Nah.. sekarang pertanyaan pentingnya adalah... “Mengapa jenis oleh-oleh baru itu memiliki banyak kesamaan? Lalu jika Makassar, Medan, Malang dan Surabaya memiliki produk oleh-oleh baru yang terdiri dari bolu, kulit pia, keju, durian, dll. Lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa makanan itu adalah ciri khas dari kota tertentu?"
Oalah... ternyata yang ngebedain itu cuma di namanya aja. Namanya Medan Napoleon, ya dari Medan. Makassar Baklave, ya dari Makassar lah. Surabaya Snow Cake, ya dari Surabaya lah. Tapi, bisakah kita merelakan sebuah kota dikomersialisasikan seperti itu? Coba sandingkan semua kue itu tanpa brand-nya. Jejerkan. Bisakah kamu menemukan perbedaan kue yang katanya khas dari Medan, Makassar, Surabaya, Malang itu?
Jika kamu orang yang cerdas, maka jawabannya sebaiknya tidak terpengaruh dengan hal-hal itu. Jangan sampe, kue-kue baru yang jenisnya akan sama di seluruh penjuru Indonesia itu menghilangkan kue-kue tradisional yang memiliki kekhasan sesuai dari daerahnya masing-masing. Budayakan oleh-oleh kota kamu yang memang memiliki sejarah di baliknya. Bukan mengandalkan kepopuleran sebagai kunci dari marketingnya.
Jika kamu ditanyai...
“Apa oleh-oleh khas kota kamu?”
Jangan dijawab dengan kalimat, “Yang khas itu Napolion karena itu punya artis. Baklave karena itu punya artis.”
Tapi, kami masih berharap kamu bisa menjawab dengan, “Yang khas dari Makassar itu pallubasa karena dalam Bahasa Makassar, pallubasa artinya...” Atau kamu bisa juga menjawab, “Yang khas dari Makassar itu Sop Sodara, karena dari dulu orang Makassar dalam kisah diceritakan sebagai orang-orang yang dermawan dan selalu mengajak saudaranya makan sop.” Hehehe.
Bukankan kalimat-kalimat khas itu lebih menarik jika diungkapkan dari pada mengandalkan keartisan? Kalau kamu setuju, berarti kamu siap melestarikan kekhasan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H