"Sudah sampai mana? Jaga dirimu baik-baik ya. Di sini sedang mati lampu,"
Beberapa kali handphone-ku berdering memuntahkan beberapa pesan singkat darimu. Mengapa kau sekhawatir ini padaku. Padahal kita hanya teman biasa. Apakah kau menyimpan suatu rasa untukku juga? Lagi-lagi pertanyaan itu tak pernah kutanyakan padamu. Namun, semakin hari, aku semakin berharap.
"Kau harus mampir ke kotaku. Aku menunggumu di alun-alun kota,"
Aku tak bisa menolak ajakanmu. Pagi itu, aku singgah di kotamu. Entah kau bawa aku kemana. Yang jelas kita makan makanan khas kota kelahiranmu. Kita bercengkrama hingga waktu memisahkan kita. Dan aku tampaknya benar-benar "menyukai"mu. Namun sayang, kau tetap membisu begitu juga diriku.
"Aku tidak diperbolehkan menikahi perempuan beda suku,"
Kubaca tulisanmu dalam chatting box di salah satu jejaring sosialku. Aku tidak mengerti apa yang kau maksud. Aku hanya menuliskan satu kata balasan, yaitu "Sabar ya" dengan menambahkan emoticon senyuman. Setelah itu, kau menghilang. Benar-benar menghilang tanpa kabar berita. Ya. Kau tinggalkan aku tanpa kepastian. Dan akhirnya, kau... kau... ah! Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
Mungkin memang aku saja yang terlalu perasa dan berprasangka hingga aku berharap kau menyimpan rasa, yang dinamakan cinta itu, untukku. Rupanya aku salah. Nasi telah menjadi bubur. Kenangan itu tak pernah bisa dihapus. Baikah, kutertawakan saja masa lalu itu. Mungkin cinta memang butuh status agar valid dan tidak mengecewakan pihak-pihak tertentu.