Mohon tunggu...
Ria Jumriati
Ria Jumriati Mohon Tunggu... Penulis - Menulis ada jiwa, maka menulislah agar bisa memiliki banyak jiwa

Manusia biasa yang hanya suka menulis. www.riajumriati.blogspot.com https://www.wattpad.com/user/RiaJumriati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Karma Getih - Bab Satu

7 Maret 2017   12:09 Diperbarui: 7 Maret 2017   12:35 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:richardusgunawan.blogspot.com

            “Siapa yang melakukan ini !” Ujar Mbah Lasirun keras sambil mengguncang tubuh anaknya.

            “Ma..majikanku Pak. Dia..dia sering menyiksaku dan…….” Tangis Nuri pun pecah dipelukan Ibunya. “Dan apa Nduk……” Bisik Mbah Kijah pedih ditelinga Nuri.

            “Dia juga memperkosaku ! Aku sudah ndak perawan lagi Bu…dan aku..aku! Nuri terus menangis sambil terus meremas-remas perutnya. Dan itu sudah cukup menjelaskan kepada kedua orang tuanya akan bencana yang sesungguhnya.

Sejak saat itu, seolah petaka tak henti hentinya mendera kehidupan Mbah Kijah. Nuri yang selama mengandung terus menerus dihantui trauma dan dihujat warga desa, akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan Dahayu dalam kondisi premature. Lalu keadaan Mbah Lasirun yang terus sakit sakitan karena beban psikologis yang harus ditanggungnya karena bencana ini. Hingga kakek malang itu pun menyusul Nuri ke alam baka. Kini, hanya tinggal Mbah Kijah bersama Dahayu – penerus keturunan satu satunya yang nyata menjadi prasasti hidup dan merupakan gambaran derita dari pengalaman pahit anaknya di negeri Jiran. Air mata Mbah Kijah terus mengalir deras. 

Terdengar desis doa mengumandang dibibir pucatnya. Perutnya tak lagi terasa lapar, ia ingin cucunya segera kembali. Batinnya tak sanggup lagi menghadapi bentuk kehilangan apapun, sudah terlalu banyak yang direngut dikehidupannya. Suara tangis itu pun pecah diambang sore menjelang. Menyaksikan Dahayu yang semakin tumbuh remaja, memberi keresahan tersendiri di batinnya. Sejak lahir, Dahayu memiliki anugerah cakra ungu yang terletak diantara ke dua matanya. Ia memiliki kemampuan menjelajah ruang lewat terawang batinnya. 

Meski belum pernah sekalipun bertemu Ayah kandungnya, Dahayu bisa menggambarkan dengan jelas sosok rupa lelaki itu hingga tanda lahir yang dimiliki di punggungnya. Bahkan di waktu waktu tertentu, Dahayu kerap berbicara seorang diri, kadang tersenyum, tertawa terpingkal pingkal sampai menangis tersedu sedu. Saat ditanya, siapa lawan bicaranya. Macam-macam yang ia sebutkan. Terlebih ketika masih balita ia mengaku sering didatangi nenek berambut putih panjang yang memiliki kendaraan kuda putih penuh cahaya dan sering mengajaknya ketempat yang membuatnya selalu damai. Atau di ajak berjalan ketempat yang menyeramkan bersama Ibu kandungnya. Setelah beranjak remaja, semakin aneh saja yang dirasakan Dahayu. Ia mengaku sering dikunjungi salah satu prajurit Mahapatih Gajah Mada yang menurutnya sangat tampan dan selalu dinantikan kehadirannya. Pernah satu kali, Mbah Kijah menemui Dahayu yang terduduk lemah, dengan wajah dibanjiri keringat hingga membuat basah sekujur tubuh dan pakaiannya. 

Saat ditanya, apa yang terjadi. Dengan tersendat ia mengatakan, baru saja terlepas kepungan Perang Bubat yang melibatkan dirinya dan  Raden Mas Ganendra – salah satu prajurit Patih Gajah Mada, yang sering mendatanginya itu. Tentu saja semua itu membuat Mbah Kijah ketakutan, di datangi arwah Ibunya saja membuat ia khawatir setengah mati, apalagi harus ada ’mahluk asing’ dari dunia lain yang bisa membawa raga dan batin cucu semata wayangnya menerobos kemisteriusan ruang dan poros waktu yang tak pernah bisa diterima logika dan akal sehat siapapun. Untuk itulah Mbah Kijah, sering mendatangi Eyang Karso – guru spiritualnya untuk sesering mungkin melakukan ’ruwatan’ pada Dahayu agar terlepas dari hal-hal gaib tersebut. Beruntung sejauh ini, tak ada satupun warga desa yang menyadari keanehan pada diri Dahayu.

Eyang Karso yang sudah sangat di kenal sebagai maha guru penganut Ilmu Kejawen pun, selalu mendapat tantangan tersendiri untuk mengeluarkan Dahayu dari pengaruh gaib yang telah ada di dirinya sejak lahir. Tak hanya bakat indigo yang dimiliki gadis itu, namun kematian Nuri yang membawa dendam ternyata juga di wariskan sepenuhnya pada anaknya. Hingga Eyang Karso harus melakukan semedi dan puasa beberapa hari, jika proses ruwatan untuk Dahayu akan dilakukannya.

***

(Bersambung, BAB Dua - Serat Jiwa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun