Mohon tunggu...
ria fitriani
ria fitriani Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selangkangan Penguasa

5 November 2010   18:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:49 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pundi-pundi pengetahuan tak cukup terjewantahakan hanya dengan menyebutnya suatu kepandaian. Kepandaian primitive yang dikuasai oleh sosok penguasa yang arogan dalam mengakui keegoisannya. Puing kepandaian bahkan tak cukup terwakilkan dengan pengetahuan mendasar dari dalam raga bumi. Kepandaian tak berukur hanya dengan keterpaksaannya menuntut suara akan dirinya yang ditindas oleh letupan penguasa bumi.

Berdiri sejajar diantara “selangkangan penguasa” handal yang tak cukup mengerti dengan arti nyanyian. Nyatanya tak pernah sejajar dengan mereka, namun hanya coba disejajarkan saja. Letupan jiwa pemberontak yang dangkal akan suara, bagai tercerabut diantara sunyi malam yang gersang. Seorang penguasa mengerling tajam, dengan angkara yang tersulut dalam wajahnya, sementara penguasa lain menodongkan pisau amarah di leher manusia yang tak berani menentangnya, hanya karena satu “hutang budi” alih-alih sifat lokal para penguasa yang memanfaatkan kesempatan yang mereka ciptakan.

Mereka saling meneriaki satu sama lain, bersaut mempersalahkan alam yang tak kekal, mengatas namakan perubahan dalam regenerasinya. Para penguasa tak mampu memahami apa yang berdiri diantara mereka. Seorang lemah yang hanya mampu menebah dada, dengan kaki gemetar, suara tercekat yang lirih berkumandang untuk menentang kebijakan mereka. Hanya itu kemampuan para penguasa, menarik ulur apa yang mereka anggap menguntungkan. Suara sumbang dan parau tak menjadi satu pemikiran dalam otak pintar mereka, hanya menjadi tetesan air dalam musim kemarau.

Wajah mereka terlalu merah, telinga mereka terlalu tuli, mulut mereka terlalu tajam, mata mereka terlalu buta, dan hati mereka terlalu kelam. Otak mereka terlalu pandai memarginalkan realitas yang seharusnya terjadi, “marginalisasi otak” terus bertengger dengan dalih akselerasi akan sebuah kekuasaan yang mencapai revitalisasi tujuan. Kekuasaan terus menerus merekayasa generasi yang tak mampu bicara diatas kekritisan mereka. “Kritis” akan sesuatu idealita, namun tak pernah penguasa membiarkan mereka paham akan kritis terhadap realitas. Komponen yang sengaja dibenturkan dengan asas kepandaian alih-alih reaktualisasi kekuasaan tertingi yang tak pernah berujung pada tujuan sebenarya.

(Hey para penyandang kekuasaan sadarlah perilakumu menimbulkan side effec yang buruk bagi kami kaum intermediate yang masih belum tuntas dalam proses kami di sini... alih-alih regenerasi yang harus mengikuti akselerasi dari tampu perjuangan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun