Saya sedang berselancar di portal Berita beberapa media online yang sedang mengulas berita tentang penyerobotan tanah oleh seorang Asisten Rumah Tangga salah satu artis papan atas di negeri ini.
Takjub, kasihan, prihatin dan macam-macam reaksiku pada semua yang hadir dan duduk pada acara  tersebut baik kepada sang Artis yang merupakan salah satu idola saya, juga kepada pembantu dan komplotannya yang berada tepat di belakang meja sang artis beserta beberapa pria yang berseragam penegak hukum dengan bintang di pundaknya.
Kasus yang menimpa artis tersebut bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini, tapi bagi sang Artis yang notabene mempunyai semacam  privilege  memang melekat pada setiap publik figur suka atau tidak suka, apapun kasus yang menimpa kalangan-kalangan orang berduit, publik figur dan kaum borju pastilah akan menyita perhatian.Â
Baik itu bagi para pencari berita, penegak hukum maupun masyarakat luas yang ingin mengikuti perkembangan kasusnya. Sehingga menjadi sebuah konsumsi yang harus selalu diikuti, dituruti kemana muara akhir ceritanya. Hal ini tidak berlaku bagi kita yang hanya berada pada tatanan masyarakat biasa.
Namun ada sebuah hal yang cukup menggelitik perspektif saya tentang hukum di negeri kita, dan ingin mengemukakan sebuah pertanyaan apakah layak sebuah penghakiman kepada seseorang yang masih berstatus tersangka ditonton berjuta-juta orang di negeri ini. Betapa beruntungnya orang yang memiliki akses pada perkara demikian.
Dipertemukan dalam sebuah kesempatan  dengan tangan lawan perkara yang terborgol dan berbaju tahanan kemudian langsung melakukan penghakiman di depan umum meskipun hanya dengan tindakan verbal. Rasa-rasanya semua orang yang terjerat kasus serupa ingin mendapatkan perlakuan istimewa semacam itu.
Pemandangan ini entah baru pertama kalinya terjadi atau penulis yang baru melihat kejadian serupa itu hari ini. Tetapi sebuah fenomena langka pada kasus-kasus hukum di Indonesia, Lalu penulis mencoba  mengaktifkan imajinasi liar dan beranda-andai, bisakah pada kasus-kasus serupa khususnya mafia tanah yang melibatkan orang-orang besar di negeri ini diperlakukan demikian, tetapi dengan posisi terbalik.Â
Kaum terampas yang berada duduk dimeja bersama para Jenderal melakukan konferensi pers yang disiarkan seluruh stasiun TV kemudian rakyat jelata yang tanahnya dirampas menghakimi pelaku penyerobotan tanah sebelum pengadilan resmi digelar.
Pantaslah istilah hukum di negeri kita dikonotasikan dalam diksi tajam keatas tapi tumpul kebawah, sebab pada kasus tersebut kita secara terang benderang melihatnya, jika saja si korban penyerobotan dan perampasan tersebut bukan berasal dari kaum istimewa maka tidak akan pernah kita menonton secara vulgar penghakiman langsung yang cukup memuaskan emosi korban yang selama ini sudah bergumul sedemikian rupa akan haknya yang terampas keluar dan diuneg-uneg langsung disertai perlindungan beberapa perwira berbintang disekelilingnya, membelakangi para tersangka yang terborgol tak berdaya, langsung menerima hukuman sosial yang sungguh telak luar biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H