Mohon tunggu...
Dini Wikartaatmadja
Dini Wikartaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

Pustakawan, Penulis, Violist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasangan yang Mulia di Bulan Mulia

14 Juli 2015   20:08 Diperbarui: 14 Juli 2015   20:19 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pasangan kakek-nenek (Kfk.kompas.com)

Katakanlah ini adalah dorongan dari Yang Maha Kuasa agar saya kembali menulis sebuah kisah. Kisah yang saya alami sendiri dan dibagi ke teman-teman sekalian agar turut mendapatkan hikmahnya. Sejujurnya, belakangan saya memiliki banyak kisah yang ingin disampaikan dalam tulisan. Namun dengan alasan malas dan menunggu pertanda dari Yang Maha Kuasa saya pun urung menuliskan. Ada dua kisah yang luar biasa di hari ini (Senin,13 Juli 2015) namun saya baru menuliskan satu cerita saja terlebih dahulu. Ini pun saya potong menjadi dua bagian karena panjang sekali. Weiiew.

Dan beginilah ceritanya..

Katakanlah saya mengenal beliau di kantor tempat saya bekerja,Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa yang mana setiap pagi dengan tertatih-tatih menenteng plastik yang berat di tangan kanan dan kirinya. Belakangan saya tahu penyebab jalan yang tertatih-tatih tersebut dikarenakan sakit asam urat yang sudah lama dideritanya. Usianya sekitar lima puluh tahunan, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, gemuk dan jika tersenyum maka gigi-ginya yang mulai ompong di kanan dan kirinya akan terlihat jelas tapi tentu saja hal tersebut tidak mengurangi senyumnya yang selalu menyampaikan ketulusan. Kulitnya sawo matang dengan garis wajah yang mengikuti orang Jawa, lembut dan ayu.

Dalam plastik tersebut berisi gorengan tahu, bakwan, lontong, mie goreng, nasi goreng, siomay, dan kadang pempek. Penuh. Banyak. Makanan inilah yang selalu dinanti teman-teman saya di kantor untuk mengganjal perut hingga siang nanti. Singkat cerita, saya pun akhirnya dekat dengan beliau dan semua itu berawal ketika suatu hari bertanya ke beliau mengapa beberapa hari tidak datang ke kantor dan membuat kami (para pecinta sarapan dengan gorengan dan lontong) sedikit kelimpungan. Beliau pun bercerita tentang sakit asam uratnya yang sudah parah hingga membuat tidak bisa beraktivitas banyak, juga suaminya yang ikut-ikutan sakit darah tinggi sehingga mereka berdua tidak bisa berjualan.

Sewaktu saya singgung ke mana anaknya, beliau pun menyampaikan dengan tenang bahwa mereka tidak dikaruniai anak. Saya pun terdiam, simpati. Waktu berjalan dan hubungan kami pun semakin dekat, tak jarang saat bertemu entah saat beliau mengantar dagangannya atau mengambil uang dagangan di sore hari biasanya kami akan berbincang-bincang singkat. Entah beliau yang menceritakan perkembangan kesehatannya atau tentang saya yang sedang banyak keluar kantor sehingga tidak bisa (lagi) sering bertemu beliau. Hal-hal sederhana yang bagi saya istimewa yang dilakukan seperti menitipkan makanan mulai dari pempek, soto ayam, siomay, mie goreng hingga pisang yang katanya baru berbuah di halaman rumahnya.

Dalam kesempatan lain, beliau pun tak sungkan untuk menelepon saya sekedar bertanya kabar karena katanya sudah lama tidak melihat saya ke kantor. Sampai sejauh ini saya pun tersentuh dengan semua perlakuan istimewa kepada saya. Mengingat saya yang anak kost dan jauh dari orangtua (kantor-rumah abah sekitar 2,5 jam) bertemu dengan beliau cukup membuat hati senang karena ada juga yang memperlakukan saya di sini (tempat saya bekerja dan ngekost) selayaknya anak sendiri. Hingga tibalah hari ini, hari di mana saya bisa mengenal lebih dalam lagi dengan sosok yang jauh dari gemerlapnya dunia.

Sore ini badan saya kurang fit karena sejak kemarin saya memang sakit karena itu rencana abah saya mau menjemput ke kost. Jadi rencananya sepulang kerja saya tinggal duduk manis di kost dan menunggu jemputan abah kesayangan. Namun ternyata, abah membatalkan datang karena ada tetangga yang meminta bantuan untuk mengantar ke rumah sakit. Dalam sebuah grup whatsapp kantor dikabarkan ada buka puasa bersama di Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa yang letaknya persis di seberang kost saya. Karena menghindari makan sendiri di kost dan bertemu orang-orang baru saya pun semangat untuk ikutan buka puasa tersebut tentunya dengan stamina yang kurang dari 100 persen. Namun, belum sampai di seberang, baru saja di halaman kost, Ibu yang kerap saya panggil dengan Bu Yeti menelepon dan menceritakan bahwa hari ini beliau memasak ikan pesmol dan mengundang saya berbuka puasa di rumahnya.

“Mbak Dini buka puasa di sini ajah, Ibu masak pesmol, ada pempek, ada kerupuk mie,” katanya dengan semangat. “Tapi ya rumahnya gubuk, masih mau gak Mbak?” tanyanya dengan ragu. “Oke baiklah Bu. Sip saya mampir ya karena besok kan saya sudah pulang ke rumah Abah dan kapan lagi saya bisa buka bareng sama ibu dan bapak,” jawabku semangat dengan badan yang sebenarnya lemas.

Saya pun melangkahkan kaki dengan ringannya. Begitu keluar dari gerbang kost, angkot 07 tujuan Parung-Bogor yang berwarna hijau daun langsung berjalan pelan dan berhenti di depan saya. “Oke baiklah mungkin ini pertanda baik,” gumam hati.

Sesampainya di depan Komplek Telaga Kahuripan, saya pun langsung mengingat petunjuk dari Bu Yeti,”Mba Dini naik ojek dari depan Kahuripan, terus minta turun di gereja POTK, nah gubug itu persis di samping gereja yang ada empangnya”, pesan Bu Yeti terakhir sebelum menutup telepon awal tadi.

Saya pun naik ojek dan langsung bilang ke bapak ojek tujuan saya. Selama perjalanan yang ternyata cukup jauh dari depan komplek ke tempat tujuan, saya pun sempat bercerita terkait sejarah komplek Telaga Kahuripan yang dulunya adalah perkebunan karet yang dimiliki oleh seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris bernama William Menzils (cerita ini saya dapat dari teman saya, Ninik yang seorang peneliti Cagar Budaya di Jawa Barat). Menariknya, bapak ojek ternyata warga asli sehingga perbincangan kami yang sekitar 15 menit menuju rumah Bu Yeti pun menjadi seru bersahut-sahutan menceritakan pengalaman bapak tersebut saat komplek tersebut masih sebuah perkebunan.

“Nah, tu neng gerejanya udah kelihatan,” kata bapak ojek. “Alhamdulillah,” sahut saya. Sebelum gereja, saya pun melihat ada rumah yang berdiri dengan sederhananya juga empang yang persis di depannya. Dengan dikelilingi pohon pisang, pohon pepaya, pohon nangka dan pepohonan lain yang saya tidak begitu tahu jenisnya. Saya pun meminta berhenti di gereja. Sebenarnya saya tidak begitu yakin itu rumah Bu Yeti. Tapi mengingat petunjuk yang diberikan bahwa rumahnya persis di samping geraja dan ada empang maka saya pun sedikit yakin bahwa mungkin memang betul itu adalah rumah beliau. Bapak ojek pun pergi setelah saya membayar ongkosnya.

Lalu, saat saya berharap-harap bahwa saya tidak salah rumah karena kondisinya di jalan tersebut tidak ada rumah penduduk. Yang ada hanya pepohonan saja dan sesekali motor lewat. Lalu datanglah Bu Yeti dari arah rumah tersebut sambil melambaikan tangan. Menggunakan bergo (jilbab kaos) berwarna merah maroon dengan renda-renda di pinggirnya yang memuat gambar bunga-bunga kecil membuat Bu Yeti terlihat manis dan keibuan. Saya pun mencium tangan beliau dan segera memasuki area rumahnya.

Sungguh kaget karena apa yang beliau bilang gubuk ya ternyata memang benar adanya. Rumahnya terbuat dari anyaman bambu yang dibuat seperti ditempel sana-sini. Saat memasuki rumahnya, tamu akan melihat ada dua kursi buatan yang ditaruh menghadap langsung ke tv 14 inch yang katanya menyala 24 jam,satu meja panjang yang rendah dan bangku panjang dari bamboo. Alasnya masih tanah liat. Rumah tersebut jika didekati ternyata berbentuk rumah panggung dimana jarak tanah berpijak dengan rumah sebegai tempat tinggal sekitar 40 cm. Di bawah rumah tersebut berjalan-jalanlah dengan tenangnya macam-macam binatang ternak, mulai dari entok, bebek, ayam kate.

Binatang-binatang tersebut adalah pemberian dari tetangga di sekitar. “Kita dikasih sepasang bebek, Mba Din, alhamdulillah pada hidup semua dan sekarang ada 15 pasang, itu lagi ada yang dieramin lagi,” kata Bu Yeti mengawali pembicaraan saat saya terlihat keasikan melihat bebek dan ayam kate yang juga ikutan jalan lalu lalang di depan saya. Saya bingung bagaimana mengungkapkan perasaan saya ketika berada di rumah tersebut. Ada perasaan sedih, haru sekaligus bangga saya bisa menjadi bagian dari keluarga Bu Yeti di sore ini.

Dalam perbincangan kami yang panjang, ditangkaplah sebuah kisah yang luar biasa. Mulai dari tanah yang mereka miliki ternyata adalah pinjaman dari salah seorang penghuni di Komplek Kahuripan sampai bagaimana perjuangan pasangan suami-istri ini membangun hidupnya yang dari tidak memiliki apa-apa hingga menjadi seperti sekarang.

Dari sepanjang kisah perjuangan terkuaklah cerita menarik bahwa Pak Syaiful-istri Bu Yeti adalah mantan Kepala Biro yang membawahi 58 karyawan di perusahaan Astra yang (ex) dimiliki oleh Pak William Soeryadjadja. Katanya lagi, saat masih menjadi karyawan tersebut, Pak Syaiful selalu mengantar Pak William dan keluarga untuk beristirahat di Villa Bandung. Hal menarik tidak sampai di situ saja karena kemudian Pak Syaiful menceritakan kalau dulu dia sempat “dekat” dengan Malinda Dee (tersangkut kasus pembobolan dana nasabah Citibank). “Betapa dunia ini benar-benar bisa membolak-balikan status kehidupan seseorang. Dulu bapak punya mobil dua, rumah dengan kontrakan 10 pintu. Sekarang, beginilah hidup bapak. Tapi bapak senang menjalani yang sekarang, tidak ngoyo dan bersyukur,” ungkap bapak yang berusia 60-an ini.

Terkait tiga empang yang mereka kelola sekarang terdapat mujair, ikan gabus dan nila juga si ikan emas besar dengan berat 2,5 kg yang dinamakan ‘Kumpay’ oleh Bu Yeti. Awalnya saya pikir ikan-ikan yang kelihatannya melimpah ruah sekali di empang tersebut diperuntukkan untuk dijual dan ternyata itu diperuntukkan bagi sesiapa saja yang menginginkan ikan tersebut. Bebas diminta oleh para tetangganya yang tentunya jauh dari rumah sederhana beliau. “Kumpay itu ikan kesayangan saya Mba Din, gede warnanya cakep dan setiap saya pergi ke jamban saya suka bilang ke dia, ”Kumpay, lu jangan ke mana-mana yak, tetap di empang,” ceritanya dengan diselingi tawa mengenang masa-masa Kumpay ada.

Rupanya Kumpay memang patuh apa kata majikannya. Bahkan banjir yang kerap terjadi saat hujan deras, Kumpay pun akan tetap berada di empang. Sampai suatu ketika ada tetangganya datang dan melihat si Kumpay, tetangga tersebut pun meminta Kumpay untuk dimasak di perjamuan keluarganya. Dengan senang hati Kumpay pun dikasihkan ke tetangga tersebut diantar Pak Syaiful ke rumahnya.

Ya mau bagaimana lagi, kalau ada yang meminta ya tentu dikasih. Selagi ada yang bisa dikasih. Kita mah gak tega kalo ada yang minta trus gak dikasih. Kita mah tau rasanya meminta. Alhamdulillah, kita yang begini bisa ada yang dikasih ke orang. Buat orang senang. Itu juga buat kita senang, Neng,” jelas Pak Syaiful dengan dalam. Tapi ya ada orang yang lebih membutuhkan dari kita ternyata masih banyak juga, Neng. Kami suka kehilangan tabung gas, wajan, dandang sampai mangkok juga piring,” sambung Bu Yeti.

Melihat rumahnya yang memang terbuka tanpa ada pintu atau pagar ya memang akan dengan mudah sekali dimasuki orang asing. Tapi pikir saya, orang yang mengambil itu mungkin benar-benar butuh sehingga dengan teganya mengambil dari pasangan yang sederhana ini.

Dari tiga jam bersama Pak Syaiful dan Bu Yeti, saya pun mengalami pengalaman yang menarik sekaligus lucu. Saat di mana saya sedang makan jamuan pempek lalu terbanglah dengan santainya ayam kate yang dipanggil si hitam berkali-kali di samping saya, sambil diikuti entok yang berkali-kali mencoba mematok kaki saya. Akhirnya saya pun meminta ijin untuk menaikkan kaki saya dan duduk bersila agar entok tersebut tidak jahil lagi. Makan pempek dengan atmosfer peternakan yang kental memang punya sensasi tersendiri. Entah karena pempeknya yang enak atau saya yang lapar, acara makan-makan pun dinikmati dengan lahap. Tentunya tidak peduli dengan ayam terbang, entok yang mondar-mandir juga kucing yang bersantai di atas sepatu putih pemberian Eyang Murtini. Suara-suara jangkrik juga ikut menemani perbincangan kami dalam rumah yang sederhana dan mulia tersebut.

Pak Syaiful dan Bu Yeti adalah sosok nyata dari pasangan hebat yang sederhana disertai asam garam kehidupan yang teruji juga hati yang begitu pemurah. Walaupun mereka kini bukan dari keluarga yang serba ada dan bahkan jauh dari kata mewah tapi kehidupan mereka kini yang menyatu dengan alam rupanya benar-benar mengajarkan pasangan ini tentang konsep kemuliaan dunia yang tidaklah kekal.

Memang begitu adanya bukan, bahwa kemulian dunia akan pudar seiring dengan waktu karena itu tak bisa dijadikan ukuran atas kehidupan juga keberhasilan seseorang. Berapa banyak keluarga dengan kelapangan rezeki yang hidup dengan hati yang sempit. Pelit memberikan amal juga berzakat. Perhitungan dalam memberi dan kalaupun memberi ingin dipublikasi dan haus akan pujian.

Seperti perkataan Albert Einstein, ”Sungguh sedikit mereka yang melihat dengan mata mereka sendiri dan merasakan dengan hati mereka sendiri.”

Hari ini, di malam 27 Ramadhan, saya pun diajarkan oleh Allah melalui pasangan hebat ini tentang betapa harus menjadi orang yang pandai bersyukur, murah hati dalam memberi dan menjalani semua ketetapan Allah atas kita. “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Dengan mengucap Segala Puji Bagi Allah Tuhan semesta alam, saya memenuhi hati dan jiwa saya dengan rasa syukur yang tak terhingga. Betapa sampai detik ini, saya selalu dikelilingi orang-orang yang baik, bijaksana dan selalu menunjukkan saya pada jalan-jalan kebaikan. Wallahu’alam bishawab.

#Ayo Berzakat,Banyaklah Bersedekah—Ambil berkahnya,

With love,

 

DW

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun