Mohon tunggu...
Rini Zahroh
Rini Zahroh Mohon Tunggu... -

Member of Psychology UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keep Moving for Reaching Dream

8 Desember 2014   14:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Dek, mbak mu yang paling cantik ini datang. Maaf ya telat kesini. Aku tadi habis ngerjain piket rumah dulu. Inget piketku kan dek? setiap sabtu bersihin bak pasir favoritmu. Capek dek bersihin bak pasir sebesar itu sendiri. Kamu sih tidur disini lama banget. Walaupun nggak terlalu kotor sih, karena nggak ada kamu juga yang ngotorin. Dek aku habis beli sate looh, kalau kamu nggak bangun aku habisin di depan kamu lo ya. Biar kamu ngiler sambil tidur. Dek aku tadi ketemu cewek yang kamu suka lo waktu di gedung B, tempat kamu biasa nongkrong sama dia. Dia kangen kamu tuh dek...” Faurin berbicara pada Dion, pria yang terbaring di kamar bau obat versi rumah sakit.
Dion terpental 2 meter dari sepeda motornya 3 hari yang lalu. Sebetulnya tidak ada masalah yang serius pada kondisi Dion. Kata dokter Dion hanya mengalami gegar otak ringan, yang menyebabkan Dion koma adalah keinginan dia sendiri untuk hidup sangat rendah. Jadi intinya Dion berada di alam bawah sadar dan belum tahu akan bangun atau nggak dan yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan motivasi.
Berhubung 2 hari yang lalu dokter menyatakan Faurin lebih bisa memicu aktivitas otak Dion dari pada keluarganya sendiri, dokter memberikan kebebasan untuk Faurin berkunjung setiap saat.
“Dek, jawab dong! aku udah cerita puaanjang malah dicuekin. Aku ke luar dulu ya cari minum.” Hanya alasan, dari awal dia masuk Faurin telah menahan sedihnya agar Dion nggak merasakannya. Tapi selalu kurang dari setengah jam Faurin rutin keluar ruangan untuk nguatin mentalnya.
Dalam alam Dion yang entah dimana dia mendengar suara Faurin yang samar. Namun dia tetap bersandar pada tiang yang ada di tengah bak pasir, belakang rumah Faurin. Dalam otaknya, terputar kembali kenangan saat Dion masih 9 tahun. Saat dia mulai sadar apa arti tidak adil.
“Dek, ibumu udah tahu ciptaan hebat mu belom?” Gadis kecil berlari dengan riang sambil melambaikan tangan menuju anak laki – laki yang tidur di bak pasir.
“Udah.” Dion sudah terbiasa dipanggil dek sama teman satu kelasnya. Karena memang dia dulu yang manggil Faurin dengan sebutan Mbak.
“Trus bilang apa?” Faurin dengan nada semangat terus saja Kepo.
“Bak pasirmu enak banget buat tidur. Aku boleh nggak nginep di taman mu?”
“Ditanya kok nggak nyambung sih dek?”
“Kayak biasanya mbak.” Dion terlihat enggan membahas respon ibunya saat dia menunjukkan dinamo versi dion untuk menggerakkan mobil mainan pada ibunya.
“Mungkin dia capek habis ngurusin rumah kamu dek. Ibu sayang kamu kok. Buktinya ibu ku sayang aku. Semua ibu sayang anaknya. Tapi cara sayangnya beda mungkin ya.”
“Tapi kan ibuku juga ibu kak Delia juga, kenapa kakak lebih diperhatikan? Kalau jawabannya karena kakak anak pertama, kenapa Devan yang masuk 10 besar sampai ditawarin mainan baru lah, di tanya pengen hadiah apalah. Aku? yang selalu peringkat 1 kayak ada diperingkat 50 dari 50 anak.”
“Dek, aku tadi waktu beli minum lewat warung yang biasa kita makan bareng. Jadi inget kita pernah makan timun dengan sengaja terus akhirnya pusinnya barengan karena sama – sama punya tekanan darah rendah. Kekanak – kanakan banget yah kita.”
Suara Faurin terdengar lagi. Entah kenapa crita Faurin nggak membuatnya kembali ke masa yang Faurin ceritakan. Malah membuatnya ingat pada hal gila yang pernah Dion lakukan untuk menarik perhatian ibunya.
“Buat apa dek?” Faurin bertanya pada Dion saat dion membeli 3 buah mentimun di pinggir jalan yang selalu dilewati mereka berdua untuk ke sekolah.
“Disuruh ibu.” Jawab Dion singkat.
“Emm.. Mungkin ibu mu inget dek kalau hari ini ulang tahunmu jadi mau dibikinin syukuran buat di bagiin ke tetangga.” Faurin asal tebak.
Bukan untuk syukuran, disuruh aja enggak. Timun itu disimpan sendiri oleh Dion. Berharap timun yang dibelinya memang tidak digunakan.
Namun, Dion salah. Setelah berganti hari pun ibunya nggak akan pernah sadar kapan hari kelahiran Dion. Timun yang kemarin dibeli adalah taruhan pada dirinya sendiri. Jika ibunya ingat hari kelahirannya dion akan berhenti menganggap ibunya pilih kasih, dan jika ibunya tidak ingat Dion akan memakan 3 timun tersebut untuk melihat apa ibunya tahu kalu Dion memiliki tekanan darah rendah.
Waktu pulang sekolah, sebelum Dion masuk rumah dia makan siang sama timun – timunnya. Belum selesai Dion menghabiskan semua, efeknya sudah terasa dan langsung membuatnya hampir pinsan. Dion hanya bisa jongkok di depan rumah sambil memegangi kepalanya yang seakan mau mengglinding.
Sekarang Dion tidak sempat memikirkan ibunya akan melihat atau tidak, yang ada dipikirkan dion hanyalah mau masuk surga apa neraka.
“Ngapain disitu? kalau nggak ada kerjaan masuk, jangan halangin orang lewat.” Ibu Dion memperingatkan sambil menenteng sekantong belanjaan lalu masuk ke dalam rumah.
Seakan mendapat kekuatan untuk bangkit, Dion menuju rumah Faurin.
“Dek, kamu kenapa? Tanganmu bau timun, Habis makan timun ya?” Faurin kebingungan sendiri melihat Dion pucat, berkeringat dingin dan sempoyongan.
“16 tahun mbak aku hidup. Apa setiap omonganku nggak pernah didengerin sama ibu? Aku udah pernah bilang aku punya tekanan darah rendah dan dia lihat tadi aku habis makan timun, udah tahu keadaan udah kayak orang sekarat tapi tetep aja nggak peduli.”
“Sekarang pikirin diri kamu sendiri dulu dek. Kamu harus hargai tubuhmu, jangan merusak diri jika kamu ingin tahu alasan kenapa ibumu kayak gitu ke kamu.”
“Dek, masalah nggak akan selesai kalau kamu cuma menghindarinya. Lebih baik mencoba dan memilih dari pada tidak sama sekali. Walaupun suatau saat kamu salah langkah, setidaknya kamu telah berkembang, tidak berhenti di sini saja.”
“Iya, aku masih bisa memilih.” Dion menangis memikirkan semua kenangan tak dianggapnya. Dan orang – orang yang masih memperhatikannya.

2 hari setelah Dion sadar, Dion kembali ke rumah.

Dion melihat ibunya rebahan diatas tempat tidur. Dion mendekatinya dan memijat kaki ibunya. Tanpa sadar Dion mulai menangis.
“Bu, apa betul aku anak ibu? Kenapa ibu bedain aku sama kakak atau devan?”
Ibu Dion tak menjawab. Hanya menangis dan meminta maaf.
“Bu, maaf sampai sekarang aku belum bisa buat ibu bangga. Dan maaf, baru saja Dion keluar dari kampus. Dion ingin ada di jalan yang Dion pilih sendiri tanpa paksaan.”

4 Tahun kemudian, Bandara Soekarno Hatta

“Mbak, udah lama nunggu?” Suara yang tidak asing di telingan Faurin.
“DION! Kapan kamu nggak jail sih. Salam kek main ngomong aja, samping telinga lagi, bikin kaget aja!!”
“Hahaha.. Mbak, orang baru dateng itu disambut, nggak malah diomelin.”
“Walaupun kamu baru datang dari AS pun nggak akan aku sambut dengan baik kalau kamu gitu.”
“Hahahaha.. Iya – iya. Mbak, sama siapa?” Tanya Dion berharap ibunya ada untuk menjemputnya.
“Sendiri dek.” Faurin pasang wajah menyesal karena tahu maksut Dion.
“Nggak papa mbak. Dapet beasiswa dan lulus tepat waktu di MIT bukan batas ku untuk berusaha jadi yang lebih baik lagi. Aku nggak akan berontak mencari perhatian mbak. Karena katamu kita harus memilih, pilihanku sekarang adalah buktiin kalau aku bisa bahagiain ibu dengan tangan ku sendiri.”
Faurin tersenyum mendengar jawaban optimis Dion. “Ingat nggak kata ajaib kalau kita lagi down?”
“KEEP MOVING, AND YOU WILL REACH THE DREAM” Ucap mereka berdua kompak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun