Mohon tunggu...
Eko Joko Susanto
Eko Joko Susanto Mohon Tunggu... -

Tenaga Pengkaji

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Kedinasan Tidak Layak Dibubarkan

1 Februari 2012   20:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:11 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika menyimak berbagai pemberitaan tentang wacana pembubaran sekolah kedinasan yang akhir-akhir ini marak diungkapkan berbagai media, khusus nya media cetak, mungkin membuat kita semakin bertanya, apa benar sekolah kedinasan itu masih layak dipertahankan ? sebuah pertanyaan tidak bisa dijawab hanya dengan sebuah opini maupun pendapat segelintiran orang. Karena tentu akan menghasilkan jawaban yang subyektif. Jawaban yang dilontarkan oleh mahasiswa kedinasan sudah pasti akan berbeda dengan jawaban yang dilontarkan oleh mahasiswa dari universitas umum. Mahasiswa kedinasan akan lebih mendukung eksistensi  dari sekolah yang bersangkutan, sedangkan mahasiswa nonkedinasan akan memandang dari sudut yang berbeda. Oleh karena itu, kita akan coba mengamati dari dua sudut yang berbeda, tanpa ada keterpihakan pada salah satu sisi.



Semua perguruan tinggi di Indonesia menyelenggarakan pendidikan berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, nomor 20 tahun 2003. Pada pasal 20 ayat 1 dikatakan “Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas”. Ayat ini sudah jelas bahwa landasan hukum universitas diakui oleh negara. Namun demikian, tidak kalahnya untuk perguruan tinggi kedinasan. Pada ayat 2, pasal tersebut menjelaskan  bahwa Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. Program profesi ini dapat ditafsirkan sebagai program keahlian yang dapat langsung digunakan oleh Kementerian/lembaga. Dari dasar hukumnya jelas, kedua perguruan tinggi ini sah secara hukum. Pembubaran perguruan tinggi hanya dapat dilakukan berdasarkan penjelasan pasal 21 ayat 5, sebagai berikut “Penyelenggara pendidikan yang tidak  memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan”

Landasan hukum utama pendidikan kedinasan adalah pada pasal 29 ayat 1, “Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen”. Tiap sekolah kedinasan diatur oleh peraturan penjelas Undang-undang yang berbeda. Misalnya, sekolah Tinggi Akuntansi Negara diatur dengan PMK nomor 94 tahun 2010, sebagaiman diubah dengan PMK nomor 215 tahun 2011. Institut Pemerintahan Dalam Negeri diatur oleh Permendagri nomor 36 tahun 2009. Sekolah tinggi Ilmu Statistik dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Surat Keputusan Nomor 295/D/T/97 Tanggal 24 Februari 1997. Ditjen Dikti mengijinkan BPS menyelenggarakan Program Diploma IV. Kemudian setelah itu, diterbitkan Keppres No.163 Tahun 1998 tentang STIS di bawah naungan BPS, sehingga sejak saat itu berdirilah STIS. Inti nya, setiap sekolah kedinasan memiliki landasan hukum yang sudah melalui pertimbangan yang matang. Tentu menjadi dipertanyakan jika pertimbangan dan kajian yang mendalam itu harus dicabut kembali dengan membubarkan sekolah kedinasan. Sungguh suatu kebijakan yang perlu dievaluasi ulang.

Maksud pemerintah mendirikan perguruan tinggi kedinasan ini tercantum pada pasal 29 ayat 2, yaitu” Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas  kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen”. Faktanya, hampir semua lulusan sekolah kedinasan telah memiliki kompetensi teknis yang lebih baik daripada lulusan perguruan tinggi umum, khususnya di bidang pemerintahan. Apabila lulusan perguruan tinggi umum diangkat menjadi CPNS, tentu membutuhkan training untuk dapat mengemban tugas dengan baik, mengingat kehidupan di dunia pemerintahan sangat berbeda dengan perusahaan swasta. Aktivitas pemerintahan dituntut akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang tinggi dalam pelaksanaan tugas. Salah sedikit saja, walaupun hanya karena kelalaian atau kekurangtelitian, jika terjadi unsur kerugian negara, sanksi pidana siap menanti di depan mata. Seperti yang belum lama ini telah terjadi di di suatu instansi pemerintah, yang mana para pegawai sudah menjalankan tugas sesuai standar operasioanal dan prosedur pun, akibat terjadi kerugian negara yang dilakukan oleh pihak ketiga, Ia dijatuhi sanksi Pidana penjara 1,5 tahun dan denda 200 juta rupiah. Pegawai tersebut sebenarnya memiliki kompetensi teknis yang baik dan sudah menjalankan tugasnya sesuai aturan, tetapi masih saja terkena sanksi seperti itu. Bagaimana jika ini terjadi pada pegawai yang baru masuk, yang mana belum memiliki kompetensi apapun ?

Dari hal di atas sudah jelas bahwa keduanya, baik pendidikan kedinasan maupun nonkedinasan telah memiliki landasan hukum yang sama kuat. Sekarang coba kita amati dari sudut lain, yaitu dari segi kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh warga negara sesuai UUD 1945. Pasal 31 UUD 1945 “ Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh pendidikan”. Tidak ada pengecualian apa pun. Jika pendidikan kedinasan ditiadakan, otomatis semua perguruan tinggi berbentuk nonkedinasan yang tentu nya tidak ada kata gratis. Yang ada hanyalah beasiswa bagi siswa yang berprestasi. Itu pun hanya diberikan sebatas kemampuan perguruan tinggi yang bersangkutan. Dapat juga dibantu pemerintah lewat belanja APBN, namun hanya sebagian kecil saja. Pertanyaannya, bagaimana dengan siswa berprestasi yang memiliki kompetensi akademik bagus, namun berasal dari keluarga kurang mampu? Tentu akan menjadi sesuatu yang sangat memberatkan bagi yang bersangkutan. Bahkan hal ini dapat membuat orang tersebut putus sekolah. Jika hal ini terjadi, amanat pasal 31 UUD 1945 menjadi sulit untuk dilaksanakan. Dalam artian, pemerintah gagal memberikan pendidikan yang layak kepada warga negaranya. Implikasi dari hal ini tidak sebatas itu, dapat lebih luas lagi. Seandainya eksistensi perguruan tinggi kedinasan tetap ada, keadilan dalam menempuh pendidkan akan dapat dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah yang memiliki kompetensi prestasi akademik, tanpa harus mengeluarkan biaya pendidikan.

Pertimbangan lain adalah berdasarkan jumlah peminat. Fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa jumlah peminat sekolah kedinasan yang kian lama makin bertambah. STAN sendiri, pada tahun 2007 saja pendaftar nya mencapa 125.000 orang. STIS dengan jumlah peminat mencapai lebih dari 50.000 orang. IPDN banyak diminati oleh lebih dari 75.000 orang di seluruh Indonesia. Dan masih banyak yang lain. Hal ini dapat dimaklumi karena biaya pendidikan di sekolah kedinasan relatif lebih sedikit, karena sebagian atau seluruhnya ditanggung oleh negara. Dapat dibayangkan jika sekolah kedinasan benar-benar dibubarkan, berapa banyak siswa kurang mampu yang berprestasi akan kecewa dengan sistem pendidikan di negeri ini.

Jika alasan pembubaran sekolah kedinasan adalah karena moratorium CPNS, perlu dikaji ulang makna dari moratorium itu sendiri. Tujuan dari moratorium adalah untuk menghemat belanja pegawai dalam APBN, bukan membatasi jumlah PNS di lingkungan pemerintah. Tidak adanya penerimaan PNS hanya merupakan imlikasi dari belanja pegawai yang membengkak. Suatu saat nanti, pemerintah tetap akan memerlukan PNS untuk melaksanakan tugas layanan umum sebagai pengganti dari pegawai yang pensiun. Pemerintah dapat saja mengambil CPNS dari universitas umum nonkedinasan, tetapi umumnya akan mengeluarkan biaya lagi untuk melaksanakan training dalam bentuk diklat. Hal ini menjadi tidak sejalan dengan tujuan moratorium itu sendiri. Dengan pendidikan kedinasan, biaya pengembangan akademik yang dikeluarkan pemerintah nantinya merupakan suatu bentuk investasi bagi pemerintah yang memberikan imbal balik berupa lulusan yang berkualitas.

Intinya, selain adanya landasan hukum yang kuat, dipandang dari sudut manapun, eksistensi sekolah kedinasan tetap diperlukan oleh banyak pihak. Pemerintah harus benar-benar melakukan kajian yang mendalam dan mempertimbangkan dari banyak aspek untuk membubarkan sekolah kedinasan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun