Mohon tunggu...
Dini Wikartaatmadja
Dini Wikartaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

Pustakawan, Penulis, Violist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasangan yang Mulia di Bulan Mulia

14 Juli 2015   20:08 Diperbarui: 14 Juli 2015   20:19 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pun naik ojek dan langsung bilang ke bapak ojek tujuan saya. Selama perjalanan yang ternyata cukup jauh dari depan komplek ke tempat tujuan, saya pun sempat bercerita terkait sejarah komplek Telaga Kahuripan yang dulunya adalah perkebunan karet yang dimiliki oleh seorang tuan tanah berkebangsaan Inggris bernama William Menzils (cerita ini saya dapat dari teman saya, Ninik yang seorang peneliti Cagar Budaya di Jawa Barat). Menariknya, bapak ojek ternyata warga asli sehingga perbincangan kami yang sekitar 15 menit menuju rumah Bu Yeti pun menjadi seru bersahut-sahutan menceritakan pengalaman bapak tersebut saat komplek tersebut masih sebuah perkebunan.

“Nah, tu neng gerejanya udah kelihatan,” kata bapak ojek. “Alhamdulillah,” sahut saya. Sebelum gereja, saya pun melihat ada rumah yang berdiri dengan sederhananya juga empang yang persis di depannya. Dengan dikelilingi pohon pisang, pohon pepaya, pohon nangka dan pepohonan lain yang saya tidak begitu tahu jenisnya. Saya pun meminta berhenti di gereja. Sebenarnya saya tidak begitu yakin itu rumah Bu Yeti. Tapi mengingat petunjuk yang diberikan bahwa rumahnya persis di samping geraja dan ada empang maka saya pun sedikit yakin bahwa mungkin memang betul itu adalah rumah beliau. Bapak ojek pun pergi setelah saya membayar ongkosnya.

Lalu, saat saya berharap-harap bahwa saya tidak salah rumah karena kondisinya di jalan tersebut tidak ada rumah penduduk. Yang ada hanya pepohonan saja dan sesekali motor lewat. Lalu datanglah Bu Yeti dari arah rumah tersebut sambil melambaikan tangan. Menggunakan bergo (jilbab kaos) berwarna merah maroon dengan renda-renda di pinggirnya yang memuat gambar bunga-bunga kecil membuat Bu Yeti terlihat manis dan keibuan. Saya pun mencium tangan beliau dan segera memasuki area rumahnya.

Sungguh kaget karena apa yang beliau bilang gubuk ya ternyata memang benar adanya. Rumahnya terbuat dari anyaman bambu yang dibuat seperti ditempel sana-sini. Saat memasuki rumahnya, tamu akan melihat ada dua kursi buatan yang ditaruh menghadap langsung ke tv 14 inch yang katanya menyala 24 jam,satu meja panjang yang rendah dan bangku panjang dari bamboo. Alasnya masih tanah liat. Rumah tersebut jika didekati ternyata berbentuk rumah panggung dimana jarak tanah berpijak dengan rumah sebegai tempat tinggal sekitar 40 cm. Di bawah rumah tersebut berjalan-jalanlah dengan tenangnya macam-macam binatang ternak, mulai dari entok, bebek, ayam kate.

Binatang-binatang tersebut adalah pemberian dari tetangga di sekitar. “Kita dikasih sepasang bebek, Mba Din, alhamdulillah pada hidup semua dan sekarang ada 15 pasang, itu lagi ada yang dieramin lagi,” kata Bu Yeti mengawali pembicaraan saat saya terlihat keasikan melihat bebek dan ayam kate yang juga ikutan jalan lalu lalang di depan saya. Saya bingung bagaimana mengungkapkan perasaan saya ketika berada di rumah tersebut. Ada perasaan sedih, haru sekaligus bangga saya bisa menjadi bagian dari keluarga Bu Yeti di sore ini.

Dalam perbincangan kami yang panjang, ditangkaplah sebuah kisah yang luar biasa. Mulai dari tanah yang mereka miliki ternyata adalah pinjaman dari salah seorang penghuni di Komplek Kahuripan sampai bagaimana perjuangan pasangan suami-istri ini membangun hidupnya yang dari tidak memiliki apa-apa hingga menjadi seperti sekarang.

Dari sepanjang kisah perjuangan terkuaklah cerita menarik bahwa Pak Syaiful-istri Bu Yeti adalah mantan Kepala Biro yang membawahi 58 karyawan di perusahaan Astra yang (ex) dimiliki oleh Pak William Soeryadjadja. Katanya lagi, saat masih menjadi karyawan tersebut, Pak Syaiful selalu mengantar Pak William dan keluarga untuk beristirahat di Villa Bandung. Hal menarik tidak sampai di situ saja karena kemudian Pak Syaiful menceritakan kalau dulu dia sempat “dekat” dengan Malinda Dee (tersangkut kasus pembobolan dana nasabah Citibank). “Betapa dunia ini benar-benar bisa membolak-balikan status kehidupan seseorang. Dulu bapak punya mobil dua, rumah dengan kontrakan 10 pintu. Sekarang, beginilah hidup bapak. Tapi bapak senang menjalani yang sekarang, tidak ngoyo dan bersyukur,” ungkap bapak yang berusia 60-an ini.

Terkait tiga empang yang mereka kelola sekarang terdapat mujair, ikan gabus dan nila juga si ikan emas besar dengan berat 2,5 kg yang dinamakan ‘Kumpay’ oleh Bu Yeti. Awalnya saya pikir ikan-ikan yang kelihatannya melimpah ruah sekali di empang tersebut diperuntukkan untuk dijual dan ternyata itu diperuntukkan bagi sesiapa saja yang menginginkan ikan tersebut. Bebas diminta oleh para tetangganya yang tentunya jauh dari rumah sederhana beliau. “Kumpay itu ikan kesayangan saya Mba Din, gede warnanya cakep dan setiap saya pergi ke jamban saya suka bilang ke dia, ”Kumpay, lu jangan ke mana-mana yak, tetap di empang,” ceritanya dengan diselingi tawa mengenang masa-masa Kumpay ada.

Rupanya Kumpay memang patuh apa kata majikannya. Bahkan banjir yang kerap terjadi saat hujan deras, Kumpay pun akan tetap berada di empang. Sampai suatu ketika ada tetangganya datang dan melihat si Kumpay, tetangga tersebut pun meminta Kumpay untuk dimasak di perjamuan keluarganya. Dengan senang hati Kumpay pun dikasihkan ke tetangga tersebut diantar Pak Syaiful ke rumahnya.

Ya mau bagaimana lagi, kalau ada yang meminta ya tentu dikasih. Selagi ada yang bisa dikasih. Kita mah gak tega kalo ada yang minta trus gak dikasih. Kita mah tau rasanya meminta. Alhamdulillah, kita yang begini bisa ada yang dikasih ke orang. Buat orang senang. Itu juga buat kita senang, Neng,” jelas Pak Syaiful dengan dalam. Tapi ya ada orang yang lebih membutuhkan dari kita ternyata masih banyak juga, Neng. Kami suka kehilangan tabung gas, wajan, dandang sampai mangkok juga piring,” sambung Bu Yeti.

Melihat rumahnya yang memang terbuka tanpa ada pintu atau pagar ya memang akan dengan mudah sekali dimasuki orang asing. Tapi pikir saya, orang yang mengambil itu mungkin benar-benar butuh sehingga dengan teganya mengambil dari pasangan yang sederhana ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun