0%
Dalam tabel tersebut terlihat bahwa proporsisi perempuan Palestina lebih kecil dibandingkan dengan berbagai kelompok perlawanan penduduk seperti chechnya ataupun di Kurdistan (Turki) dimana lebih dari separuhnya serangan bunuh diri dilakukan oleh kaum perempuan.
Di palestina hanya orang-orang yang melatih perempuan ini untuk menghadapi kematian. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah masyarakat yang kental dengan fundamentalisme dan sebuah budaya dengan standar ganda itu tidaklah lenyap. Bahkan dalam konsep kesyahidan yang luar biasa itu pun berbedaan tersebut masih mencolok.
Sejak awal, kaum perempuan di sana paham bahwa kaum laki-laki tidak mau mengakui kalau mereka memiliki derajat yang setara, atau menghargai mereka sebagai pejuang dengan kedudukan yang sama. Sampai meteka meraoj surga yang dijanjikan dan diterima di sisi Allah. Namun, setelah itu mereka mati. Tidak ada seorang perempuan pun yang bisa bersaksi bahwa janji-janji telah dipenuhi di akhirat.
Di tahun 2001, gadis-gadis kecil di sekolah-sekolah Palestina ternyata sama dengan murid laki-lakinya. Mereka semua berkata sangat ingin pelaku bom bunuh diri. Mereka berpikir bahwa kematian semcam itu merupakan kemuliaan tertinggi yang bisa mereka peroleh dalam kehidupan ini. Obsesi untuk menjadi martir yang kian menyebar luas yang berkaitan erat dengan penghinaan yang terjadi dalam masyarkat terjajah, dan keputusasaan terhadap tatanan sosial yang sepenuhnya menadek- bukan hanya terjadi di Tepi barat dan jalur Gaza.
Keadaan ini menyebar di kalangan laki-laki dan perempuan di seluruh Dunia Arab dan Islam dan tidak terkecuali di Irak. Di sini perang dilakukan Amarika yang nampak seperti perang pembebasan rakyat Irak. Begitu cepat berubah menjadi konfrontasi yang sangat sulit dan nampaknya tanpa akhir. Dengan orang-orang yang putus asa dan kejam. Kecintaan rakyat terhadap kematian yang mereka tumbuhkan berkembang tetap akan hidup. Begitu pula penduduk yang terjadi di sana.
Saat ini perempuan Palestina yang tidak menikah hidup di bawah serangkaian atiran sosial dan agama yang ketat: jika berpendidikan terlalu tinggi, ia dianggap abnormal. Jika memandangi laki-laki, terancam dikucilkan. Jika menolak untuk dinikahkan, ia dianggap akan lepas kendali. Jika tidur dengan laki-laki, khususnya jika hamil ia adalah aib bagi keluarga dan bisa mati ditangan kerabat laki-lakinya.
Di Palestina perempuan yang melakukan bom bunuh diri adalah mereka yang bernasib selalu dipaksa oleh aturan-aturan agama, masyarakat dan keluarga, untuk menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh orangtua mereka. Mereka adalah kaum perempuan yang memutuskan bahwa mereka lebih baik dipenjara atau mati sebagai pahlawan seperti laki-laki daripada menjalani perkawinan yang tidak dilandasi cinta dan kerelaan.
Kaum perempuan lain yang bermasalah dengan aturan masyarkat yang menyesakan juga lebih memilih mati daripada harus hidup dengan kehinaan dan aib dalam budaya mereka sendiri. Anehnya, mereka ini sepertinya merasa lebih aman jika berada di dalam penjara Israel karena tahu bahwa kerabat laki-laki mereka tidak akan bisa menandak atau membunuh mereka karena telah membuat malu keluarga.
Berlawanan dengan kebijakan politik yang diberlakukan itu, beroerannya kaum perempuan dalam intifadah yang sekarang ini serta merta mengubah status mereka dari penonton pastif menjadi aktif dalam perjuangan melawan pendudukan Israel. Tidak pula mendatangkan manfaat apapun untuk meningkatkan status mereka dalam masyarakat mereka sendiri.
Keadaan perempuan di Palestina dan Indonesia memang jauh berbeda. Dengan isu “menteri perempuan tidak becus mengurusi rumah tangganya,” ada yang akan diambil dari ruang politik perempuan. Ketika peran perempuan menghilang dari semua perjuangan politik, hal itu merupakan tanda peran perempuan keseluruhan dalam masyarakat juga dihilangkan.
Bukan hanya itu, Saat perempuan tidak lagi dianggap sebagai manusia, hanya dilihat sebelah mata dan dibetinakan. Maka runtuhlah nilai-nilai kehidupan. Ditambah perempuan tidak boleh tidak boleh lagi mengembangkan potensi dan bakatnya, maka hancurlah nilai-nilai kemanusiaan.