Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Kasus Sodomi Anak di JIS

16 April 2014   19:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:36 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seks bisa dialami oleh bayi hingga lansia. Jika anak-anak bisa diajari untuk memahami tubuh dan konsekuensi moral dan kesehatannya sedari kecil, kita bisa membantu menekan kemungkinan pelecehan seksual, pemerkosaan terbuka atau pemerkosaan dan pencabulan dengan dalih cinta dan kasih sayang.

Yap, kita bisa mengajarkan wawasan seks bersamaan dengan wawasan cinta dan kasih sayang kepada anak. Bahwa kedua hal itu berbeda dan semestinya baik laki-laki dan perempuan bisa memisahkan cinta dari aktivitas hubungan seksual. Unsur seks pada cinta pasti ada, misalnya laki-laki suka wanita berdada besar, namun kopulasi bukanlah pembuktian dari cinta.

Bagi anak perempuan, pendidikan seks juga perlu disertai dengan mengajari bagaimana perempuan berupaya menjaga dirinya sendiri, baik hati maupun fisik.  Bagi anak laki-laki, pendidikan seks juga perlu dibarengi dengan mengajari caranya menghormati perempuan.

Meski orangtua sudah sedemikian rupa mendidik anaknya tentang wawasan seks, bagaimana pun tidak selamanya orangtua bisa mengawasi pergaulan anaknya. Sekolah sebagai lingkungan kedua setelah rumah semestinya bisa menjadi pengawas bagi anak.

Sekolah sekaliber Jakarta International School (JIS) semestinya bisa mencegah hal-hal seperti sodomi itu terjadi. Ya ampuuun, kasus sodomi adalah pencorengan reputasi yang paling buruk bagi sekolah. Hak mendasar bagi anak yaitu mendapatkan perlindungan ternyata dilanggar oleh sekolah yang konon mempunyai kurikulum internasional!

Ketika orang membaca berita tentang pelecehan seksual, mungkin dia bisa membatin, "Syukurlah, itu bukan di sekolah anak saya, bukan di rumah saya, bukan di kampung saya." Tetapi sebenarnya hal itu bisa terjadi di mana saja. Kejahatan tidak menunggu ketika hari malam. Di siang bolong pun mungkin! Paedofilia bisa beraksi di mana saja: di sekolah kaliber internasional, maupun negeri!

Korban yang baru berusia enam tahun jelas tidak bisa disalahkan. Tapi tak sepenuhnya salah orang tua korban jika anaknya mengalami kejadian yang akan mempengaruhi jati diri selama sisa hidup anak itu. Dalam kasus sodomi di JIS itu, jelas, JIS harus bertanggungjawab. Institusi pendidikan tidak bisa melepaskan tanggungjawabnya begitu saja. JIS memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memilih anak, mendapatkan ruangan untuk beraksi, dan keluar masuk tanpa dicurigai. Intinya, JIS gagal melindungi anak.

Berdasarkan berita terbaru, Afriska, perempuan yang entah peran dan tanggungjawabnya apa di JIS, menjadi perantara antara korban dengan para pelaku karena Afriska bisa berbahasa Inggris! Aduh-duuuh... . Apakah Afriska dapat bayaran dari para pelaku jika sudah mendapatkan mangsa? Jelas jika seperti itu yang terjadi, kejahatan itu sangat sistematis dan korbannya bisa jadi tidak hanya satu. Masak sih JIS tidak mencium adanya kejahatan yang terjadi di bawah atap mereka sendiri?

Belajar dari kasus JIS, para orangtua janganlah memilih sekolah karena gurunya bisa berbahasa inggris, bahasa pengantarnya inggris, gedungnya mewah, sekolah langganan juara, pesertanya anak-anak pejabat, atau hal-hal gengsi lainnya. Pilihlah sekolah yang bisa menjaga anak bahagia, aman, sehat, dan sejahtera.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun