Mohon tunggu...
RIDOAN SALEH NASUTION
RIDOAN SALEH NASUTION Mohon Tunggu... -

Mahasiswa D-3 Manajemen Informatika Universitas Telkom Angkatan 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Idaman

26 Maret 2014   16:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:27 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis Idaman

Oleh : Ridoan Saleh Nasution

Rintik hujan dan gemuruh halilintar menggambarkan perasaanku di senja itu. “Hai kawan ! Aku bukan penggombal sejati”, aku katakan pada dia. Di relung hatiku, aku sangat sedih berselimut kecewa. Akan tetapi, dia, Robert, terus mengingatkanku dengan wanita yang tak punya perasaan itu. Wanita itu adalah teman sekelasku sendiri, Ulfa panggilannya.

“ Jika kamu mencintainya, maka kamu berkewajiban memikat hatinya, Asrul ”. “ Yakinkan dia ! kalau kamulah pemuda yang benar ada di dekatnya selama ini”, temanku terus memacu darahku untuk terus mengalir ke kepalaku. Aku memang pantas untuknya.  Perasaan itu ku hadirkan lagi di hatiku. Tapi, kenapa dia justru menerima orang lain sebagai sandaran hatinya ? Lebih tepatnya, pacar.

Hamparan sawah yang berada di hadapan kamipun mulai menutupi wajahnya. Itu pertanda hari sudah tidak muda lagi, 5 menit lagi, adzan magrib akan berkumandang. Namun, wajah-wajah gelisah tetap bertahan di bawah atap gubuk kecil di pinggir sungai yang ada di hamparan sawah desa kecil Suka Makmur.

Ku palingkan wajahku dari segerombolan bebek yang ada di pinggiran sawah. “ Kawan ! ayo kita pulang, sebentar lagi waktu sholat akan tiba”, suaraku begitu rendah dan tak bernada. Robert melihatku dengan senyuman yang menjengkelkan. Dia berdiri dan mengangkat tas sekolahnya. “ Cinta memang kejam, rul”, dia melirikku dengan tatapan aslinya, senyum kecil yang menjengkelkan lagi. Ahh.. aku tidak mau mendengar ocehan, gerutu ku di dalam hati.

Kamipun pergi meninggalkan gubuk itu melewati jalan-jalan setapak di pinggiran sawah. Sesampai di rumah, aku bergegas mandi dan sholat magrib di Mesjid Ar-Rahman, mesjid satu-satunya yang ada di desa ini. Saat imam takbir, Allahuakbar, hatiku kembali teringat peristiwa tadi siang di sekolah. “Ulfa ! seru Andi, sesampai aku di kantin sekolah, yaitu SMA Harapan Bangsa. Si Ulfa pun tersenyum, seolah  memandangiku, aku berpikir bahwa senyuman manis itu untukku. Namun, itu hanya perasaanku saja. Andi menggandeng tangan manis wanita yang sangat ku cintai, Ulfa, berjalan meninggalkan kantin.

Peristiwa itu terjadi di depan mataku, aku sangat kecewa. Perasaanku pun runtuh seketika, seolah aku telah dikhianati cinta. Betapa tidak, Ulfa adalah wanita yang sangat aku cintai. Dia sosok yang aku dambakan selama ini. Tidak ada wanita di dunia ini yang membuatku bahagia selain Ibu dan dia. Terlebih, dia merupakan sosok yang santun, sederhana, dan banyak hal baik yang tidak bisa ku goreskan tentang dia. Wanita yang sungguh istimewa.

Setelah Andi dan Ulfa pergi, aku kembali meneruskan langkahku yang sempat terdiam memandangi mereka. “Bu, 2 tempe, ini uangnya” , ku serahkan uang kertas seribu kepada Bu katin. “Iya, nak”, sembari senyum memandangiku, Bu kantin menerima uang tersebut. Kemudian, aku bergegas mencari tempat duduk.

Ku pandangi seluruh isi kantin. Tidak ada yang ku kenali dari sekian banyak orang yang duduk di kantin sekolah. “Hemm.. kemana lagi ku nikmati 2 potong tempe goreng ini, kursi-kursi yang ada di kantin sudah terisi”, ketusku dalam hati.

Akhirnya, ku putuskan juga, lebih baik ku nikmati tempe ini di teras samping mushola. Kebetulan, teras samping mushola di sekolah kami menghadap ke hamparan sawah. Selain itu, tidak ada orang yang lalu lalang di sana kecuali waktu sholat telah tiba.

Ku balikkan badanku, dan ku tinggalkan kantin. Di derap langkah yang ke-3, ada suara yang mengikuti jejak langkahku. “ Asrul ! kamu mau kemana ?”,tanya Hendra yang mengejarku dari kantin. Aku benar terkejut. “Apa, hen ?”, aku balik bertanya. Dia memegang bahuku, “Buru-buru, mau kemana?”. Aku berbalik dan menghadapinya. Dengan nada rendah, aku menjawab, “Aku ingin melihat orang yang membajak sawah dari teras samping mushola”. Hendra memandangiku dengan cara yang tidak biasa. Bola matanya sangat memperhatikan setiap gerak tubuhku. Walau demikian, aku coba mengalihkan perhatiannya. “Ayo, ke sana, hen !”, ajakku padanya. Kemudian, kami pergi ke tempat yang ku rencanakan tadi.

Di teras yang menghadap ke hamparan sawah itu, aku bercerita kepada Hendra. “Hen, aku sedikit tidak percaya kepada Ali ..”, aku memulai. Tiba-tiba, sebelum aku meneruskan perkataanku, dia memotong ceritaku dengan sebuah pertanyaan. “Tidak percaya tentang apa, rul ?”, dia mulai penasaran. Keningnya sedikit mengerut memahami perkataanku.

Suasana di situ nyaman sekali karena ada angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara dedaunan pohon-pohon sekitar mushola. “Tidak ada masalah serius, Hen. Cuma, aku bingung dengan penjelasan Si Ali. Dia bilang Si Andi dan Si Ulfa sudah pacaran”,  ku coba menyelidiki. Temanku, Hendra ,sesekali menoleh ke orang yang membajak di sawah saat aku berbicara. “Yaa.. tentu, rul. Sudah 2 minggu yang lewat, mereka jadian”, dia sangat serius. Di saat itu, hatiku semakin terenyuh dan sadar bahwa aku tidak akan pernah memliki Si Ulfa. Aku sadar ini hanya rasa-rasaku saja yang terlalu menaruh harapan-harapan indah dengannya.

Wajahku terlihat jelas memunculkan apa yang ada di dasar hati ini. Sedih dan kecewa semakin menyatu di dalam pandangan kosong ke hamparan sawah yang terbentang luas di hadapanku. Aku tertegun hampir 30 menit menghayati potongan demi potongan kata yang diucapkan oleh temanku tadi. Ternyata apa yang aku duga saat di kantin tadi adalah benar. Ulfa telah menerima sosok lelaki yang dia idamkan.

Aku teringat satu bulan yang lalu, ketika aku megirimkan surat cinta ke dia. Dia hanya membalas dengan kata-kata maaf. Di surat yang ku tuliskan tersebut, aku mengungkapkan bahwa aku mendambakan wanita seperti dia. Di akhir surat, aku menuliskan : “Maukah kamu menjadi wanita yang spesial di hati aku ?”. Si Ulfa membalas surat itu dengan penolakan yang cukup halus, yaitu : “Bang, jangan mikirin pacaran dulu, belajar yang giat !”.

Balasan surat yang sempat membuat harapan bagiku, kini sudah sirna karena dia telah menerima pemuda lain mendiami di relung hatinya.

Itulah peristiwa yang membayang-bayangi pikiranku selama menghadap Allah SWT (sholat). Aku menangisi orang yang tak pernah tersenyum terhadap ku. Sungguh, cintaku kepada gadis tersebut hampir melebihi cintaku kepada-Nya, Sang Khaliq. Aku sampai lalai melaksanakan perintah-Mu ya Rabb. Astagfirullahaladzim.

. . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun