Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Puasa dan Kebohongan Para Suami

2 Juli 2015   13:51 Diperbarui: 2 Juli 2015   13:51 4769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Puasa pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi semua ummat Islam di seluruh dunia, hanya ada beberapa pengecualian untuk orang-orang yang boleh meninggalkan puasa yaitu orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh atau dalam keadaan sakit, itupun harus mengkadha atau menggantinya pada hari yang lain. Ada juga pengecualian bagi perempuan hamil atau menyusui serta orang-orang tua yang sudah pikun, mereka boleh meninggalkan puasa tanpa harus menggantinya di hari lain, tapi mereka harus membayar fidyah atau memberi makan fakir miskin.

Faedah, keberkahan dan rahasia ibadah di bulan Ramadhan yang pahalanya berlipat dibandingkan dengan ibadah pada bulan lainnya, sudah sering kita dengar dari para ustadz, penceramah, kyai atau tengku baik di masjid, mushalla maupun di media elektronik. Begitu juga keutamaan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh rahmah, maghfirah dan itkun minannar serta bulan dimana Allah SWT menurunkan Alqur’an kepada Nabi Muhammad SAW untuk yang pertama kalinya, juga sudah sering kita baca dalam Alqur’an maupun Hadits Nabi. Untuk itu saya tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena saya menyadari bahwa pengetahuan saya tentang hal tersebut sangatlah minim sekali.

Yang ingin saya “angkat” dalam tulisan ini, hanyalah sebuah “fenomena” yang sering kita lihat atau kita jumpai di kalangan kita pada bulan Ramadhan, bukan saja pada tahun ini, tapi juga sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dan terus berulang, seolah sudah menjadi “tradisi” atau kebiasaan, meski sebenarnya itu sebuah kesalahan yang cukup fatal.

Fenomena yang saya maksudkan adalah kebiasaan para suami membohongi istri mereka terkait dengan ibadah puasa, hal ini sangat mungkin terjadi karena ibadah puasa merupakan ibadah “rahasia” yang hanya diketahui oleh Allah dan orang yang bersangkutan, sementara orang lain tidak dapat memastikan apakah orang itu berpuasa atau tidak, karena tidak dapat dibuktikan secara fisik.

Kita sering melihat di sekitar lingkungan kerja kita bahkan dikalangan teman atau saudara-saudara kita, apapun profesi dan lingkungan kerja kita, bisa di kantor, pasar, kebun, sawah dan tempat lainnya. Seorang suami yang berpamitan kepada istri dan anak-anaknya untuk bekerja, dia berangkat dalam keadaan “berpuasa” karena pada malam harinya dia juga ikut makan sahur bersama keluarganya. Tapi sampai di tempat kerja, banyak sekali godaan dan gangguan yang dapat begitu mudahnya seseorang membatalkan puasanya, apalagi bagi mereka yang merasa “terpaksa” melaksanakan puasa. Rata-rata mereka yang masuk dalam “kelompok” ini, melaksanakan puasa bukanlah karena kesadaran akan kewajiban, tetapi karena malu sama anak dan istri, tetangga, orang tua atau mertua.

Akibat “keterpaksaan” itu, akhirnya puasa orang tersebut hanya “setengah hati”, setelah merasa “aman” dari pantauan orang-orang yang dia segani, dia mulai mencari cara untuk “melepaskan” puasanya. Dengan alasan mengusir nyamuk, sering kita lihat ada orang di kebun meyalakan api dengan kayu bakar, dan diam-diam menyeduh kopi dan memasak mi instan, dia merasa bahwa di kebun itu tidak siapapun yang melihatnya. Begitu juga yang terjadi di pasar-pasar, meski secara resmi waraung-warung makan menutup usahanya pada siang hari, masih ada juga yang diam-diam membuka “pintu belakang”, dan mereka yang masuk dari pintu belakang itu, rata-rata para suami yang ketika berangkat ke pasar mengaku berpuasa. Di kantor-kantor pemerintah dan swasta, kejadiannya juga nyaris sama, para karyawan pria yang ketika berangkat dari rumah masih dalam keadaan puasa, tapi begitu sampai di kantor kemudian menyuruh Office Boy untuk mencarikan makanan atau minuman, dan kalau makanan dan minuman “siap saji” tidak didapatkan, mereka sering “memaksa” sang OB untuk menghidupkan kompor sekedar memasak mi instan dan menyeduh kopi. Sang OB sendiri biasanya juga tidak merasa terpaksa, karena untuk “pekerjaan tambahan” itu biasanya dia mendapatkan “tips” yang lumayan.

Apa yang terjadi kemudian, ketika para suami itu pulang dari tempat kerja, dengan muka yang di”pucat-pucat”kan, tubuh yang di”lemas-lemas”kan, bibir yang terlihat kering, seolah-olah ingin menunjukkan diri bahwa dia benar-benar orang yang berpuasa. Para istri yang melihat “kondisi” suami mereka yang sedemikian “mengenaskan”, kemudian begitu bersemangat untuk membuat dan menyediakan bukaan bagi suami mereka, terkadang justru dengan menu-menu istimewa. Dan ketika bedug maghrib berbunyi, sang suami justru terlihat paling bersemangat menyantap hidangan berbuka. Kalo kita mau cermati, sedikitnya ada tiga kesalahan yang dilakukan oleh sang suami, pertama dia sudah membohongi istri dan anak-anaknya, kedua dia sudah membuat apa yang dilakukan istrinya menjadi sia-sia dan tidak berpahala karena sudah menyediakan makanan bagi orang yang tidak berpuasa dan ketiga secara tidak sadar, dia sudah “mengajarkan” dan “menanamkan” ketidak jujuran kepada keluarganya. Dan tanpa disadari pula oleh para suami, apa yang dia lakukan itu sudah membohongi dan “meracuni” istri dan anak-anak yang nota bene orang-orang terdekatnya.

“Kesalahan” para suami itu juga terus berlangsung, salah satunya akibat pemaknaan dan penerapan budaya yang salah kaprah . Jarang sekali para istri bertanya apakah ketika pulang suaminya masih dalam keadaan berpuasa, rata-rata mereka terkecoh dengan “penampilan fisik” sang suami ketika kembali ke rumah. Lagipula, bagi sebagian perempuan “timur”, bertanya tentang hal yang di anggap “sensitif” kepada suami itu dianggap “tabu”. Itulah sebabnya banyak sekali para istri yang tidak menyadari bahwa dia sudah dibohongi oleh orang terdekatnya justru di bulan yang konon sangat suci itu.

Meski tanpa kata-kata, tapi kebohongan para suami itu terus berlanjut dari waktu ke waktu dan itu tidak pernah disadari sama sekali oleh para istri. Tabi tanpa disadari, para suami itu sudah melakukan kesalahan fatal, mungkin meeka beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah kebohongan kecil, tapi sebenarnya yang dia lakukan adalah sebuah kebohongan sistematis dan terstruktur, karena tidak pernah terbongkar dan terus berjalan dari tahun ke tahun.

Coba kita renungkan sedikit, seorang istri pada hakekatnya adalah orang terdekat bagi sang suami, tapi di saat Allah menguji kejujuran dan ketakwaan seseorang, justru dia tanpa rasa berdosa terus menerus membohongi istrinya. Secara logis, jika seseorang sudang teriasa membohongi orang-orang terdekatnya, maka bukan sesuatu yang sulit untuk membohongi orang lain. Stimulasi dari kebohongan yang katanya “kecil” itu, pada akhirnya melahirkan berbagai tindakan menyimpang baik dalam keluarga maupun di tempat kerja. Maraknya perselingkuhan, bisa ditengarai salah satu penyebabnya adalah kebohongan di bulan puasa ini, para suami yang sudah terbiasa membohongi istri mereka, tentu tidak sulit untuk mengelabui istri mereka. Begitu juga terjadinya korupsi, penipuan, pemotongan hak orang lain, ketidak jujuran dalam menimbang, mencampur barang busuk dengan barang baru, mungkin juga merupakan sebuah fenomena kecuarangan yang berawal dari kebohongan di bulan puasa yang tanpa disadari kemudian “berkerak” di dalam hati para suami yang sejatinya “tidak berhati” itu.

Dalam tulisan ini, saya juga tidak akan membahas apakah para pembohong itu telah melakukan dosa besar atau dosa kecil, karena semua itu kembali kepada kesadaran kita masing-masing. Seperti yang saya singgung pada awal tulisan ini, bahwa puasa merupakan ibadah rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan individu yang bersangkutan, jadi tak layak rasanya jika kita “memvonis” para pendusta itu sebagai “pendosa”.

Ketika kemudian saya “mengangkat” tema ini, tak ada maksud sedikitpun untuk “membongkar” borok seseorang, tapi hanya sekedar mengingatkan kepada diri sendiri untuk tidak “terjebak” pada fenomena yang sama. Namaun saya tetap yakin, kebohongan sekecil apapun tidak akan pernah membawa kebaikan apapun, apalagi jika keohongan itu dimulai dengan membohongi orang-orang terdekat kita. Mungkin saja para istri tidak pernah curiga atau menduga kebohongan ittu karena ketulusan mereka, tapi secara psikologis, kebohongan yang tidak terungkap dengan kata-kata itu kemudian akan membentuk perilaku yang penuh kebohongan dan kepalsuan, dan jika fenomena itu sudah menyangkut dengan kehidupan bermasyarakat, maka dampaknya tidak saja hanya dirasakan oleh pelaku tapi juga mempengaruhi bahkan merusak tatanan social reliligius dalam masyarakat.

Di akhir tulisan ini, mungkin hanya satu yang ingin saya pesankan kepada diri saya sendiri dan teman-teman yang punya pemikiran dan renungan yang sama, bulan Ramadhan hakekatnya adalah bulan penguji kejujuran, jangan kotori dia dengan kebohongan atau ketidak jujuran kita. Kalo memang merasa tidak sanggup berpuasa dengan berbagai alasan, atau memang puasa itu bukan “panggilan jiwa”nya, untuk apa ahrus meng”kamuflase” dengan panca indra kita, ketika kita tidak berpuasa tanpa merasa takut bahwa apa yang kita lakukan itu dilihat oleh Allah, mengapa pula kita harus malu jujur kepada orang-orang terdekat kita. Bukan bermaksud mengajari apalagi menggurui, tapi sekedar bahan perenungan, bagi yang mau merenung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun