Mohon tunggu...
Gilang Parahita
Gilang Parahita Mohon Tunggu... Dosen - Hai! Saya menulis di sini sebagai hobi. Cek karya-karya saya!

Feminis, romantis, humoris.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Gene... Pengen Punya Anak Empat...?

25 April 2014   05:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hal miris lainnya adalah...tuntutan pada anak. Sungguh kejam membayangkan anak pertama ikut mengasuh dan merawat adik-adiknya. Mengajak bermain mungkin iya, tetapi menjaga dan menggantikan popok, jelas bukan tugas anak-anak. Meskipun bisa, hal itu bukanlah kewajiban anak-anak. Orangtualah yang seharusnya melakukan itu semua. Tetapi, hal itu di zaman sekarang tidak mungkin dilakukan tanpa adanya bantuan babysitter atau tempat penitipan anak. Eyang-eyang tidak selamanya bisa diandalkan. Istri juga ingin bekerja. Kok, anak empat sih?

Ingat, dulu sih, to raise a child takes a village...tetapi penduduk desa itu semuanya adalah saudara sendiri akibat praktek kawin mawin dengan sesama saudara. Punya anak delapan nggak kayak punya anak karena orang sekampung bantu mengurusi. Sementara sekarang, tetangga kita bisa jadi adalah  bukan saudara, jangan-jangan malah paedofilia, hiiih.

Orang bijak pernah berkata memiliki dua anak bukanlah membagi cinta menjadi dua, melainkan melipatgandakannya menjadi dua. Melipatgandakan cinta masih bisa saya bayangkan. Tetapi, melipatempat-kan cinta...hmmm...tidak mudah. Pasti terjadi ketidakadilan.

Anak empat...kapan kedua orangtua sempat pacaran?

Sepasang orang tua muda membawa anaknya yang baru dua tahun menonton film The Raid 2. Meski si anak bisa duduk tenang, please deh, film itu tidak layak tonton untuk anak. Tetapi hal itu sangat mungkin terjadi manakala waktu-waktu intim ingin pacaran sulit ditemukan padahal baru punya anak satu.

Apalagi ada keinginan untuk ditinggalkan anak mandiri satu per satu dan orang tua tidak merasa kesepian, hal itu menandakan bahwa ia tak siap untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lain setelah menjadi suami, dan ayah. Ia lupa, setiap anak yang keluar rumah, kelak akan membawa paling tidak dua cucu. Mau dititipi delapan cucu di rumah saat badan sudah mulai goyah? Aduuuh...saya sih pilih pergi jalan-jalan ke Karibiaaaa.

Ikatan terkuat dalam pernikahan seharusnya bukanlah ikatan yang dibentuk dari seberapa banyak jumlah anak, melainkan ikatan hati, cinta. Pernyataan ingin punya anak empat dengan alasan-alasan disebut di atas jelas bukan ekspresi ikatan hati. Jika ingin anak empat karena ikatan hati, paling tidak ia berkata seperti ini, "Aku ingin banyak anak, karena aku ingin lebih banyak dikelilingi oleh senyum indahmu dan binar matamu di wajah-wajah kecil."

Gombal sih, tetapi mungkin berhasil.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun