Mohon tunggu...
Rifai Asyhari
Rifai Asyhari Mohon Tunggu... -

Mahasiswa salah satu kampus negeri di kota Jogja. Kopi hitam berampas. otakwedus.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Piala Dunia dan Hotpants

21 Juni 2014   09:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:55 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelaran piala dunia saat ini amat santer menjadi trending topic menyaingi pembicaraan pemilihan presiden sembilan juli nanti. Agaknya permainan menyerang, gol-gol indah, tim kesayangan dan tersingkirnya bebrapa club juara di babak penyisihan menjadi peredam panasnya tema politik. Tema obrolan masyarakat seakan didikotomikan kedalam dua tema, capres atau piala dunia.

Satu hal yang saya anggap mengganjal dan mengusik benak adalah sajian media televisi dalam memeriahkan agenda bola empat tahunan ini. Kondisi nyata memperlihatkan bahwa piala dunia amat digandrungi. Banyak orang nglembur, mengacaukan jadwal hidup, dan keluyuran malam nonton bareng. juga piala dunia menjadi konsumsi segala umur.

Berbagai pengorbanan yang mengandaikan sebuah kegilaan terhadap sepak bola. Olahraga ini tidak hanya menjadi tontonan hiburan semata melainkan jadi semacam tujuan hidup. Orang mengatakan “aku inggris”, “aku Spanyol” dan segala macam pelabelan diri berdasarkan sepak bola yang oleh yasraf Amir Piliang, kondisi semacam ini, dimana kesadaran sesorang terbentuk berdasarkan realitas semu diistilahkan dengan ekstasy.

Lebih mengganjalnya lagi, dalam kondisi candu bola, stasiun televisi yang menjadi official penyelenggara justru memberikan sajian acara yang tidak senonoh. Berulang kali dalam setiap kuis maupun reportase nonton bareng diperlihatkan presenter-presenter cantik yang menggoda. Dari pengamatan saya melihat bahwa selalu saja presenter-presenter tersebut menggunakan balutan pakaian yang menggoda. Kaos tim bola yang ketat dan celana hotpant. Mungkin banyak yang merasa “ah biasa saja” atau “udah umum kok.” Saya pun balik bertanya “kok bisa dianggap biasa?.”

Keprihatinan saya pada bagian kecil ini saya kira perlu disadari lainya. Bukan tentang persoalan budaya timur yang sangat moralis saja tapi juga bagaimana kesadaran masyarakat indonesia terhadap hal semacam ini dipaksakan untuk terbiasa. sampai pada akhirnya hari ini dengan santai kita bisa mengatakan “ah biasa!.”

Yang perlu dicatat adalah bahwa piala dunia menjadi konsumsi segala umur, anak-anak juga dewasa dan segala penjuru nusantara dengan perbedaan letak geografisnya yang begitu timpang, perkotaan dan pedesaan. Dalam ketercampuradukan masyarakat diseragamkan dengan satu tontonan, presenter seksi.

Saya kembali teringat dengan salah satu bagian dari buku “Dunia Yang Dilipat” Yasraf Amir Piliang tentang ekonomi libido. Acara televisi yang merupakan komoditas juga segala macam unsur termasuk badan presenter yang dikomoditaskan memiliki orientasi pada ekonomi libido.

Dulu, perihal libido yang dianggap tabu dan berada pada ranah privat mulai dikomoditaskan dengan munculnya seksologi, kondom, konsultasi seks, film porno dan cyber porn. Hari ini, segala macam komoditas bahkan yang tidak berbau libido dipaksa memiliki kecenderungan tersebut.

Secara sederhana kita pun bisa mempertanyakan. “Apa relasi antara sepak bola dan presenter seksi dengan hotpant?” Kiranya tidak ada alasan logis kecuali bahwa itu menjual. Mengapa bisa menjual? Karena lewat tubuh seksi tersebut pemirsa akan lebih tertarik meluangkan waktu menonton bagian lain dari pertandingan, sebagai substansi piala dunia, seperti kuis dan reportase nonton bareng. Dan mengapa pemirsa harus menonton bagian tersebut? Jelas agar rating tinggi dan iklan juga sponsor mengantri siap menyetorkan uang kepada media. Tak ada alasan lain selain mengkomoditaskan segala hal termasuk dengan ekonomi libido.

Kondisi material seperti itu jelas mengkonstruk kesadaran masyarakat. Masayarakt dibiasakan mengkonsumsi wailayah privat menjadi wilayah umum. Perbincangan mengenai hal-hal yang dulunya dianggap tabu menjadi biasa. Tontonan dan obrolan berbau libido memaksa libido seseorang dikobarkan. Yang tidak menutup kemungkinan pada pengekspresian libido tidak wajar.

Dari penelitian cnn.com yang dilansir vemale.com didapati bahwa 31,9 persen yang berarti 8 dari 25 laki-laki di Indonesia pernah melakukan pemerkosaan. Kesadaran pelaku untuk menyalurkan libido secara sembarangan tentu bukan tanpa sebab dan dipahami hanya sebagai unsur manusiawinya saja. Melainkan memang dibangkitkan oleh realitasnya yang penuh dengan rangsangan libido.

Ekonomi libido terlebih lewat tayangan media akan sangat berbahaya. Utamanya kepada anak-anak, remaja bahkan yang sudah dewasa. Bagian kecil dari piala dunia seperti presenter seksi bolehlah kiranya dikritik sebagai bagian ekonomi libido.

Jika kita mengamini tesis Marx bahwa sejarah manusia dibentuk oleh produksi, yang berarti ekonomi, dan bahwa ekonomi hari ini adalah ekonomi libido seperti tesis Yasraf Amir Piliang, maka kita pun akan mengamini bahwa sejarah manusia saat ini dibentuk oleh produksi libido. Libido yang dipaksakan, libido yang dikomoditaskan. Termasuk bagian kecil darinya, presenter seksi piala dunia.

Maka jika harus ada tawaran, meski sederhana, Komunikasi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu menegur media dengan tayangan presenter semacam itu untuk selanjutnya ditampilkan dengan lebih baik. mugkin lebih tertutup dan tidak menonjolkan kemolekan tubuhnya. Karena yang jelas piala dunia digandrungi dan ditonton oleh jutaan mata masyarakat Indonesia segala umur. Orang tua juga harus mengawasi anak-anaknya.

Terakhir, saya ingin kembali menulis petikan kalimat sederhana nan dangkal sebelumnya, yang semoga dapat mengusik nalar dan membangkitkan keprihatinan. “Apa relasi antara piala dunia dan presenter seksi dengan hotpant?” Semoga kita sepakat dengan satu jawaban.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun