Mohon tunggu...
H.Sabir
H.Sabir Mohon Tunggu... Freelancer - Lakum Dinukum Waliyadin

Dunia ini hanya untuk disinggahi dan dinikmati sesekali kita memang akan kedatangan sial, tapi tak akan berlangsung lama tidak ada pesta yang tak usai demikian juga tidak ada badai yang tak reda.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Inikah Rasanya Lebaran Tanpa Ibu?

10 April 2024   00:19 Diperbarui: 10 April 2024   00:24 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hari itu sudah hari ketiga sejak mamah mengeluh tentang sakit dan sesak yang ia rasakan, terakhir kami berbincang lewat panggilan telpon yang entah kenapa dalam sebulan terakhir ini ibu semakin sering menelponku.

Mungkin mamah harus pindah ke Jakarta agar lebih mudah bagiku untuk merawatnya, fasilitas kesehatan dan jauhnya jarak tempuh dari kampung ke rumah sakit terbaik di kotaku lumayan cukup jauh. Akhirnya beliaupun mau mengikuti  saranku untuk ikut tinggal bersamaku di Jakarta tapi dengan syarat adik ku yang nomer 3 harus sudah menikah dulu.

Sementara laju Busway yang kutumpangi macet dan membuatku sedikit terbang dalam alam bawah sadarku, kutatap lalu lalang ribuan kendaraan, mimik mimik wajah lelah para pekerja IBukota jakarta yang ingin sesegera mungkin tiba di rumahnya.

Tiba tiba dadaku sesak dan sekelabat wajah ibu membayang di langit langit koridor busway, betapa banyaknya waktuku yang telah hilang bersamanya, kuhitung hitung kembali usiaku dan seberapa lama aku berada hidup bersamanya di rumah kami yang selalu berpindah pindah tempat itu.

Semenjak meneruskan sekolah menengah pertama di tempat Paman di ToliToli, hingga lulus di sebuah sekolah kejuruan di kotaku aku tidak pernah lagi menetap di rumah kami. Separuh hidupku kuhabiskan untuk bertualang dari kota satu ke kota lainnya hingga akhirnya menetap dan memiliki keluarga di Jakarta.

Ah..serasa berat jemariku menuliskan kalimat per kalimat untuk menuliskan kisah ini, Dering handponku terus berbunyi di seberang sana terlihat jelas nama pemanggilnya "My Angel". Aku raih headsete untuk lebih memperjelas panggilan itu.
Telponku silih bergantian berpindah dari satu panggilan klien ke panggilan ibu, terkadang ibu kalah dengan panggilan klienku (sesuatu yang aku sesali hingga kini).

Sakit ibuku semakin parah, di rumah sudah ada dua adik-adiknya yang menemani beberapa malam ini ternyata. pikirannya semakin terbelah mungkin pernikahan adikku dan juga keinginannya untuk sesegera mungkin ke Jakarta, membuatnya semakin terkuras dalam pikiran yang tak pernah menenangkannya.

Kukirim uang untuk kebutuhan pernikahan Adikku dan juga untuk kebutuhan ke Rumah sakit, mamah harus segera di rawat sebelum penyakitnya semakin memburuk. untuk urusan berobat ibuku memang agak sedikit bandel dan susah untuk disiplin, semangatnya untuk tetap sehat mungkin sudah menghilang semenjak kesunyian melanda rumahnya usai dia pensiun dari guru sekolah.

Yah rumahnya yang dulu mungkin selalu ramai dengan ke empat anak-anaknya lalu seiring berjalannya waktu semuanya pergi satu persatu mengikuti takdir hidup mereka masing-masing. 

Kakakku yang paling Tua sudah punya rumah sendiri meskipun mereka masih tinggal sekampung dengan mamah, aku di Jakarta, Kicki akan segera menikah di Kotamobagu dan Niar yang sudah menjadi pegawai negeri sipil di Gorontalo ikut serta dengan suaminya. Praktis ibuku tinggal sendirian di rumahnya dan hanya sesekali ditemani Kicky saat dia berada di rumah.

Tepat sesudah akad nikahnya kicky dilaksanakan secara sederhana di Kantor Urusan Agama, mereka membawa mamah ke Rumah Sakit di Kota. Mamahku tak sempat mengikuti prosesi ijab kabulnya dan hanya menantikan pengantinnya pulang ke rumah, bersalaman, foto bersama lalu berangkat ke rumah sakit.

Hanya berselang 2 hari kami di RS setelah mamah dirujuk ke Manado, sesak nafasnya tersengal-sengal melalui bantuan alat oksigen di hidungnya. Kami berempat silih berganti mengucapkan kalimat kalimat penguat batin kami dan juga batin mamah. Aku berterima kasih kepadamu ya Allah engkau mengabulkan segala keinginan mamah, bahwa kami harus berada disamping beliau saat hari hari terakhirnya..

Kami berpelukan dan saling menguatkan, dan mengucap sumpah di depan jasad ibu kami, bahwa kami akan baik-baik saja, akan akur satu sama lain, dan akan terus mengirimkan berjuta juta doa untuk malaikat kami.

Hari ini adalah Lebaran pertama kali kami tanpa mamah, suara takbiran yang setiap tahun selalu mengundang kesedihan karena kami tidak setiap tahun dapat berkumpul bersama mamah di kampung halaman. tapi malam ini suara takbiran itu seperti jeritan tangis dalam hatiku, terbayang wajah ibu yang setiap malam takbiran selalu menelponku sekedar untuk memperlihatkan persiapannya untuk lebaran esok hari.

Ternyata benar lebaran yang menyedihkan dirasakan orang lain, kini kurasakan sendiri. kutahan derasnya air mata meski tetesan tetesannya menggantung memaksa untuk turun. ya Allah...Ampunilah kesalahan dan kehilafan mamah semasa ia hidup. Terimalah amal ibadahnya, amal jariyahnya dan pengorbanannya untuk memeluk Agamamu yang sempurna ini.

Kepada Pembaca yang masih memiliki ibu maka sayangilah ibumu, sebakti-baktinya pada ibuku tetap terselip penyesalan.  waktu tidak akan menunggu kesuksesanmu untuk membahagiakan ibumu.

Kau lah malaikatku

Namamu adalah Ajimatku dalam perantauan

Rindu kami akan abadi untukmu

Dan setiap kenanganmu adalah pengobat kami

Ibu, malaikatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun