Sejumlah anggota keluarga besar Manggarai, Flores – Nusa Tenggara Timur (NTT) Semarang dan Jogjakarta, Jumat (15/1) kemarin bertempat di halaman depan Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, menyelenggarakan pertunjukan tarian adat Caci. Tarian khas asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur ini sudah amat jarang ditampilkan, sehingga tak banyak masyarakat yang tahu kesenian yang mirip tari perang ini. Tarian Caci awal mulanya dimainkan oleh para pejuang perang untuk merayakan dan mengenang perang. Dewasa ini tarian Caci bagi orang Manggarai dipentaskan untuk memeriahkan acara-acara khusus baik yang bersifat adat maupun tidak, seperti syukuran hasil panen, pentahbisan imam, atau penerimaan tamu adat maupun kenegaraan. Dalam budaya Manggarai, tarian caci membawa simbol pertobatan manusia dalam hidup. Nama Caci sendiri bersal dari dua kata yaitu ”Ca” yang berarti satu dan ”Ci” artinya uji. Jadi, Caci bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah. Tidak semua orang Manggarai layak menjadi peserta Cai. Selain harus pria, persyaratan lain adalah harus mahir memukul lawan, terampil menangkis serangan, luwes menari, merdu menyanyikan lagu daerah, dan berbadan atletis. Pertunjukan tarian Caci dibuka dengan tarian Danding atau biasa disebut Tandak Manggarai. Tarian ini dimainkan oleh perempuan dan laki-laki yang membentuk lingkaran. Gerakan penari Danding lebih mirip tari Vera atau tari Sanda Lima. Biasanya penari mendendangkan lagu dengan larik yang memompakan semangat para pemain Caci saat bertanding. Sebelum bertarung, pemain Caci akan melakukan pemanasan otot. Masing-masing pemain menggerakkan badanya mirip gerakan kuda. Sambil menari, pemain Caci menyanyikan lagu daerah untuk menantang lawannya. Setiap kelompok terdiri dari delapan pemuda, masing-masing mendapatkan kesempatan bertarung menghadapi lawan. Serangan bisa dimulai dengan bertindak sebagai pemukul dan pada kesempatan lain menjadi penangkis. Dengan lincah si penyerang akan menghentakkan pecutnya ke tubuh lawan. Sementara si lawan akan menangkis sabetan pecut. Jika kena, tampak garis merah atau luka memanjang tipis. Luka ini sebagai pembukti bahwa penyerang berhasil. Semua pemain beresiko terkena sabetan pecut. Perlengkapan Para pemain bertelanjang dada dan mengenakan pakaian perang berupa celana warna putih bersalut kain adat songke warna hitam yang diikat erat agar tidak lepas saat bertanding. Pada kepala diberi penutup Panggal (semacam tanduk kerbau yang terbuat dari kulit kerbau yang keras dan dilapisi kain warna-warni. Panggal dipasang dikepala sampai menutup sebagian muka dan dilapisi destar atau handuk. Dipinggang terpasang Lalong Denki (hiasan mirip ekor kuda yang dihiasi bulu ekor kuda panjang) serta pada sisi pinggang terpasang saputangan warna-warni yang digunakan untuk menari setelah atau sebelum dipukul lawan. Pemukul membawa c
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H