Mohon tunggu...
Rifai Asyhari
Rifai Asyhari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa salah satu kampus negeri di kota Jogja. Kopi hitam berampas. otakwedus.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Sore Itu

20 Juni 2014   20:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:59 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terbangun dari tidur siangku. Bunyi hujan di luar sana ternyata cukup mengusik ketenangan. Aku raih jam di meja samping tempat tidur. Sudah sore rupanya. Segera saja aku bangkit dari tempat tidur. Mengumpulkan tenaga lalu berjalan menuju jendela kamarku.

“Mengapa harus hujan?” tanyaku entah kepada siapa.

“Ah, pertanyaan konyol” jawabku pada diriku.

Lama aku tak berjalan dibawah hujan. Usiaku yang semakin menua membuatku malas untuk bermain-main dengan hujan. Suasana di tengah tetesan air yang dulu aku nikmati kian tertumpuk jauh dalam ingatan dan terlupakan. Di balik jendela, aku singkap tirai lalu memandang kosong pada tanah yang basah oleh hujan.

Disana, aku tersenyum melihat bayangan dua insan yang tengah asik berlari sambil tertawa bersama. Bayangan itu adalah bayanganku dan bayanganmu di waktu itu. Bayangan saat kita masih saling merindukan dan mengkhawatirkan satu sama lain.

Waktu itu masih ada kita dan hujan yang selalu saja berhasil menahanmu pergi dariku. Kita menikmati kebersamaan sederhana itu sambil tersenyum melihat tetes demi tetes yang membasahi bumi.

“Bau tanah basah” ucapmu di setiap hujan bersamaku.

Tak seperti biasanya, sore itu kau mengajakku untuk berlari di bawah hujan. Menantang hujan yang biasanya membuat manusia lain kerdil karena lebih memilih berlindung darinya. Aku menolak. Sayang, lagi-lagi kau menunjukkan keahlianmu menaklukan pria ini.

“kau tak ingin melihat senyumanku di bawah hujan” katamu merayu.

Aku tersenyum kehabisan kata melihat ekspresi wajahmu yang manja.

Belum sempat aku membalas rayuanmu, sekejap saja tangan mungilmu sudah meggenggam tanganku. Memaksa untuk keluar dari lindungan atap kecil gubuk tua itu. Di tengah padang rumput hijau yang basah, kau mengajakku berlari menikmati sisi lain hujan.

Hujan yang tak aku senangi kau sulap menjadi sebuah surga kecil bagiku. Mungkin karena bersamamu, dingin itu jadi sebuah kehangatan yang aku nikmati. Dan seperti yang kau janjikan, aku melihat senyumanmu di bawah hujan. Manis sekali.

Jauh kita berlari, membiarkan setiap tetes air membasahi tubuh sambil merasakan kebersamaan yang berbeda. Mungkin dianggap aneh oleh orang lain. Namun bagiku, ini romantis. Bahkan mengalahkan romantisme percintaan manapun. Di saat orang lain berteduh, dunia ini benar-benar menyisakan kebebasan bagi kita berdua saja. Hujan memberikan ruang yang indah.

Lelah berlari, kau berhenti di tengah rerumputan itu. Sejenak menarik nafas lalu memejamkan mata, tersenyum, melebarkan tangan sambil mendongakkan kepala ke langit. Kau terlihat begitu menikmatinya.

lama terdiam aku hanya bisa memperhatikanmu. Aku tak mengerti apa yang kau lakukan, yang aku tahu hanya satu. Aku gila karenamu.

Hujan segera berhenti, menampilkan langit cerah dengan cahaya matahari dibaliknya. Cahaya-cahaya itu dengan ajaib menciptakan barisan warna indah membentuk pelangi.

Kau berjingkrak kesenangan melihatnya.

“Lihat, para dewa sedang asik melukis langit menciptakan kado indah bagi manusia. Manusia yang berani menikmati anugerah Tuhan dengan cara berbeda seperti kita”

“kau yang mengajakku berani melakukan ini” kataku.

Ia tak menjawab. Segera direngkuhnya tubuhku dengaan tangan mungilnya. Erat sekali. Seakan moment ini menjadi moment terindah dalam kebersamaanku denganmu.

Langit memperingatkanku. Sudah mulai gelap. Aku pun tersadar dari lamunan. Tersenyum kecut mengingatnya. Itu dulu, saat Tuhan membiarkanku mabuk dengan rasamu. Rasa, yang aku nikmati juga aku tangisi hari ini. Dulu. Ya, dulu bukan sekarang. Saat aku melihat senyumanmu di bawah hujan sore itu. Manis sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun