Mohon tunggu...
Rendra TRIS Surya
Rendra TRIS Surya Mohon Tunggu... profesional -

RENDRA TRISYANTO SURYA/Dosen, tinggal di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Stigma" Revolusi Berdarah Rakyat Suriah (Syria)

9 Maret 2012   19:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:17 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah berulangkali dunia meliput dan memberitakan revolusi negara berpenduduk 20 juta jiwa ini. Berbagai saluran TV dan Media Cetak (baik Internasional maupun Nasional) menyampaikan kejadian ini dari berbagai sudut pandang. Namun revolusi ini dari hari ke hari tampaknya semakin terlihat semakin "memerah"  saja dengan korban puluhan jiwa rakyat Syria/Suriah  yang tewas setiap harinya (saat ini sudah mencapai 8.000 jiwa). Ironisnya, meskipun revolusi rakyat ini sudah mengarah ke  "pembantaian/tragedi",  namun komunitas Internasional (termasuk kalangan masyarakat Muslim/Arab sendiri) terkesan acuh tak acuh dan ragu membantu walaupun hanya sebatas aksi kemanusiaan sekalipun. Kita semua seperti terkesima dengan berbagai bumbu berita yang dibuat semakin "renyah" untuk dikonsumsi yang kemudian membuat kebanyakan dari masyarakat justru memilih diam dan memilih menjadi  "penonton (witness)" terhadap pergolakan sejarah tragis suatu bangsa besar di kawasan Arab ini, yang luasnya mencapai 185.180 Km persegi itu.

Karena sebagian besar dari kita beranggapan, bahwa gejolak politik disana akibat permainan politik  internasional negara-negara Barat dengan rakyat Suriah pro demokrasi yang sudah terkontaminasi. Paling tidak, itu sinyal yang dapat ditangkap ketika saya berbincang dan berdiskusi tentang revolusi Suriah ini dengan berbagai kalangan, termasuk kalangan "santri/mesjid"  (yang mestinya justru lebih peduli). Banyak dari kita seperti termakan isu berupa "Stigma" yang melekat sebagai hasil propaganda penguasa otoriter Suriah dibawah kepemimpinan Presiden Bashir Al-Assad. Ia yang  tanpa tedeng aling-aling memberi label perjuangan para aktivitis (rakyat) Suriah pro reformasi tersebut, sebagai perjuangan para “pemberontak (separatis)” dan “terrorist”.  Sungguh ironi. Benarkah demikian ? [caption id="attachment_167532" align="alignleft" width="279" caption="Cukupkah kita hanya menjadi penonton tragedi revolusi rakyat SURIAH dari media massa/TV? "][/caption]

“Barat” Menggoyang Kawasan Arab?

Gonjang ganjing politik di kawasan Arab (termasuk negara Suriah ini) saat ini sudah mengarah kekacauan politik kawasan Timur Tengah. Khususnya bagi pemerintah disana yang otoriter yang tidak mau mendengar suara rakyatnya yang sedang berubah. Konflik tersebut seperti sebuah permainan kartu domino yang dapat menjalar ke  rezim-rezim negara Arab yang bermasalah, dan kemudian menciptgakan ketidak-stablian politik ekonomi, bahkan "tragedi". Namun berbagai pihak yang paling berkepentingan seperti badan PBB terlihat berinisiatif mengatasi permasahan disana.  Namun seharusnya  penyelesaiannya bukan hanya tanggung jawab badan internasional PBB semata. Para dip[lomat PBB tampak begitu sibuk kesana-kemari melakukan berbagai pertemuan dan lobi dalam rangka mencari solusi politik yang tepat. Paling tidak, itulah kesan sebagian  masyarakat Suriah yang saya tangkap dari hasil  “ngobrol/chatting” dengan mereka beberapa saat yang lalu, termasuk  dengan beberapa anak-anak muda aktivis revolusi Suriah melalui Internet. Mereka tampak menyimpan kekecewaan berat terhadap komunitas internasional yang hingga saat ini seperti membiarkan  mereka berjuang sendiri  ...

Apa sebenarnya yang terjadi di negara Suriah (Syria) ini..?

Mengapa masyarakat komunitas internasional seperti tidak begitu tertarik dan pro-aktif membantu sebagaimana halnya gejolak-gejolak politik di negara Arab lainnya.  Apakah karena asumsi (anggapan) yang menyatakan bahwa negara Barat “sedang bermain” dan “sedang mengaduk-aduk” kawasan Arab?

Sungguh, saya sebagai orang awam mengenai politik internasional menjadi bingung. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa rekayasa politik kekuatan internasional yang menjadi "penyebab utama" terjadinya revolusi rakyat Arab termasuk di negara Suriah ini. Pernyataan ini  menurut saya begitu menyederhanakan permasalahan. Dan juga seakan-akan menyepelekan perjuangan "berdarah-darah" dan pengorbanan luar biasa yang telah dilakukan dan tunjukkan  oleh rakyat Suriah tersebut....  Memang begitu gampangnyakah rakyat Suriah di obok-obok dan dikendalikan oleh kekuatan asing?

Apa logika politiknya bahwa Barat "sengaja" membuat kawasan Arab menjadi tidak stabil seperti sekarang ini? Bukankah seharusnya pihak Baratlah yang juustru berupaya membuat kawasan ini STABIL karena  ada kepentingan industrinya disana....

Logika saya mengenai hal ini sederhana saja. Jika dunia Arab direkayasa oleh BARAT sedemikian rupa menjadi gonjang-ganjing melalui berbagai operasi intelijen oleh CIA, Mossaddan lain-lain tersebut (sebagaimana banyak dituding). Maka sebenarnya pihak mana yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan? Karena akibat gonjang ganjing ini pasti akan merusak “lumbung minyak dunia” tersebut. Lalu kalau ini terjadi, bukankah yg kena dampaknya justru diantaranya adalah negara-negara  Barat itu sendiri?

Kita semua pasti paham, bahwa Industri maju di berbagai negara Barat tersebut keberlangsungannya sangat tergantung dari apa yang dinamakan “minyak bumi (oil) dan Gas”.  Dan sekitar 60% dari kebutuhan minyak bumi untuk menghidupkan industri mereka tersebut, di-support (dibeli) dari kawasan Arab (baik melalui lobi yang manis agar mau menjual dengan harga ketetapan OPEC tertentu yg murah, atau dengan menggunakan cara “politik gertak” tertentu).Jadi singkatnya, jika kawasan Arab memang sengaja dibuat/direkayasa bergejolak seperti situasi sekarang ini oleh negara-negara BARAT, maka bukankah akan menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan akhirnya merembet ke gejolak kekerasan/perang yg  berakibat menghentikan (atau paling tidak menganggu) supply minyak dari kawasan negara Arab tersebut ke negara-negara Barat tersebut? Akibatnya mudahditebak, yaitu akan menaikkan harga minyak bumi dunia menjadi “gila-gilaan” karena ketidak seimbangan supply dan demand dari persediaan minyak bumi. Dan yang lebih parah lagi?

Akibat goncangan politik terhadap pemerintah negara-negara  Arab tersebut (jika asumsinya memang sengaja direkayasa oleh Barat sebgaaimana dituding). Justru dapat menimbulkan resesi ekonomi dunia. Bukankah 70% dari kebutuhan minyak bumi dunia dipasok oleh negara-negara kawasan Arab ini?

Dan jika hal ini terjadi, siapa yang bisa selamat dari resesi ekonomi dunia di tengah berbagai sistem perekonomian dan bisnis/perdagangan antar negara yang sudah saling bergantungan  satu sama lain (akibat Globalisasi Ekonomi yang kini dijalankan oleh semua pihak)?. Apakah anda pikir, AmerikaSerikat (dan juga negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman dsbnya), tidak butuh sumber daya alam dari negara berkembang untuk kebutuhan sistem industrinya? Apakah mereka juga tidak membutuhkan pasar yang bisa menampung produk/output dari sistem perekonomian mereka? Bayangkan jika produk-produk mereka tidak dibeli (tidak terserap) oleh negara-negara Arab, negara Afrika, Asia, Amerika Latin dan negara berkembang lainnya akibat resesi ekonomi dunia yang terjadi, akibat "krisis minyak Arab" Suriah ini ....?!

Biaya Sosial (Social Cost) yang harus dikeluarkan oleh semua pihak akan terlalu mahal hanya untuk sebuah permainan politik internasional yang bertujuan praktis menggoyang suatu rezim. Pasti akhirnya akan menjadi "blunder politik" yang merugikan semua pihak, termasuk BARAT. Urgensi menggoyang negara Suriah bukan sepenting seperti kasus negara Afghanistan yang dianggap sebagai sarang teoris internasional yang dapat mengancam kestabilan negara Barat. Atau seperti kasus Iraq yang terlanjur basah melibatkan BARAT  yang kemudian menyedot dana sangat besar, khususnya bagi Amerika Serikat sebagai sponsor utama.  Kebijakan politik Barat terhadap kedua negara ini berbeda jauh dengan kasus Suriah. Suriah bukan negara sarang teroris, lalu mengapa harus digoyang..?

Dengan demikian,  jelas bahwa tidak masuk akal kalau negara Barat yang justru berkepentingan untuk menciptakan kestabilan di kawasan Timur Tengah ini, malah justru menggoncang-goncangnya (merusaknya) sebagaimana yang banyak dari kita beranggapan demikian...

Penyebabnya Aspirasi Politik Rakyat Tersumbat

Gejolak politik di negara Suriah  disebabkan oleh  faktor “api dalam sekam” sebagai akibat sistem perpolitikan dan ekonomi rezim negara   yang tidak mampu lagi secara memadai mengakomodir dan menyesuaikan diri dengan perubahan struktur sosial dan perkembangan tingkat harapan masyarakat yang berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rezim militer Suriah yang dimulai sejak masa Presiden Jenderal Hafez Al-Assad berkuasa itu (sang Bapak), menjalankan sistem politik dan kekuasaan yang otoriter dan tertutup. Kebebasan perpendapat rakyat disana sangat dibatasi oleh rezim Partai Sosial Arab Baat yang berkuasa sejak puluhan tahun silam ini dalam menanamkan kekuasaan politik Oligarki. Sistem politik ini (sebagaimana halnya sistem otoriter) kemudian mengalami pembusukan yang disebabkan oleh perubahan jaman yang tidak mampu diantipasi. Sistem yang tidak sehat tersebut itulah yang kemudian diwariskan (melalui sistem Pemilu yang juga tidak demokratis) ke sang anak, “sang dokter manis” yang bernama Bashar Al-Assad (Presiden sekarang).

[caption id="attachment_167588" align="alignleft" width="299" caption="Ibu yg aktivitis revolusi rakyat Suriah ini, begitu gigih berjuang diantara desing peluruh dan bom."]

13313640561493347262
13313640561493347262
[/caption] Disisi lain, rakyat Suriah (terutama para kaum generasi muda), semakin pintar/kritis dan semakin berwawasan  termasuk terhadap akses informasi yang mencerahkan berbagai hal (bahkan  banyak diantaranya yang lulusan  luar negeri dengan membawa semangat perubahan baru). Ditambah lagi oleh faktor semakin mengglobalnya dunia oleh perkembangan Teknologi Informasi yang menyebabkan masyarakat  suatu bangsa  dimanapun dewasa ini menjadi cenderung  “open minded” dan menjadi heterogenitas dalam pemikiran dan aspirasi. Sudah menjadi gejala umum bahwa dimana-mana telah terjadi perubahan sosial yang signifikan sebagai akibat proses alamiah perkembangan sosial masyarakat itu sendiri, dari model "tradisionil" menuju ke masyarakat "modern"  (suka atau tidak suka hal ini pasti terjadi) dengan berbagai atribut yang mengikutinya. Akan tetapi, pemahaman rezim militer yang berkuasa sering kali tertinggal satu atau dua langkah dalam mengantisipasi hal-hal seperti  ini. Doktrin-doktrin kuno pembinaan teritorial militer yang hanya berfokus menjaga kestabilan, cenderung diterapkan dengan pendekatan represif dan frontal terutama  dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan "kerumunan massa" dan kemajemukan. Militer sering menutup diri  terhadap kritik dan sering pula kemudian menjadi canggung untuk bersikap terbuka jika dihadapkan pada pilihan antara mengamankan kekuasaan dan mencipatakan stabilitas negara. Maka tidaklah heran jika kemudian yang terjadi adalah, tragedi demi tragedi yang dipertontonkan sejarah secara tranparan ke dunia. Ketidakmauan dan ketidaktahuan untuk mengakui bahwa  jaman selalu bergerak berubah dan terjadi perubahan sosial signifikan di semua lini masyarakat "modern" tersebut, akhirnya (cepat atau lambat) menciptakan semacam “hymne kematian" semua bentuk hegemoni kekuasaan sistem politik otoriter yang didukung militer dimana-mana, termasuk di kawasan Arab. Maka satu per satu kekuasaan otoriterpun yang ditopang oleh kekuatan militer tersebut kemudian bertumbangan.... Dengan atau tanpa rekayasa pihak BARAT....!

Sejarah sebenarnya tidak lelah-lelahnya mengingatkan kita berulang kali, melalui kasus demi kasus dan tragedi demi tragedi mengenai kejatuhan para pemguasa rezim militer yang rigid dan tidak adaptif. Mulai dari  Presiden Marcos (Phillipines), Presiden Soeharto (Indonesia), Presiden Khaddafy (Libya), Presiden Housni Mubarak (Mesir)  dstnya.... Kini tampaknya tinggal menunggu waktu adalah rezim yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al-Assad di Suriah (Syria), yaitu rezim sipil yang didukung militer....

Pertanyaan yang menggelitik banyak orang kemudian adalah: berdasarkan  logika diatas. Apakah rezim itu semua dijatuhkan oleh konspirasi/rekayasa negara Barat?  Atau oleh kekuatan revolusi dari rakyatnya sendiri yang sudah muak dengan sistem otoriter dan himpitan kemiskinan akibat faktor ekonomi yang macet?

***

Sebenarnya tragedi demi tragedi kejatuhan rezim tersebut dapat dihindari, jika Tata Kelola Negara ("Country Governance") menggunakan paradigma sebagaimana layaknya tata kelola organisasi modern. Dalam arti, organisasi negara (berikut sistem politik dan leadership kepemimpinanya) terus menerus  berproses/menyesuaikan diri (learning), khususnya dalam merespon perubahan-perubahan "besar" yang terjadi dalam masyarakat/rakyatnya. Negara harus menjadi apa yang dinamakan dengan Learning Country.

Hal yang menjadi penting dengan pendekatan Tata kelola  ini adalah, jangan pernah sekali-kali aspirasi politik masyarakat (terutama masyarakat kelas menengah yang lebih terdidik yang  semakin menguat dihampir semua masyarakat dunia dewasa ini), diabaikan karena dianggap semata-mata sebagai sebuah faktor yang bisa dikendalikan (Controllable Variable). Pemimpin negara yang cerdas akan  membedakan secara jelas, mana faktor-faktor yang bersifat “Controllable Variables” dan mana yang bersifat “Uncontrollable Variables” dari berbagai elemen dalam sistem politik yang dijalankannya. Faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya tersebut, justru harus dikelola melalui pendekatan dialog dan membuat penyesuaian-penyesuaian paradigma sistem politik untuk mengakomodir kebutuhan politik berdasarkan perkembangan aspirasi rakyat. Bukan justru sebaliknya, seperti dalam kasus revolusi negara Suriah ini. Di sini, oleh rezim otoriter yang berkuasa, faktor pengakomodir tersebut justru ditiadakan/dinihilkan melalui pendekatan tertutup dan represif militer.... yang kemudian berakibat fatal sebagaimana kita saksikan! Negara terperangkap kedalam perang saudara yang berkepanjangan dan "berdarah-darah".... yang mungkin saja pada akhirnya akan memancing keterlibatan pihak asing dengan sehala kepentingannya....

Saluran demokrasi yang mampat di Suriah itu, kemudian setelah melalui proses bertahun-tahun mengkristal/mengeras dalam sanubari hati rakyat menjadi semacam "dendam" yang setiap saat akan meledakkan energi potensial protes dan ketidak puasaan massal.  Ia menjadi  potensi dari apa yang dinamakan “kekekalan energi sosial” yang  jika "terbakar" oleh isu-isu sensitif  akan menjadi “kekuatan massa demonstran/protesters” yang luar biasa dan cenderung menjadi nekat (militan). Proses "pembakaran' energi sosial di negara Suriah (Syria) ini dimulai dengan  tumpah ruahnya massa ke jalan-jalan..ke lapangan luas (square)...yang berpawai secara normal dan manis sebagai lazimnya suatu kegiatan demonstrasi. Kemudian dengan kepiawaian provokator (para aktivitis pergerakan) yang handal menjadikan kerumunan tersebut semakin marak/panas, yang kemudian tidak dapat dikendalikan oleh siapapun. Termasuk oleh militer! Hal ini akan semakin runyam ketika kemudian diketahui ada bantuan pihak luar negara  yang membantu misalnya dengan dukungan persenjatan ke rakyat yang sedang marah tersebut. Disini kemudian, antara idealisme perjuangan rakyat dan dendam bercampur aduk dengan kepentingan politik praktis dan mempertahankan diri dari kematian.. Yang kemudian mengaduk-aduk "psikologi massa" rakyat menjadi "amok" yang menciptakan  militansi, dimana rakyat menjadi tidak peduli lagi dengan nyawanya....... Situasi yang kemudian semakin pejal ketika setiap kali semakin ditindak oleh militer tersebut, sebagaimana halnya sebuah pegas. Para demonstran semakin kuat dan berenergi. Kematian dalam perjuangan revolusi seperti ini menjadi semacam "tujuan" karena mati sahid akan masuk surga....

Siapa yang menyebabkan rakyat Suriah menjadi amok/marah ? Pihak barat atau rezim otoriter yang berkuasa? Kalau jawabannya "Ya Barat", maka mungkinkah puluhan hingga ratusan ribu orang  dalam suatu negara bisa di kendalikan oleh operasi intelijen pihak asing untuk menciptakan kondisi "huru-hara" seperti ini? Meskipun mungkin saja (secara tidak langsung), namun mengendalikan orang dalam jumlah ribuan orang secara diam-diam (sebagaimana halnya sifat operasi intelijen) tanpa mengalami kebocoran informasi, sungguh tidak masuk akal! Saya bingung, ilmu intelijen canggih seperti apa  yang bisa digunakan untuk menggerakkan ratusan ribu orang melalui operasi intelijen tertutup yang penuh kerahasiaan, tanpa diketahui banyak orang? Rasanya, tidak masuk akal! Oleh karena itu, dari premis ini saya menyimpulkan bahwa penyebab revolusi rakyat Suriah adalah rakyat Suriah sendiri. Pihak asing hanya membantu (sesuai permintaan rakyat setempat), bukan bertujuan  "mengaduk-aduk.nya"....!

***

Budaya Feodal Yang Mematangkan Revolusi

Bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat mempercayai efektivitas kharismatik pemimpin  tunggal  sebagai penyelamat berbagai persoalan kemasyarakatan dan bangsa. Oleh karena itu, pola kepemimpinan "kepala suku" menjadi model kepemimpinan dalam budaya masyarakat kebanyakan negara Arab. Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara sering dimaknai sebagai "wakil Tuhan” dan merupakan "takdir" sehingga  ia "diperbolehkan" menguasai hampir semua sumber daya dan potensi ekonomi masyarakat/negara secara mutlak (otoriter). Rakyat Arab percaya dengan niat baik pemimpin yang akan menggunakan potensi negara sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat yang dipimpinnya, karena pemimpin itu merupakan suatu takdir. Inilah sebabnya, kontrol dalam sistem perpolitikan di berbagai negara Arab tidak begitu berjalan dengan normal. Hampir semua negara Arab memiliki Presiden yang berkuasa lebih lama, dan sering kekuasaan tersebut diwariskan ke anak-anaknya. Meskipun negara tersebut secara hukum tata negara sudah berbentuk Republik. Tapi secara kultur masih memiliki esensi yang sama sebagaimana halnya suatu sistem kekuasaan politik feodal (Kerajaan). Di negara Suriah misalnya, Presiden masih merupakan “kepala suku” yang  "ditakdirkan Tuhan" untuk memimpin masyarakat (ummatnya). Budaya seperti ini begitu kental sehingga tidak terkikis habis bahkan oleh proses modernisasi sekalipun yang  sedang berlangsung....

[caption id="attachment_167589" align="alignleft" width="295" caption="Satu diantara ratusan tentara profesional resmi Suriah yang akhirnya membelot membela kaum demonstrans di dalam revolusi Suriah tersebut.  Kegigihan rakyat akhirnya menggugah hati tentara juga..?"]

1331364135572674024
1331364135572674024
[/caption]

Akibatnya kemudian mudah ditebak. Bahwa sistem pemilu modern ala “monarki” ini menghasilkan Presiden yang diwariskan turun temurun sebagaimana layaknya suatu dinasti kerajaan. Sistem “Politik Dinasti” seperti inilah yang kemudian diperkuat secara hukum/legal oleh  Partai Sosialis Arab Baat di Parlemen Suriah selama berpuluh-puluh tahun yang menopang legalitas kekuasaan. Hal yang  menyebabkan kebuntuan komunikasi politik penguasa dengan rakyat. Namun uniknya, beberapa negara lain di kawasan Arab yang memiliki dan menerapkan sistem budaya politik feodal ala Arab seperti ini, justru berhasil meredam kemacetan aspirasi politik rakyatnya tersebut. Karena pemimpinnya berhasil mengubah secara cerdas paradigma yang sudah ada, dan memodifikasinya secara konstitusional  ke dalam format yang lebih terbuka (akomodif) berdasarkan perkembangan aspirasi masyarakat. Dengan cerdik rezim penguasa feodal tersebut dengan cepat mengantipasi membuat "kenyang" rakyatnya melalui berbagai program peningkatan taraf kehidupan ekonomi kerakyatan yang bersifat populis. Sehingga hingga saat ini beberapa negara ARAB tersebut selamat dari goncangan revolusi oleh rakyatnya sendiri.....

Premis yang juga menunjukkan bahwa Barat bukan perekayasa yang merusak kawasan Arab.  Mereka tidak berniat mengoncang negara-negara soft yang stabil tersebut. Kalau motivasinya menerapkan apa yang disebut dengan "kolonialisme ala baru" sebagaimana banyak disinyalir, maka negara seperti Qatar, Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, UEA dstnya pasti sudah ikut tergoncang dan goyang semua. Kenyataanya mereka hingga saat ini tetap baik-baik saja, bukan? Mengapa demikian? Karena mayoritas rakyatnya tidak menginginkan revolusi... Mereka sudah puas dengan sistem politik dan ekonomi yang dijalankan pemerintahnya dibawah pengendalian rezim pemerintahan yang  relatif terbuka....pertumbuhan ekonomi yang baik dan tidak otoriter!

Beda halnya dengan Suriah. Selain sistem politik yang mampat, juga terjadi perubahan aspek sosial dan ekonomi, seperti pertambahan penduduk dan meningkatknya kualitas tuntutan hidup rakyat Suriah yang semakin tinggi. Kesemua variable tersebut terlambat diansipasi melalui kebijakan politik ekonomi yang tepat. Maka ketika pundi-pundi volume barrel hasil minyak yang menjadi handalan negara Suriah ini sudah tidak lagi mencukupi, maka rakyat Suriah seperti sehati melakukan revolusi.... Namun tidak ada Revolusi yang bisa dilakukan tanpa adanya faktor pematangan .... Di Suriah, faktor Pematangan tersebut adalah "tersumbatnya komunikasi politik"... dan stagnasi pertumbuhan  ekonomi.... Menjadi ironi memang, bahwa di negara petro dollar seperti ini, ternyata cukup banyak orang yang susah mencari kerja. Tingkat pengangguran di Suriah  cukup tinggi untuk ukuran kawasan Arab, yaitu mendekati 20%.

Jadi, faktor-faktor inilah yang menjadi penyebab UTAMA mengapa rakyat SURIAH (Syria) "marah" dan “memberontak” ....... Kepentingan negara asing (Barat) yang kemudian masuk memang tidak mungkin diabaikan...Namun dalam konteks ini, ia  hanya menjadi faktor ikutan saja yang sebenarnya bersifat "Controllable Variable" (bisa ditolak/dikendalikan jika memang tidak dikehendaki oleh rakyat yang melakukan revolusi tersebut!).

Demontrans Pro Reformasi Adalah “Terorist” ??

Awalnya, kemarahan rakyat Suriah di ekspresikan dalam bentuk kerumunan massa biasa yaitu melakukan demonstrasi secara wajar turun ke jalan dan berkumpul di lapangan kota sebagaimana lazimnya suatu kegiatan demonstrasi. Namun, budaya politik penguasa Suriah yang tidak terbiasa dihadang dengan “protes” massal seperti itu, dengan cepat diantisipasi dengan menindak secara represif berlebihan, yang kemudian menyeret dan melibatkan pihak militer secara total berhadapan langsung dengan rakyat (para demonstran) sehingga menjadi revolusi berdarah. Akibatnya terjadi ekskalasi tindak kekerasan yang menyebabkan terjadinya kekacauan. Eskalasi kemudian semakin meningkat lagi dari minggu ke minggu, dan dari bulan ke bulan. Hingga menyebabkan saat ini hampir 8.000 nyawa rakyat (demonstran) tewas sebagai martir dalam perjuangan revolusi ini...

Dalam salah satu obrolan saya dengan aktivis Revolusi Suriah melalui Internet. Ada pernyataan menarik yang dikemukakan kalangan rakyat bawah tersebut. Katanya, "Salahkah kami jika ditembaki terus oleh tentara hingga ribuan dari kami tewas seperti ini. Lalu kami berpaling  membela diri dengan  menggunakan senjata? Dan salahkah kami jika  bantuan senjata dari beberapa pihak dengan terpaksa kami terima untuk pembelaan  diri ...?", tanyanya.

Obrolan ini mengindikasikan dengan jelas, bahwa sebenarnya rakyat Suriah tidak berniat mengajak perang apalagi melawan militer negaranya sendiri. Karena secara logika awam saja, rakyat mana yang berani melawan militer resmi dan formal yang dibentuk dan dipersenjatai secara modern dari suatu negara? Rakyat ..masyarakat biasa yang tidak terlatih menggunakan senajata dan melakukan perang tersebut...Mereka juga  menyadari bahwa militer  Suriah merupakan salah satu tentara terkuat di kawasan Arab. Dari sudut pandang ini saja jelas, bahwa inisiatif perang melawan militer Suriah sebenarnya bukan berasal dari rakyat Suriah itu sendiri tetapi dari militer .... Lalu mengapa rakyat yang melakukan revolusi tersebut dijuluki  "terrorist" oleh Presidennya?

Jelas, bahwa perjuangan demokrasi rakyat Suriah mendapat cap negatif (stigma). Akibat stigma inilah maka kota Homs dan Idlib misalnya, yang menjadi pusat para aktiviitis tersebut, seperti hendak dimusnahkan dari muka bumi dengan  berbagai bentuk bombarder dahsyat yang tiada habis-habisnya.  Pemerintah Suriah seperti mendapat “legitimasi” untuk secepat mungkin menghabisi kelompok aktivitis demonstran yang terkurung berminggu-minggu di sini. Dan anehnya, dunia internasional lebih banyak justru menonton... Tidak heran kalau kemudian berbagai pelanggaran HAMpun  kemudian menjadi isu-isu yang mencuat, diantaranya kelaparan hebat yang mengancam kematian penduduk di sana, dan pemerkosaan wanita-wanita yang terkurung di kota itu oleh tentara dan sebagainya.....

****

Sungguh malang nasib rakyat Suriah...  hanya karena menuntut demokrasi dan reformasi saja  di cap sebagai Teroris dan merenggang nyawa. Benarkah mereka "Terrorist" yang juga membuat masyarakat internaisonal menjadi alergi itu...?

Mengapa begitu mudah suatu rezim penguasa memberi stigma terhadap rakyatnya sendiri dengan "Terrorist"? Bukankah secara sederhana, terorist itu artinya orang yg suka membuat terror..? Dalam arti, orang yang secara aktif meneror mislanya dengan  meledakkan bom, mengancam dan sebagainya. Sedangkan dalam revolusi Suriah ini, rakyat disana berada dalam posisi “membela diri” (bersikap pasif/reaktif).  Jadi, agak aneh juga pernyataan Presiden Bashar Al-Assad di berbagai media massa  yang mengatakan bahwa rakyat yang melakukan revolusi itu adalah terorist..... Dan kalau kita mengikuti logika ini, berarti selama ini (sebelum revolusi terjadi) di dalam negara Suriah telah bermukim  puluhan ribu “terrorist” (Bukankah jumlah demonstran itu ratusan ribu orang?). Lalu apakah mungkin puluhan ribuan terrorist yang bermukim dalam suatu negara tidak diketahui sebelumnya selama bertahun-tahun oleh aparat militer/intelijen negara yang bersangkutan? Kalau mereka memang benar teroris, sungguh menjadi tidak masuk akal, bukan? Di Indonesia saja, lima orang teroris saja bisa membuat kalang kabut senegara.....

***

Akhirnya, melalui tulisan sederhana ini, saya hanya ingin mengatakan simpati terhadap perjuangan rakyat Suriah dalam merebut demokrasi.... Mungkin saat ini perjuangan demokrasi rakyat Suriah tengah mengalami masa-masa sulit (stagnan) dan defensif akibat penyerangan militer yang membabi buta.  Rakyat Suriah juga diantaranya  "dikalahkan" oleh stigma... Stigma sebagai "teroris" yang menyebabkan banyak komunitas internasional  ikut-ikutan percaya bahwa mereka (para pejuang demokrasi tersebut) benar "terrorist" dan sekaligus "pemberontak (separatis)". Sehingga banyak pihak yang berpendapat mereka tidak layak di bantu. Salah satu sebab banyak komunitas internasional (NGO/Non-Government Organization) yang kemudian menjadi ragu-ragu masuk ke wilayah konflik di sana menjalankan  misi kemanusiaan sebagaimana lazimnya.

Sungguh malang nasib rakyat Suriah.... Anak-anak muda, ibu-ibu...wanita/pemuda.... bahkan orang tua itu ... kini berjuang mati-matian bertaruh nyawa dalam revolusi rakyat yang berdarah-darah...."seorang diri".... Karena ternyata,  sebagian besar dari kita hanya menjadi "penonton" terhadap tragedi kemanusiaan ini......  Kita tampaknya lebih percaya dengan "Stigma" itu daripada akal sehat....

(Penulis: Rendra Trisyanto Surya/ Dosen Teknologi Informasi dan Akuntansi pada Politeknik Negeri Bandung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun