RENUNGAN DIRI
Cuaca panas mengiri langkah saya menuju kos-kosan. Hati saya seperti merasakan sesuatu yang ganjal. Saya tidak tahu pasti apa yang saya rasakan. Tetapi yang jelas saya seakan sendiri padahal ada banyak orang di sekitar saya. Keadaan seperti ini tidak hanya sekali saya rasakan. Jika kegusaran seperti ini melanda saya, berarti saat inilah waktu yang tepat bagi saya untuk instropeksi diri.
Sambil tetap berjalan menuju kos-kosan, saya mengingat-ingat saat bersama teman-teman. Karena memang semenjak kuliah yang kelihatan di hadapan saya hanyalah teman-teman. Saat bersama mereka, terkadang saya merasa aneh dengan diri saya. Saya teringat di saat saya menjaili mereka, respon mereka positif. Hal tersebut terlihat pada wajah teman-teman yang berseri-seri dengan senyuman manis menyambut aksi jail yang saya lakukan. Tetapi sekali-sekali muncul dalam ingatan saya, sikap saya yang jail tidak direspon baik oleh teman-teman. Tujuan saya, hanya ingin mencairkan suasana dan tidak ada yang lain. Tetapi suasana tetap sepi, bahkan terkadang saya harus menarik kembali senyuman yang akan keluar dari bibir saya.
Sungguh hal itu bukan sesuatu yang saya inginkan. Tetapi mungkinkah sikap yang saya lakukan ini adalah egois? Saya hanya menunggu kebahagiaan mereka karena menyambut aksi saya. Sedangkan saya telah lupa bahwa mereka memiliki hak untuk mengkritik aksi jail yang saya lakukan atau bahkan tidak menghiraukannya. Sudah seharusnya mereka menampakkan sikap mereka. Karena itu adalah hak mereka. sayangnya, saya bukanlah orang yang dengan sigap memahami hak orang lain. Sehingga wajar saja jika dalam pikiran dan hati saya tercipta berbagai prasangka, prasangka baik ataupun buruk. Tetapi alhamdulillah, prasangka baiklah yang selalu mendominasi hari da pikiran saya.
Prasangka baik yang saya terapkan tersebut, tidak lantas membuat saya lega dan tenang. Tetapi saya sering merasa bersalah. Karena prasangka baik yang saya terapkan, memicu pikiran saya untuk menganggap orang lain selalu benar. Inilah kegelisahan saya. Saya selalu merasa khawatir menyakiti mereka, meskipun sebenarnya saya tidak salah apapun dengan mereka. Terkadang saya berpikir, “Mungkinkah ini rasa takut?” Kalau rasa takut yang saya bina, berarti diri saya telah terjajah dan dikuasai oleh hati dan pikiran saya sendiri.
Mungkin seorang yang cuek, akan terheran atau bahkan tertawa membaca catatan saya ini. Tetapi itulah yang sering saya rasakan. Saat ini saya merenung. Tadi saya mengatakn sesuatu pada teman saya dengan nada sangat keras, diiringi dengan rekaksi jari telunjuk saya yang menunjuk ke arah teman saya. Dia dan teman-teman lain hanya diam dengan reaksi saya. Karena sikap takut saya itu, timbullah prasangka dari dalam hati dan pikiran saya. “Mungkinkah cara bicara saya terlalu kasar?” Memang tidak mudah menjadi orang cuek.
Satu cerita yang sedikit bisa membebaskan saya dari rasa khawatir tersebut. Cerita itu saya peroleh entah dari buku ataupun dari pembicaraan teman saya, saya lupa. Dalam cerita tersebut dikisahkan, seorang pegawai rendahan yang meludahi direktur utama. Kebetulan mereka bekerja dalam satu perusahaan tetapi jabatan mereka berbeda. Pegawai rendahan itu meludahi direktur utamanya saat nonton film di bioskop. Saat itu, karena tidak tahan dengan penyakit batuk yang ia derita. Dengan tanpa sengaja, ia meludahi kepala direktur yang duduk di depannya. Ia meminta maaf dengan sangat. Direktur itupun memaafkannya.
Tetapi karena rasa khawatir dan ketakutannya pada atasan, di setiap saat ia bertemu dengan atasannya, ia selalu menundukkan kepala dan meminta maaf bekali-kali karena kejadian itu. Begitulah seterusnya. Tetapi alangkah malang nasib pegawai renadahan tersebut. direktur utama memecatnya hanya karena tidak tahan dengan sikapnya yang selalu merasa khawatir dan takut.
Mulai saat ini, sangatlah baik jika saya bersikap cuek. Untuk mananam bibit keberanian dalam hati saya. Agar tidak mudah goyah hanya gara-gara sikap orang lain yang kelihatan beda atau bahkan aneh. Mulai saat ini pula, saya harus mencerna dalam-dalam segala sesuatu yang saya lihat. Jangan mudah menyerapnya dalam hati dan pikiran. Karena segala yang tertampung dalam hati dan pikiran akan menjaid bahan renungan diri. Jika bahan-bahan yang ditampung salah, yang terjadi akhirnya hati yang semakin kecil dengan daya keberanian dan kretivitas yang tersumbat gara-gara takut salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H