Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Gene... Pengen Punya Anak Empat...?

25 April 2014   05:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RASA tertarik saya pada seseorang langsung jatuh ketika ia berkata kelak ingin punya empat anak. Alasannya sederhana: anak akan keluar rumah satu per satu sehingga orang tua tidak akan kesepian.

Loh, emang siapa yang akan merawat empat anak itu? Katanya anak yang pertama bisa membantu mengasuh adik-adiknya.

Emangnya punya duit? Dengan percaya diri ia berkata bahwa setiap anak ada rejekinya dan lagipula selama orang tua mau bekerja, anak-anak bisa makan.

Lantas, kapan dong orangtua pacaran kalau setiap saat mengurus anak? Katanya, pacarannya orangtua bisa dilakukan bersama anak-anak. Aduh. Mulut bawahku jatuh ke lantai.

Pada zaman modern yang mengejar efisiensi dan efektivitas, jumlah penduduk yang tinggi, produksi pangan yang menurun, kualitas lingkungan terdegradasi, dan biaya hidup mahal, masih ada ternyata orang-orang yang berpikir konservatif dengan alasan non-religius. Jika alasan-alasan religius seperti agama melarang KB, dan menambah anggota laskar jihad, saya tidak bisa membantahnya. Hal itu adalah pilihan ideologis yang tidak bisa ditentang. Sementara, alasan teman saya itu adalah alasan yang menurut saya --egois, patriarkis dan teknis.

Saya pernah mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang curhat kepada saya tentang nasibnya yang kurang beruntung. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara. Semenjak ia sudah bisa mandiri di usia tujuh tahun, ia ditugasi ibunya untuk merawat adik-adiknya yang terentang dari usia lima hingga beberapa bulan. Ia juga membantu ibunya membuat gula jawa dan keranjang dari bambu. Pekerjaan rumah tangga lainnya ia lakukan sementara adik-adiknya hanya bermain dan bersekolah. Asisten saya itu akhirnya tidak lulus sekolah dasar sementara ketiga adiknya yang lain minimal lulus SD (yang perempuan) dan SMA (untuk dua yang laki-laki).

Secara tidak langsung, asisten saya sebagai anak pertama ikut menjadi orangtua bagi adik-adiknya. Tidaklah mengherankan simbok itu punya kepribadian yang lembut dan baik hati, sekaligus peka dan rapuh karena tidak pernah sepenuhnya menjadi anak-anak.

Kali ini tetangga saya. Ia selalu berkantor setelah ia mengantar anak-anaknya. Putra-putrinya berjumlah sembilan. Yang tertua sekarang ini masih di tahun ketiga kuliah, yang terakhir masih belum genap setahun. Alasan punya banyak anak adalah alasan religius. Oke, tidak masalah. Tetapi, lihatlah akibatnya. Ia tidak pernah berkantor dengan tenang sebab ia sibuk antar jemput anak, ditelepon terus menerus oleh istrinya di rumah atau anak-anaknya, dan sering meminjam uang ke sana-sini. Belum lagi jika anak-anaknya ditanya satu per satu: apakah mereka betul-betul bahagia? Saya sangsi, sebab setiap kali si Bapak menerima telepon dari rumah, nada yang keluar adalah nada emosional cenderung ke marah-marah.

Helooo...dengan contoh-contoh di atas, kok masih pengen punya anak empat atau lebih...?

Tidak apa-apa sebetulnya punya anak empat, tetapi ambillah dua di antaranya dari panti asuhan sebagai bukti bahwa keinginan punya anak empat itu tidak didorong oleh keinginan untuk memperbanyak keturunan sendiri, melainkan menyayangi umat manusia umumnya. Bisakah?

Selain itu, pastikan kita sudah kaya terlebih dahulu sebelum memutuskan punya anak empat. Tuhan pasti memberikan rezeki. Tetapi, apakah upaya kita selama ini sudah memberikan sinyal-sinyal rezeki yang sesuai dengan standar kesejahteraan yang dibuat? Ingin punya anak empat dan semua sekolah di institusi kelas satu, tetapi bekerja jadi...pegawai honorer di institusi pemerintahan (sebab gaji buruh sekarang lebih besar daripada honorer di pemerintahan), alamat pasti menuju hutang-hutang. Kita memang harus percaya Tuhan memberi rezeki, tetapi Tuhan juga berfirman kita harus pakai akal pikiran dan berusaha.

Hal miris lainnya adalah...tuntutan pada anak. Sungguh kejam membayangkan anak pertama ikut mengasuh dan merawat adik-adiknya. Mengajak bermain mungkin iya, tetapi menjaga dan menggantikan popok, jelas bukan tugas anak-anak. Meskipun bisa, hal itu bukanlah kewajiban anak-anak. Orangtualah yang seharusnya melakukan itu semua. Tetapi, hal itu di zaman sekarang tidak mungkin dilakukan tanpa adanya bantuan babysitter atau tempat penitipan anak. Eyang-eyang tidak selamanya bisa diandalkan. Istri juga ingin bekerja. Kok, anak empat sih?

Ingat, dulu sih, to raise a child takes a village...tetapi penduduk desa itu semuanya adalah saudara sendiri akibat praktek kawin mawin dengan sesama saudara. Punya anak delapan nggak kayak punya anak karena orang sekampung bantu mengurusi. Sementara sekarang, tetangga kita bisa jadi adalah  bukan saudara, jangan-jangan malah paedofilia, hiiih.

Orang bijak pernah berkata memiliki dua anak bukanlah membagi cinta menjadi dua, melainkan melipatgandakannya menjadi dua. Melipatgandakan cinta masih bisa saya bayangkan. Tetapi, melipatempat-kan cinta...hmmm...tidak mudah. Pasti terjadi ketidakadilan.

Anak empat...kapan kedua orangtua sempat pacaran?

Sepasang orang tua muda membawa anaknya yang baru dua tahun menonton film The Raid 2. Meski si anak bisa duduk tenang, please deh, film itu tidak layak tonton untuk anak. Tetapi hal itu sangat mungkin terjadi manakala waktu-waktu intim ingin pacaran sulit ditemukan padahal baru punya anak satu.

Apalagi ada keinginan untuk ditinggalkan anak mandiri satu per satu dan orang tua tidak merasa kesepian, hal itu menandakan bahwa ia tak siap untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lain setelah menjadi suami, dan ayah. Ia lupa, setiap anak yang keluar rumah, kelak akan membawa paling tidak dua cucu. Mau dititipi delapan cucu di rumah saat badan sudah mulai goyah? Aduuuh...saya sih pilih pergi jalan-jalan ke Karibiaaaa.

Ikatan terkuat dalam pernikahan seharusnya bukanlah ikatan yang dibentuk dari seberapa banyak jumlah anak, melainkan ikatan hati, cinta. Pernyataan ingin punya anak empat dengan alasan-alasan disebut di atas jelas bukan ekspresi ikatan hati. Jika ingin anak empat karena ikatan hati, paling tidak ia berkata seperti ini, "Aku ingin banyak anak, karena aku ingin lebih banyak dikelilingi oleh senyum indahmu dan binar matamu di wajah-wajah kecil."

Gombal sih, tetapi mungkin berhasil.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun