PAYUDARA
(Peksiminas ke X di Universitas Tanjung Pura)
Oleh : Revie Juniarti
Ada wanita yang tak punya telinga biar dia tak bisa pamer anting-anting dan nguping pembicaraan tetangga, tak punya bibir biar hemat gincu biar jangan buang-buang duit suami, tak punya kaki biar tak bisa pletak pletok buat suara gaduh dari jarak 7 meter gara-gara high heelsnya. Tak punya tangan biar cincinnya yang seperti tumor di jari itu tidak tampak seperti dukun. Dan satu lagi, kuharap wanita itu tidak punya payudara. Itu hanya impianku sebagai orang yang benci payudara.
Akulah satu-satunya anak ingusan yang menolak akan hadirnya payudara. Ingin ku bentangkan spanduk besar di tengah jalan “Protes, atas penciptaan payudara”. Bukannya Aku tidak bersyukur namun ini merupakan pencegahan, menurutku payudara hanya dijadikan hiasan dan alat uji coba penemuan silikon terbaru yang kuat, tahan lama, dan mengencangkan. Payudara bukan lagi untuk menyusui anak.
Dimana saja, di koran, di televisi, di majalah penuh dengan iklan pembesar payudara? Pembantuku saja, pakai krim pembesar itu, Bu RT juga pakai katanya demi kepuasan suami dan biar tambah pede. Artis-artis luar dan dalam negeri saja membesarkan ukuran payudaranya bahkan lebih besar dari ukuran kepala mereka. Alamak mungkin ada kontes payudara. Siapa yang paling besar payudaranya itu yang menjadi pemenang, yang jelas pemenangnya bukan aku apalagi ibuku.
Pengalihfungsian payudara wanita sebagai tontonan, bukan sebagai tempat untuk menyusui anaknya sungguh mengecewakan. Sebagai wanita aku kadang-kadang merasa tidak adil, dadaku rata nyaris seperti dada laki-laki. Bahkan hampir tidak ada bedanya. Untung saja aku masih malu untuk yang palsu seperti mereka. Terserah mau bilang aku kutilang darat , kurus tinggi langsing dada rata. Yang terpenting aku hanya ingin mensyukuri nikmat tuhan serta memeliharanya sebagai tanda bersyukur.
Aku protes seandainya wanita tidak punya payudara, semua tidak akan jadi begini. ”Bu, kenapa tuhan ngasih kita payudara?” tanyaku pada ibu dengan sangat penasaran. Ibu hanya diam sejenak sambil merapikan meja makan sebelum menghidangkan sarapan pagi. ”Alasannya hanya satu, sayang” ujar Ibu. ”Apa Bu, agar bisa ditonton laki-laki dan supaya dibilang sexy, begitu? Ujarku sedikit emosi. ”Bukan, sayang, ada hal yang tak kau ketahui tentang payudara yaitu susu, dari mana kau bisa makan ketika masih bayi kalau ibu tidak punya payudara?” Aku balik bertanya. ”Susu? Bu, ini zaman modern tanpa payudara kita bisa beli susu kalengan, siap sedia, gampang, dan praktis. ”Kau masih kecil sayang, tidak tahu apa-apa, tentang hal ini” sudahlah sekarang kau siap-siap berangkat ke sekolah.
Di sekolah, lagi-lagi teman sekelas membahas tentang payudara, ukuran bh, bentuk bh baru mereka yang baru dibelikan ibunya. Aku hanya terdiam. Aku sebenarnya membenci dua benjolan kecil di dadaku ini yang mereka namai payudara. Jika aku punya keistimewaan yang diberikan Tuhan untuk memilih aku lebih memilih tidak punya payudara. Sayangnya, aku adalah wanita, hal ini begitu saja, tinggal terima takdir. Aku berkelamin wanita dan lengkap dengan paket payudara.
Pulang sekolah, aku melihat Ibu begitu ceria, sambil membaca majalah dengan secangkir teh dan kue buatannya sendiri. Ku pandangi ibuku yang selalu menerima, tidak pernah protes sepertiku. Katanya hidup ini sudah suratan, jalani saja dan banyak-banyak bersyukur. ”Ibu sudah minum obat?, ujarku. Tak ada jawaban dari mulut ibu, ia hanya cukup melirikku dan mengangguk. Aku selalu mengkhawatirkan Ibu. Kami hanya hidup bertiga, Aku, Ibu, dan pembantuku. Semua keluarga sebagian besar tinggal di luar Palembang.
Teringat kembali kejadian ketika Ibu di rumah sakit sebelum melakukan mastektomi radikal yaitu pengangkatan payudara. Satu hal yang hanya dibutuhkan oleh wanita yaitu ketegaran yang diberikan oleh kekasihnya yaitu sang suaminya. Ketegaran serta rasa kepercayaan terhadap wanita dan berjanji tetap akan mencintai sang istri dengan payudaranya atau tanpa payudara.
Sebelum operasi dokter bergantian masuk, mereka memeriksa Ibu dan mengajak Ibu ngobrol, mungkin untuk menenangkan Ibu. Aku rasa tak perlu begitu, Ibu sudah tegar. Baju mereka putih-putih, aku takut salah satu dari mereka adalah Izrail yang menyamar jadi dokter. Ibu selalu tersenyum entah betapa sakitnya kanker itu menyiksanya namun ia tetap tegar, wanita ini yaitu ibuku memang dilahirkan untuk tegar.
Aku hanya tahu ada 10 selang di badan Ibu. 2 infus, 2 darah, 1 untuk urine, 1 selang ke jantung lewat paha, 1 selang ke paru" (ketika dibuka akan ditarik manual tanpa bius, diameternya 1cm), 1 ventilator dr mulut, 1 masker oksigen, 1 selang ke lambung lewat hidung. Dokter bilang, aku menderita kanker, karena jenis tumornya sudah ganas. Dan dokter juga bilang, karna tumor ukurannya besar dan menempel di tulang belakang, akhirnya 1 tulang iga ku pun diangkat (dibuang) dengan cara dibakar didalam.
Tidak begitu saja, yang paling menyakitkan mungkin adalah mengingat Ayah. Ayah sudah meninggalkan Ibu ketika payudara ibu mengeluarkan cairan aneh dari putingnya. Ketika payudara ibu tidak bisa lagi memuaskan Ayah. Ayah pergi entah kemana, mungkin dia mencari wanita yang berpayudara sebesar kepala atau melarikan diri takut malu punya istri yang tidak punya payudara.
Aku tahu di saat itu, ibu hanya butuh genggaman tangan dan tatapan ”aku masih mencintaimu sampai kapanpun” hanya itu, yang ia butuhkan. Aku hanya menangis melihat ibu bersiap memasuki kamar operasi. Takut sekali di saat itu aku juga membutuhkan peran seorang Ayah yang menabahkan anaknya, menghapus air mata anaknya. Tidak juga Ibu apalagi Aku kami sama-sama gelisah, Ibu butuh suaminya dan Aku butuh Ayah. Dan Ayah? Kau tahu kemana Ayah. Ia pergi begitu saja.
Untungnya Ibuku masih punya ketabahan sampai sekarang. Dan sampai sekarang Ayah tak kembali, ia lebih suka perempuan lain. Hinggap dari hotel ke hotel lain dengan perempuan yang tentunya masih punya dua payudara yang kencang dan memuaskan. Tidak seperti ibu yang hanya punya payudara sebelah. Semangat untuk hidup Ibu begitu besar sehingga membuat aku tegar dan berjanji akan menjaga ibu.
Aku selalu menemani ibu chek up ke dokter. Begitu mata ibu kulihat ada suatu harapan akan kehidupan. Tak pernah kami bahas tentang Ayah, yang kami bahas adalah tentang kami dan cita-cita kami. Kadang-kadang ada sedikit rasa anehku dan benci melihat payudaraku sendiri.
Seringkali aku berkaca di kamar sambil telanjang, menatap dalam-dalam bentuk dan setiap inci tubuhku. Apakah kesempurnaan dan kecantikan wanita itu hanya dipandang dari payudara saja? Lalu bagaimana tanteku yang meninggal karena kanker payudara, bagaimana ibuku yang hanya memiliki satu payudara dan harus mondar-mandir ke rumah sakit? Kini ibu setiap 6 bulan sekali harus kontrol untuk rogent dan CT-Scan.
Ibu tak pernah merasa tersinggung atau malu kalau dia hanya memiliki satu payudara. ”Bu, Ibu nggak pernah nangis? Pernah nggak Ibu marah sama Tuhan?” ujarku sambil menatap ibu. ”Marah? Kenapa mesti marah? Dengan begini Ibu lebih bersyukur bisa berbagi pengalaman dengan penderita kanker seperti Ibu”.
”Ayah, Bagaimana dengan Ayah, Ibu gak sakit hati?”, sedikit ragu-ragu, sebenarnya aku tak ingin menanyakan hal ini namun ku beranikan saja, aku ingin tahu apa yang dirasakan oleh Ibu sebenarnya. Lagi-lagi Ibu hanya tersenyum yanpa berkata-kata tapi matanya menunjukkan ungkapan ”semua aku terima”, benar-benar wanita hebat, aku bangga memiliki Ibu seperti ini.
Dengan sakitnya Ibu, ia tidak hanya diam. Ibu selalu aktif menulis di blog. Menulis motivasi-motivasi untuk para penderita kanker payudara. Aku juga penggemar tulisan-tulisan Ibu di blognya. Cerita Ibu begitu menggugah, banyak sekali para penderita kanker dan yang bukan memfollow blog Ibu. Mereka begitu menyukai Ibu. Dan kadang-kadang mereka meminta saran Ibu bagaiman bersikap tabah dan tetap semangat menjalani aktivitas dengan fisik yang tidak sempurna ini.
Aku kini menjadi penggemar Ibu. Kubutuhkan nasehat-nasehat dari Ibu untuk menegarkan Aku yang kini memiliki anugerah yang sama seperti Ibu. Aku juga dinyatakan terkena kanker payudara tetapi masih stadium awal. Ibu masih menggunakan pengobatan traditional dan rawat jalan di rumah sakit. Ibu tak pernah menatapku dengam belas kasihan karena aku juga mengalami hal yang sama sepertinya.
Ada 3 wanita dirumah ini tapi hanya memiliki 2 pasang payudara, 2 payudara pembantuku, 1 payudaraku dan 1 payudara Ibuku. Aku tidak pernah protes sekali lagi, aku tidak pernah protes. Hanya menerima seperti Ibu dan tetap menjalani hidup dengan semangat. Selain payudara masih ada lagi hal yang dapat kita banggakan dari diri kita. ”Ibu, kita sekarang sama ya?” ujarku. ”Ia, kita sama sayang, walupun kita hanya punya satu payudara namun kita punya banyak cinta untuk sesama”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H