Siswa-siswi dengan bakat menonjol dapat mengikuti kelas-kelas yang lebih sesuai, misalnya kelas musik, kelas olahraga, tanpa mengurangi penguasaan materi umum. Kelas-kelas agama minoritas pun diselenggarakan, tak terkecuali agama Islam. Kelas pekerjaan rumahtangga diajarkan di pendidikan menengah tanpa memandang gender siswa sebab masyarakatnya meyakini pekerjaan rumah tangga harus dilakukan semua orang!
Tak hanya persoalan kesetaraan, budaya jujur dan bertanggungjawab yang ditanamkan di sekolah-sekolah di Finlandia merupakan miniatur budaya masyarakatnya. Misalnya, perlengkapan alat tulis dan alat bantu pembelajaran lain disediakan dengan bebas di sekolah tanpa pengawasan ketat. Tapi pencurian tak terjadi. Penulis buku, Ratih D. Adiputri mengalami sendiri ketika ia tanpa sengaja meninggalkan barang di suatu tempat, dengan mudah ia menemukan kembali di tempat semula. Adanya magang profesi di pelbagai institusi saat menempuh sekolah menengah di Finlandia memberi kesempatan siswa-siswi bertanggungjawab secara professional dan mencicipi pengalaman kerja pada profesi yang ingin ia jalani kelak.
Badan Nasional Pendidikan Finlandia mengatur beragam dimensi proses pendidikan, alih-alih strukturnya, termasuk mengelola kurikulum nasional berbasis riset. Penerapan kurikulum baru dilakukan secara bertahap dan bertahun-tahun. Ujian nasional hanya dilakukan pada akhir tahapan sekolah menengah umum maupun kejuruan. Hasil ujian tidak digunakan untuk menghukum sekolah-sekolah, tetapi memberikan bantuan yang diperlukan. Pada akhir masa sekolah, para siswa akan menguasai delapan kompetensi kunci (di dalamnya termasuk keterampilan digital dan kompetensi sosial/sipil) dan tujuh keterampilan transversal (Adiputri, 2019:44).
Lebih dari itu, hak mendapatkan pendidikan di Finlandia pun tak berhenti di tahapan perguruan tinggi, melainkan sepanjang hayat! Motto pendidikan Finlandia adalah "pembelajaran seumur hidup" (Adiputri, 2019:9). Jadi, setiap orang selalu mendapatkan kesempatan berubah karir atau meningkatkan mutu diri selama hidupnya.
Gambaran tersebut berbeda jauh dengan sistem pendidikan dan keadaan sosiokultural di Indonesia. Di negeri kita, siswa-siswi yang berhasil melalui pendidkan dasar hingga tinggi dengan sukses adalah mereka yang memiliki beragam privilege. Lahir di keluarga mampu, bertempattinggal di kota-kota berfasilitas lengkap, berangkat sekolah dengan perut kenyang dan menaiki transportasi pribadi memadai. Juga, mampu membiayai kelas-kelas tambahan untuk pengembangan akademik maupun bakat dan keterampilan. Tak sedikit orangtua-orangtua kaya menyekolahkan putra-putrinya di sekolah-sekolah swasta maupun program-program internasional di perguruan tinggi. Semua itu demi siswa-siswi memenangkan kompetisi baik saat menempuh pendidikan maupun di dunia kerja. Â
Sementara itu, jauh lebih banyak siswa-siswi di Indonesia tidak memiliki semua privilege tersebut. Mutu guru dan fasilitas pada setiap sekolah, terutama di kawasan urban dan pedesaan timpang. Â Belum lagi budaya memfavoritkan institusi-institusi pendidikan negeri tertentu masih sulit dikikis. Sebab, jejaring alumni yang sudah terbentuk di institusi-institusi tersebut menjadi salah satu faktor kesuksesan karir masa depan. Sekolah-sekolah dengan alumni sukses berpeluang mendapatkan bantuan pendanaan lebih dari alumninya.
Tingkatan-tingkatan maupun keterbelahan sosial di Indonesia tercipta dan terpelihara melalui perbedaan mutu, orientasi dan gaya pendidikan di setiap sekolah dan wilayah. Eksklusivitas dalam proses pendidikan itu membuat siswa-siswi Indonesia merasa asing dengan orang-orang di luar lingkungannya meski masih di negeri sendiri. Budaya menghargai perbedaan, memelihara kejujuran dan bertanggungjawab yang ditanamkan di sekolah sulit mendapatkan penguatan di luar sekolah manakala masyarakat di kehidupan sehari-hari menunjukkan hal sebaliknya.
Buku karangan Ratih D. Adiputri terbitan KPG itu tergolong buku langka. Cerita tentang kualitas pendidikan di Finlandia banyak ditulis oleh orang-orang asing. Salahsatunya adalah buku terjemahan penerbit Grasindo "Mengajar Seperti Finlandia: 33 Strategi Sederhana untuk Kelas yang Menyenangkan", karangan Timothy D. Walker (2017). Timothy, guru migran dari Amerika Serikat bercerita tentang metode pembelajaran di dalam kelas-kelas di Finlandia dan ia membandingkan dengan pengalaman mengajarnya di negara asalnya. Sementara, buku karya Ratih ditulis dari perspektif asli sebagai orang Indonesia yang bertempattinggal dan membesarkan putra-putrinya di Finlandia. Oleh karenanya, selama masa penyesuaian diri, pengalaman Ratih terkait pendidikan di Indonesia kerap berseberangan dengan praktek pendidikan di Finlandia.
Buku ini hadir ketika kita semakin resah dengan mutu pendidikan di Indonesia yang seakan jalan di tempat sementara perubahan teknologi informasi dan komunikasi semakin melesat. Buku ini membuka mata lebih lebar bahwa masalah pendidikan di Indonesia yang rupanya tak hanya berpusat di pendidikan itu sendiri, melainkan masyarakat luas!
Saya menanti Ratih D. Adiputri menulis buku lanjutan tentang bagaimana pendidikan di Finlandia menyiapkan generasi mudanya siap menjadi warga negara dewasa.