Sakit seringkali membenturkan kita pada ketidakberdayaan yang "sangat tidak berdaya". Sementara itu, tipis sekali perbedaan antara rasa pasrah yang penuh keputusasaan dan pasrah penuh ketawakalan. Tipis antara bermental pejuang dan bermental pecundang. Tipis antara siap hidup maupun mati dengan tidak siap hidup tetapi juga tidak siap mati. Tipis antara bersandar pada manusia dan bersandar pada Allah. Batasannya tipis sekali. Tidak ada yang bisa menilai kecuali diri sendiri dan Allah. Mau bicara di mulut ," Saya ikhlas," Â tidak ada yang menjamin hatiku akan bagaimana. Buktinya hati masih terselip menghujat takdir Allah. Mau orang lain bilang, sabar ya, kuat ya, semangat ya, akhirnya kembali ke hati kita sendiri. Seberapa jauh kita benar-benar ikhlas, rida dengan apa yang Allah anugerahkan untuk kita.
Fase keenam
Fase menjadikan anugerah Allah yaitu penyakit ini sebagai teman, sahabat, sparring partner yang memicu kita jadi orang yang lebih baik.
Lebih baik bagaimana? Ya fisik, ruhiyah, dan juga pikiran. Lebih berusaha istiqomah dalam berikhtiar sembuh dan ga baper kalau ada proses detoks, mengakui banyak hal yang salah kita lakukan selama ini, dsb. Satu keyakinan yang aku sendiri tanamkan, sebelum berpikir Allah akan menghisab dosa kita, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah Maha Baik. Memang Allah Al Hakim, tapi ketika kita berpikir penyakit sebagai hukuman Allah atas dosa-dosa kita (walau pada  akhirnya ada suatu titik kita sampai pada kesadaran ini juga), lebih dulu yakini bahwa skenario Allah selalu yang terbaik, terindah, terkeren, dan Allah selalu sayang kepada kita. Kalau Allah memberikan hadiah karena sayang kepada kita, masa tidak mau? Terima hadiahnya, jadikan diri kita lebih baik dengan hadiah itu.
Fase ketujuh
Menyadari karena si penyakit itu sparring partner kita, mungkin dia akan tetap ada dan membersamai kita selama Allah nilai kita butuh si penyakit untuk "menjaga" kita. So, make it simple, sederhanakan mindset, sederhanakan banyak hal, sederhanakan perbekalan, be tough dan bersiaplah untuk perjalanan panjang bersama si penyakit.
Jika Allah takdirkan kita sembuh, Allah jadikan kita survivor yang bermental warrior. Bukan untuk dibanggakan karena menjadi seorang survivor tetapi makin merunduk karena syukur, dan bersiap biasanya seorang warrior setelah lulus ujian dapet level yang lebih tinggi lagi.
Jika Allah belum takdirkan kita untuk sembuh, dan memanggil saat berjuang membersamai di penyakit, ya sudah, memang sudah waktunya pulang, sudah waktunya bertemu Allah dan Rasulullah.
Ini fase-fase nyata yang saya hadapi sendiri dan apakah saya sekarang sudah rida dengan takdir Allah? Ya, Insya Allah tetapi sekali lagi, kemurnian keikhlasannya hanya hati saya dan Allah yang tahu. Ada kalanya juga mundur ke fase sebelumnya. Kesal lagi, marah lagi. Tapi semoga bisa jadi pengingat diri." Itu kutipan yang Ade bagikan di grup WA.
Saya berusaha menghibur hati ini, membesarkan hati orang tua, dan tetap bersyukur apa pun kondisinya selalu baik bagi saya, insya Allah. Saya ingat Ade pernah menulis di WA-nya, "Semoga selalu bisa bersyukur."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H