Untuk aksesorisnya pun tidak main-main. Sound system menggunakan perangkat yang tidak bisa dibilang murah dengan speaker yang cukup memekakkan telinga, sungguh asik untuk diajak berkeliling kota.Â
Anda akan menemukan JBL, Pioneer, dan brand-brand sound system terkenal lainnya dengan harga yang bisa mencapai puluhan juta terpasang di mecak motor ini.
Menariknya, becak di sini tidak mengggunakan sistem trayek untuk teritorinya. Mereka bebas menentukan ke mana rute yang akan diambil sesuai tujuan sang penumpang.Â
Saat penulis masih duduk di bangku sekolah, bentor adalah salah satu kendaraan yang digunakan untuk menuju ke sekolah. Meskipun saat itu masih ada mikrolet tapi bentor tetaplah pilihan utama.
Selain harganya yang bisa dinegosiasikan, juga punya keasikan tersendiri mengendarainya dengan ingar bingar musik cadas ataupun lagu-lagu yang sedang trending saat itu.
Hingga saat ini becak motor masih mendominasi lalu lintas di dalam kota. Keberadaan mobil mikrolet sudah tidak terlihat lagi dan semua akhirnya menempuh rute antarkecamatan di luar Kotamobagu. Itulah sebabnya kota ini dijuluki kota dengan seribu bentor (becak-motor).Â
Meskipun saat ini pariwisata Sulawesi Utara sedang digiatkan di Likupang dengan dinobatkannya sebagai tujuan wisata kelas satu, tidak ada salahnya jika mencoba ke Kotamobagu.
Di sana masyarakatnya cukup ramah kepada siapapun. Tamu dari luar seperti Jawa atau lainnya sangat dihargai di sini. Hal ini dibuktikan dengan adanya area transmigrasi di sisi luar kotanya yang sudah lama didiami masyarakat dari Pulau Jawa dan Bali.
Keseruan untuk menumpangi bentor ini akan menjadi salah satu pengalaman yang unik dan tak terlupakan. Sesekali Anda juga diperbolehkan untuk memilih lagu yang disukai atau bahkan duduk di belakang sang pengemudinya.Â
Saat penulis berkesempatan untuk mudik, anak-anak yang lahir dan besar di Jawa sangat girang ketika di ajak mengendarai bentor. Mereka bahkan tidak mau turun dan mengajak untuk berkeliling kota berulang-ulang kali.
Penulis tidak tahu apakah saat ini kendaraan ini juga ikut latah menggunakan aplikasi hijau seperti di Jakarta dan sekitarnya. Bagaimanapun kita tidak bisa melawan perkembangan teknologi, terkadang penulis justru rindu akan keberadaan bendi yang dulu cukup populer di kota ini.