Mohon tunggu...
sufmi dasco
sufmi dasco Mohon Tunggu... -

politisi muda

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Urgensi Komunikasi Langsung dalam Kontestasi Pilpres

17 Juni 2014   21:17 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:21 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402989369445633080

Urgensi Komunikasi Langsung Dalam Kontestasi Pilpres

Oleh :  Sufmi Dasco Ahmad

(Ketua Umum Pimpinan Pusat Relawan Pasopati)

Relawan Prabowo Subianto Pilihan Pasti

Pemilihan umum, mulai dari masa pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden, menunjukkan adanya perbedaan antara satu sama lainnya.  Terutama dari respon masyarakat pemilih dalam mengartikulasikan pilihannya.  Sebagai gambaran, perhitungan suara pada Pemilu Legislatif 2004 lalu, meskipun Partai Golkar sebagai partai peraih prosentase suara terbanyak (21,58%) disusul PDI-P (18,53%), namun pada Pemilu Presiden menghasilkan kenyataan yang berbeda, yakni terpilihnya Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang nota bene adalah calon presiden dari Partai Demokrat yang hanya mendapat dukungan suara 7,46%.  Sebuah realitas politik yang luput dari atas kertas,  masyarakat memiliki respon yang rendah terhadap figur yang ditawarkan oleh partai politik pemenang Pemilu saat itu. Kondisi tersebut menunjukan adanya sebuah perubahan perilaku pemilih yang melakukan pilihan berbeda antara Pemilu Legislatif dan Pilpres.

Poin Kemenangan Prabowo

Fenomena pemilu 2014, dengan rivalitas antara Prabowo (Partai Gerindra) vs Jokowi (PDIP), seolah bisa kecenderungan untuk terulang kembali seperti pada saat pemilu 2004 lalu.  Berdasarkan perolehan prosentase suara pileg 2014, 3 besar peraih suara terbanyak adalah PDIP (18,95%), Partai Golkar (14,75%), dan Partai Gerindra (11,81%).  Sedangkan pada saat pileg 2009 lalu tercatat bahwa PDIP mengalami kenaikan sejumlah 4,92% dari perolehan prosentase suara 14,03% menjadi 18,95% di pileg 2014.  Kemudian Partai Gerindra mengalami kenaikan sejumlah 7,35% dari perolehan prosentase suara 4,46% menjadi 11,81% di pileg 2014.  Peningkatan raihan perolehan suara Partai Gerindra lebih sigifikan dibanding dengan peningkatan raihan perolehan suara PDIP.  Dengan kata lain faktor Prabowo effect lebih besar ketimbang Jokowi effect.  Besarnya Prabowo effect ini menunjukkan poin pertama kemenangan dari pergerakan politik kubu Prabowo dan Partai Gerindra.

Ketokohan, kharisma, suku maupun agama, bahkan latar belakang situasi dan kondisi pencitraan politik menjadi faktor yang turut mempengaruhi perubahan perilaku pemilih.  Misalnya masyarakat memilih Megawati karena ia pernah dizhalimi orde baru, kemudian SBY terpilih karena ia juga pernah dizalimi, sehingga terbentuk image di benak publik, seolah siapa yang dizalimi akan mendapat perhatian dan simpati masyarakat.  Namun nampaknya di momentum pilpres 2014 ini, yang mencuat adalah faktor konsistensi ketokohan capres dalam mengusung isu-isu kerakyatan dan pola yang berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan presiden SBY.  Muncul derasnya keinginan rakyat yang mengharapkan hadirnya kepemimpinan yang tegas, yang berbeda dengan gambaran pola kepemimpinan SBY yang terkesan tidak tegas.

Pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta yang didukung oleh : Partai Gerindra (11,81 persen), Partai Amanat Nasional (7,59 persen), Partai Persatuan Pembangunan (6,53 persen), Partai Golkar (14,75 persen), Partai Keadilan Sejahtera (6,79 persen), Partai Bulan Bintang (1,46 persen) sehingga tercatat total dukungan suara dari parpol koalisi tersebut sebesar 48.93%.  Kondisi ini ditambah lagi dengan hadirnya Partai Demokrat, meskipun oleh Ketua Umum nya (SBY) dinyatakan netral dalam pilpres, namun signal kuat dukungannya mengarah ke Prabowo-Hatta.

Pasangan nomor urut 2 Jokowi-Jusuf Kalla didukung oleh : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (18,95 persen),  Partai Nasdem (6,72 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen), Partai Hanura (5,26 persen), dan  Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (0,91 persen), sehingga tercatat total dukungan suara dari parpol koalisi tersebut sebesar 40,88%.

Kondisi di atas menunjukkan poin kedua kemenangan kubu Prabowo dalam menggalang koalisi parpol pendukungnya.  Sekaligus menunjukkan pula di atas kertas mustinya Prabowo-Hatta unggul dalam pilpres 2014.  Jelas ini menunjukkan pula bahwa  kemampuan komunikasi politik Prabowo lebih baik dibandingkan dengan komunikasi politik yang dibangun oleh Jokowi.

Merespons Aspirasi Warga

Belajar dari perubahan perilaku pemilih yang telah dijelaskan di atas, paling tidak ada empat hal mendasar yang harus diperhatikan sebagai langkah adaptif terhadap perubahan di atas, pertama, aspirasi pemilih terkait dengan apa yang dibutuhkan publik secara riil; kedua, figur calon pemimpin; ketiga, program yang ditawarkan; dan keempat, kinerja tim sukses.  Keempat faktor di atas tidak bisa dipisahkan, akan tetapi saling terkait satu sama lainnya.

Partai politik (parpol) maupun tim sukses harus mampu mensinergikan keempat hal di atas guna meraih simpati rakyat.  Yakni, bagaimana merespons aspirasi masyarakat untuk diakomodir kemudian diolah menjadi program dan isu kampanye, serta bagaimana calon pemimpin dan tim suksesnya mampu mengkomunikasikan programnya kepada masyarakat pemilih, sehingga terbentuk sebuah kepercayaan (trust) dan menumbuhkan harapan masyarakat.

Urgensi Komunikasi Langsung

Pemilihan presiden RI secara langsung sejatinya merupakan sarana untuk menguji sejauhmana calon presiden itu mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya. Pendek kata, dari sejumlah faktor tadi simpulnya adalah kemampuan membangun komunikasi efektif.  Hal ini tentu lebih efektif jika dilakukan secara langsung antara calon presiden dengan masyarakat pemilih.  Penekanan utama tentang perlunya akses komunikasi secara langsung antara keduanya adalah bagaimana kebutuhan komunikasi dan aspirasi masyarakat pemilih bisa tersalurkan dan mendapat respons dari kandidat capres.  Selain sebagai bentuk saluran komunikasi politik, adanya akses ini juga merupakan jalan guna melakukan pendidikan politik rakyat.  Lebih jauh lagi mampu melahirkan kontrak politik antara capres dengan masyarakat pemilih.

Komunikasi secara langsung ini tidak saja terhadap masyarakat pemilih sebagai penentu kemenangan, namun juga capres perlu membangun jaringan personal dengan berbagai kelompok mulai dari kelompok intelektual, kesukuan, agama, pemerintahan, parlemen dan pelaku bisnis.  Jaringan personal ini sangat efektif untuk membantu meneruskan penggalangan hingga ke tingkat grass root.  Pengalaman di lapangan perlibatan lintas tokoh maupun kelompok ini membawa konsekwensi politik bagi parpol pendukung utama capres untuk lebih konsern memposisikan diri sebagai pendorong daripada sebagai pemain di lapangan, dengan kata lain mereka cenderung berada di belakang lintas kelompok tersebut.

Dari proses komunikasi secara langsung ini, capres dan masyarakat pemilih bisa saling dengar pendapat atas apa yang menjadi masalah dan harapan mereka dalam kehidupan riil serta adanya keinginan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat (standar of live).  Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah belanja masalah dari seorang capres kepada konstituennya di lapangan.

Keliru apabila capres cenderung menggunakan pola komunikasi politik yang instant, misalnya dengan hanya memasang iklan secara besar-besaran, turun ke masyarakat dengan membagi-bagikan uang (money politics), menggunakan fasilitas negara, pengaruh jabatan yang sebelumnya dipegang (incumbent), dan bahkan pula dengan cara intimidasi maupun kekerasan.  Sejarah telah membuktikan, cara-cara seperti itu tidak akan berhasil di tengah-tengah negara dan masyarakat yang demokratis,  kecuali di negara-negara yang totaliter.    Oleh karena itu, proses adaptasi, penyerapan dan komunikasi terhadap dinamika perubahan di masyarakat tersebut harus melalui proses yang terprogram dan berkelanjutan dengan aksi nyata di lapangan.

Banyak anggapan bahwa incumbent cenderung akan memenangkan pemilu di semua tingkatan pusat hingga daerah.  Namun, meninjau dari sekian proses pemilu yang telah berlangsung, ternyata anggapan tersebut tidak seluruhnya benar.  Kita saksikan betapa banyak contoh incumbent yang gagal memenangkan kontestasi pemilu.  Hal ini bisa dikatakan sebagai bentuk kegagalan incumbent dalam melakukan proses komunikasi politik dengan masyarakatnya, terutama realisasi program mereka terdahulu tidak mendapat penilaian yang berarti dari masyarakat, sehingga mereka harus mencari figur alternatif selain figur incumbent.  Meski disinyalir oleh banyak kalangan bahwa incumbent cenderung memiliki segudang kelebihan, utamanya soal pundi-pundi politik, namun sangat jelas sinyalemen itu terjawab bahwa uang (money politics) bukan-lah segalanya.

Dari sekian banyaknya hasil survei perilaku pemilih yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey, utamanya jelang pilpres 2014 ini, banyak responden beranggapan bahwa komunikasi langsung yang dilakukan oleh calon presiden beserta tim suksesnya merupakan metode yang paling mempengaruhi pilihannya.  Selanjutnya, responden mengatakan keberadaan komunikasi tidak langsung seperti melalui media massa baik cetak maupun elektronik, brosur, poster maupun spanduk terkait capres telah mempengaruhi pilihannnya.

Penggabungan metode komunikasi langsung dan tidak langsung ini nampaknya menjadi alternatif yang paling efektif dalam model kampanye yang dilakukan. Begitu pun bisa kita saksikan bersama, pola yang berkembang saat ini, justeru yang dilakukan oleh para capres dari waktu ke waktu momentum pilpres di Indonesia, kampanye/komunikasi tidak langsung melalui media massa khususnya media elektronik merupakan sarana yang paling sering digunakan.  Hampir semua calon presiden menggunakan media elektronik sebagai sarana kampanye/komunikasi tidak langsung dengan masyarakat.  Hal demikian dilakukan karena situasi dan kondisi Indonesia yang relatif luas dan penduduknya yang tersebar di setiap pulau bagian negeri ini, sehingga lebih efektif jika melakukan kampanye secara tidak langsung melalui media elektronik.   Meskipun, hakekatnya para pemilih tetap menilai bahwa komunikasi langsung antara mereka dengan para capres adalah faktor yang paling signifikan dalam menentukan pilihannya.

Urgensi komunikasi langsung dan formula mengemas serta merespons aspirasi warga, musti dijadikan titik tolak untuk menentukan strategi pemenangan pilpres 2014.  Prabowo-Hatta bagaimanapun juga harus mampu mencetak gol sebagai poin ketiga yang merupakan bagian akhir penentu kemenangan dalam pilpres kali ini. Prabowo Presiden RI, Indonesia Bangkit!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun