Mohon tunggu...
Dini Wikartaatmadja
Dini Wikartaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

Pustakawan, Penulis, Violist

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan

21 Juli 2014   14:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat hatimu tulus menyayangi seseorang. Maka perjumpaannya yang singkat dengannya akan seperti bagian dari hidupmu yang sudah kau kenal selama hidupmu. (DW:2014)

Ya. Itulah yang kurasakan sekarang terhadap beberapa orang asing yang tiba-tiba muncul di hadapanku dan berubah menjadi seperti keluarga. Eyang. Begitulah aku memanggilnya juga begitu beliau membahasakan dirinya kepadaku. Aku yang sudah lama ditinggal Kakek dan Nenek,rasanya bagaikan kebagian durian runtuh saat ada seseorang “menyodorkan” panggilan itu untuk kusebut.

Sosoknya sederhana, tegas namun ternyata memiliki hati yang sangat baik, jika dia tersenyum maka kau akan ikut tersenyum. Begitupula jika dia tertawa. Seketika kau akan merasa sangat bahagia walau hanya melihatnya tertawa. Sorot matanya yang dalam menandakan sudah banyak sekali pengalaman asam garam yang dilaluinya dengan anggun.

Saat pertama aku mengunjungi beliau di rumahnya bersama sahabatku yang lain, Ibu Ratih. Seketika itu aku langsung sayang dengan beliau. Entahlah. Aku yakin bu Ratih pun mengalami hal yang sama. Sepertinya kami adalah teman lama yang tidak pernah berjumpa. Sehingga pertemuan pertama kami diisi dengan tawa, cerita, tawa lagi kemudian cerita kembali dan diakhiri dengan sesi  foto-foto!

Sampai tiba-tiba, bu Ratih berkata padaku, “Dini, kamu tahu kan bu Murtini ini suaminya adalah Nyoman S. Penditt yang menuliskan Epos Mahabarata, “tanyanya dengan setengah berbisik. Saat itu Eyang sedang mengambil minuman untuk kami berdua. “Hmm..Nyoman S. Penditt, rasanya nama itu tidak asing di telingaku, jawabku ragu-ragu. “Aku suka sekali dengan buku-bukunya, aku baca buku beliau sejak aku kecil”, ujar bu Ratihku dengan mata berbinar. “Awesome”, girangku dalam hati!

Jika memang Nyoman S. Penditt yang aku kenal berarti aku sangat beruntung bisa bertemu dengan beliau. Tiba-tiba sejurus  kemudian orang yang kami bicarakan muncul. Beliau berjalan dengan tongkat. Badannya tinggi besar. Siapapun yang melihatnya akan mempunyai pendapat yang sama, pasti waktu muda, orang ini  gagah dan tampan. “ini Eyang Nyoman, kata Eyang memperkenalkan seraya membantunya duduk di kursi.

Lalu mulailah percakapan itu :

“ini siapa”?tanyanya terlebih dahulu kepada bu Ratih.  “Ini Ratih, Yang”, jawab bu Ratih dengan lembut.

“Kamu pustakawan”?tanya Eyang kembali lalu menunjuk ke arah Eyang Murtini, “dia Pustakawan”.

“Bukan Yang, aku penulis, jawab bu Ratih dengan senyum. Tapi saya temannya Pustakawan seraya melirik diriku dan Eyang. Kamipun tertawa!Begitupula dengan Eyang Nyoman.

“Kalo kamu siapa?” tanyanya kepadaku. “Aku Dini, Yang”, jawabku sambil meletakkan tanganku di lututnya.

Lalu Eyang Murtini menyela, “Nah kalo yang ini Pustakawan”, kata beliau sambil senyum. Aku tertawa begitupula dengan Eyang Nyoman. “Kamu kerja dimana?tanyanya kembali.

Dengan pelan-pelan aku katakan, “Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia”,jawabku. Eyang Nyoman pun mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

Seketika itu beliau pun langsung bercerita tentang kisah hidupnya. Eyang Murtini duduk persis di samping Eyang Nyoman. Sedangkan aku dan bu Ratih duduk di hadapan Eyang Nyoman, di kakinya. Ya. Kalau diingat-ingat kami seperti dua orang “anak dan cucu” yang sedang siap-siap mendengarkan dongeng. Para Eyang di atas, dan kami para “anak dan cucu” di bawah bersatu dengan lantai.

“Dulu saya jatuh cinta dengan dia. Dia dari keluarga kaya. Saya dari keluarga sederhana. Tapi dia juga cinta dengan saya, hahaha”, kata Eyang mengawali ceritanya dan diselingi dengan senyum dan tawa.

Aku dan bu Ratih mengangguk-angguk takjub. Melihat kami yang begitu asyik menjadi pendengar setianya. Eyang Nyoman pun menceritakan kembali kisah cintanya, “Susah sekali mendapatkan dia. Dia ini orang kaya. Saya ini orang sederhana, tidak punya apa-apa. Tapi kami bisa menikah, hahaha. Singkat cerita, perjuangan Eyang Nyoman dalam mendapatkan Eyang Murtini sangatlah luar biasa.

Eyang berhasil menaklukan hati orangtua Eyang Murtini dengan sebuah buku. Yup, buku! Buku yang beliau tulis sendiri dengan tangannya dan kedalaman pengetahuannya tentang falsafah Hindu. Itu adalah buku yang membuat luluh hati Sang Calon Mertua. Momen itu rupanya sangat mambekas di memori Eyang Nyoman. Betapa tidak, di hadapan semua orang desa saat itu yang sedang berkumpul untuk membaca Kitab bersama, lalu dengan bangganya Sang Calon Mertua memuji-muji Eyang berikut buku yang telah ditulisnya seraya berkata, “ini calon menantuku yang tulis”. Bisa kubayangkan perasaaan spesial yang menyelimuti hati Eyang Nyoman kala itu. Pasti sangat membahagiakan! Aku terpesona.

Tiba-tiba  cerita pun melompat ke jaman orde lama. “Saya diminta datang ke Istana Negara oleh Bung Karno. Bung Karno itu suka lukisan perempuan telanjang, hahaha. Lalu Bung Karno bilang, “Hei Nyoman,Ibu saya orang Bali, kamu orang Bali,jadi kita sama-sama orang Bali, mari kita berfoto”.

“Saya suka Bung Karno karena dia masih mau bergaul dengan orang kecil seperti saya”, kenangnya dalam.

Pikirku saat itu,”Oh My GOD, Eyang dihadapanku ini  bukanlah orang sembarangan. Betapa tidak orang nomor satu di Indonesia saat itu justru yang minta foto dengan beliau!

Dua minggu yang lalu saat kami berjumpa kembali di rumah Eyang. Beliau masih sama, gagah! Aku, Eyang Murtini dan Eyang Nyoman makan malam bersama. Kuperhatikan beliau makan dengan lahap dan tenang. Aku dibuat senang juga melihatnya. Apalagi malam itu ada makanan kesukaanku, Cap Cai! Setelah makan kami pun kembali berbincang tentang anak dan cucu-nya yang hebat-hebat. Diikuti Eyang Murtini yang mengupaskan mangga untuk kami berdua.

Sesekali kuperhatikan mereka berdua. Cara Eyang Murtini melayani Eyang Nyoman dengan sabar dan penuh kasih. Walau di usianya yang telah sangat sepuh masih bisa kulihat bara cinta di mata Eyang Nyoman untuk Eyang Murtini.

Sesekali Eyang akan bertanya , “kamu teman baiknya dia?seraya menunjuk Eyang Murtini. “Aku mengangguk dalam sambil mengiyakan. “Dia memang baik..lanjut Eyang  sambil melirik ke Eyang Murtini dan aku pun mengamininya. Eyang Murtini yang mendengar hanya senyum-senyum saja.

Siang itu, aku pun mendengar kabar dari bu Yati melalui komentar beliau di FB-nya. “Dini sudah tahu ayah pak Putu meninggal dunia kemarin pagi”, tulis bu Yati.

Seketika itu aku pun langsung menghubungi bu Ratih. Bu Ratih yang menerima kabar dariku pun kaget bukan kepalang. Beliau pun langsung meluncur ke rumah duka. Dan aku kembali berduka, dalam!

Kuputuskan untuk segera menyelesaikan urusanku di SMP dan segera pulang ke kost. Dalam perjalanan pulang yang kutempuh dengan berjalan kaki, bayangan-bayangan kebersamaan kami selalu muncul. Cerita-cerita heroik dan penuh inspirasi pun kembali berputar di otakku.

Sesampainya di kost aku pun kembali menghubungi bu Ratih, pikirku beliau pasti sudah ada di samping Eyang. Betul dugaanku, Eyang menerima teleponku dan sungguh tak bisa kubendung tangisku. Aku menangis. Sama seperti saat Kakek dan Nenekku meninggal dunia. Perih!

Eyang Murtini tegar justru beliaulah yang menenangkanku. Katanya, “Eyang Nyoman berpulang dengan damai dalam tidurnya. Doakan dia bahagia di alam sana”.

Aku yang disebrang hanya bisa mengangguk-anggukan kepala sambil sesekali menghapus air mata yang tidak mau berhenti. Karena sinyal di sini yang kurang bersahabat akhirnya kuputuskan untuk pamit segera di telepon.

Malam itu, aku renungi beberapa kejadian belakangan dalam hidupku. Minggu lalu Ratih,adikku. Kini,Eyang Nyoman. Esok aku tak tahu, entah diriku atau orang-orang yang kusayangi lainnya. Yang jelas aku belajar banyak dalam melihat kematian.

Betapa banyak hal yang kita inginkan di dunia ini tapi terkadang kita lupa ada kematian yang bisa saja merenggutnya seketika.

Akupun berdamai dengan diriku,membuat janji untuk menjadi orang yang bisa mencintai lebih banyak orang lagi. Lebih sabar dan pemaaf. Mengecilkan masalah besar dan meniadakan masalah kecil. Siapapun orang yang kukenal yang kutemui dimanapun dan kapanpun, aku tak akan malu dan sungkan lagi untuk mengatakan bahwa mereka spesial dan sangat berharga di hatiku. Sebab  sungguh kita tak akan tahu siapa yang lebih dulu diundang oleh kematian. So Be Good and Do Good!

(Saya tak pernah takut untuk mencoba hal yang baru, jika orang lain bisa mengapa saya tidak bisa?-Nyoman S. Penditt:2014)

Salam,

_DW_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun