimas masih mencintai Surti adalah penyebab perkelahian mereka sehari sebelum keberangkatan dan menjadikan sebuah keganjalan Dimas. Pada kenyataannya, Dimas berangkat ke Cile demi Surti, wanita cantik yang dinikahi Mas Hananto.
Mei 1968 terjadi revolusi mahasiswa di Paris, Dimas Suryo bertemu Vivienne Devarux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis dan menjadikannya seorang pendamping hidup.
Hingga pada satu hari Dimas menerima kabar dari Jakarta. Hananto Prawiro, sahabatnya ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Ditengah kesibukannya mengelola Restoran Tanah Air di Paris.
Dimas bersama tiga kawannya Nugroho, Tjai dan Risjaf terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak atau menghilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September. Apalagi Dimas tak bisa melupakan Surti Anandari istri Hananto yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diintegorasi tentara.
Pada Mei 1998 Lintang putri Dimas Surya dengan Vivienne Deveraux, akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Bersama Segara Alam, putra Hananto, Lintang menjadi saksi mata kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kerusuhan Mei 1998 yang menjadi cerita jatuhnya tahta Pemerintahan Presiden Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Pada akhirnya Dimas bersatu dengan tanah di Karet, Jakarta yang menurut dia memiliki aroma berbeda. Tanah karet tujuan pulang dan untuk perginya sang pengelana Dimas Suryo, 1930-1998.
Situasi politik di Indonesia tak kunjung membaik. Munculnya para cendikiawan yang berasal dari generasi kedua masa orde baru menuntut adanya reformasi kepemimpinan Indonesia. Situasi kembali tegang dan kalut. Mahasiswa siap menghadapkan dirinya di depan peluru dan memaksa runtuhnya rezim orde baru.
Di antara ribuan mahasiswa tersebut, Lintang, Alam, Andini dan Rama menjadi bagian dari tragedy Trisakti Mei 1998, tragedy tertembaknya 6 mahasiswa pejuang runtuhnya Orde Baru. Saat itu Lintang tengah menyelesaikan tugas akhirnya dan sekaligus menemukan jati dirinya sebagai anak berdarah Indonesia.
Akhir dari kisah ini adalah berpulangnya Dimas Suryo dalam kurungan keranda setelah perjuangan panjang yang melelahkan selama lebih dari 33 tahun berkelana di negeri orang dan terbuang.
Kepulangan Dimas diiringi air mata oleh keluarganya dan sahabatnya meskipun sejatinya ruh Dimas tersenyum bangga karena ia akhirnya kembali ke Karet, pelabuhan terakhir dan tepat istirahat yang sangat diinginkannya.
REFLEKSI
Terbiasa membaca novel-novel Islami yang tidak terlalu sastrawi, ini pelajaran berharga bagi saya. Di dalam kreta, stasiun dan kerumunan saya berusaha berhati –hati membuka lembar demi lembar karya Leila ini karena bahasanya yang menurut saya beberapa sangat vulgar dan sensitif serta intim.
Hingga suatu hari saya bertemu dengan mahasiswa sastra dari UNINDRA di stasiun Manggarai, ia menjelaskan bahwa demikian adanya sastra, ditumpahruahkan dengan bahasa yag lepas dan kadang kasar serta jorok bagi orang awam namun kita harus tetap memandang hal itu sebagai seni dan kreatifitas sebagai bentuk penghargaan. Membaca karya sastra seyogyanya mempelajari kosakata dan pesan-pesan di dalamnya baik eksplisit maupun inplisit.
Dari novel ini, saya juga mendapati sisi lain dari kejadian berdarah. Ketika rezim Orde Baru runtuh, usia saya baru delapan tahu. Saat itu saya termasuk anak-anak yang gemar menghujat kejadian G30 SPKI dan segala antek-anteknya.
Melalui novel ini saya disadarkan kembali bahwa telah terjadi ketidakadilan sejarah, penghakiman sepihak dan sisi kelam masa lalu bangsa ini yang harus diperbaiki oleh generasi yang baru meskipun peristiwa berdarah 30 September 1965 lalu merupakan peristiwa yang tidak bias dibenarkan oleh apapun dan tetap menjadi rahasia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI