Di senja yang sunyi. Aku hanya duduk dalam lingkaran pikiran tentangmu. Hening dan mendengarkan segala yang mempunyai suara. Aku berpikir ulang hingga akhirnya memutuskan suatu hal yang tak ingin ku lakukan.
Aku yang selalu memandangmu dengan pemujaan. Kau melintas dengan senyum yang begitu mempesona, senyum yang begitu membiusku dan membuatku selalu mengagumi indah wajahmu.
“Hai”, sapamu dan aku hanya bergeming. Hari itu waktu terasa begitu lambat berjalan.
Aku yang selalu menginginkan hubungan seperti yang kita jalani waktu ini. Tapi aku mungkin lupa bahwa ituhanya keegoisan semata.
“Rev, kita pergi jalan sekarang, ya?” Suaraku berat tertahan seperti tak ingin setiap detik terlewatkan, “Jalan kaki.” Ucapku. Itu lebih seperti sebuah perintah.
Revan memasukkan kembalikunci mobil yangdirogohnya dari saku celana. Wajahnya polos dan begitu manis.
Aku dan Revan mengitari jalan perumahan yang terlihat ramai. Ia menggenggam tanganku erat tak berbicara apapun dan tiada melihat ke arahku. Aku tak ingin berbicara dan hanya berjalan hingga aku lelah nantinya.Ia menggenggam tanganku lebih erat,sadar dengan perbuatannya, aku berhentidan melihatkehadapan cowok itu. Pribadi yang langkah, mungkin dapat dibilang aneh. Ia seperti menantiku berbicara dan memang begitulah adanya, begitu tabah menghadapi tingkahku yang sering berubah.
“Rev..” Ucapkubingung sekaligus putus asa melihat wajah yang tidak bersalah itu.
“Kenapa Nad?” Ia meminta penjelasanku.”Akhir-akhir ini kamu berubah, ada masalah?” Revan menatap mataku. Itu sangat menyulitkanku, aku tak pernah suka dengan tatapan ini,membuatku begitu terluka. Segera aku melihat ke badannya agar tidak bertemu pandang. Revan memiliki dada yang bidang dengan tubuh yang berisi dan terlihat tegap. Sangat ideal dan sesuai seleraku.
Aku merasa sedikit sempoyongan dan memilih duduk di bangku sebelah jalan setapak tempat kami berhenti tadi. “Ada apa Nad?” Ia bertanya dengan lembut yang semakin membuatku frustasi. Aku benar-benar berat untuk mengatakan pikiranku.
“Dengarkan aku” Aku memulai dengan melirik wajah yang tampan itu. “Mungkin hubungan seperti ini takkan bertahan lama.” Lagi-lagi aku melirik padanya, Revan tampak benar-benar serius mendengar dan memandang tepat kearahku.”Memang benar hubungan kita adalah sebuah kekeliruan, maafkan aku, dulu aku telah memaksa dan membuatmu bersamaku.”
“Apa maksudnya?” Oh, inilah kelebihannya, selalu mempersulitku untuk menjelaskan hal-hal yang menurutku sudah sangat jelas.
“Oh, ayolah. Kau pasti tau maksudku.”
“Aku tidak tahu. Kurasa kau salah, hubungan ini bukan kekeliruan.” Ucapnya dengan penekanan di kata kekeliruan.
Aku menarik napas panjang. Semakin frustasi.”Kita akhiri hubungan ini, yang berarti kita putus Revan.” Kini aku menatap matanya. Penasaran dengan reaksi cowok yang sebenarnya sangat berarti untukku.
“Kau bercanda ya?” Aku menggeleng yakin. “Ini gak lucu, Nadia.” Ucapnya dan mengalihkan pandangan matanya dari tatapanku.
“Aku gak bercanda dan itu sudah cukup jelas.”Aku berdiri dan hendak beranjak, sebelum Revan menarik pergelangan tanganku. Iaberkeras untuk mengantarku pulang ke rumah.
Lima hari setelahnya,Langit tampak begitu cerah, aku berjalan keluar dari pintu putih yang sudah tak asing lagi, pengobatan dengan dokter penyakitku terasa membosankan, sepi..
Walau begitu ramai orang berlalu lalang. tadi pagi, mama mengantarku dan berniat menunggu hingga selesai, tapi aku menolaknya. ia terlalu khawatir setelah tahu penyakitku.
Rumah sakit ini memiliki taman yang asri, menurutku baik bila seorang pengidap kanker sepertiku menikmati 2 jam indahnya ciptaan tuhan, walau aku tahu 2 jam terlalu lama untuk membuat mama mencariku.
Setelah mengitari seluruh taman, aku terlalu lelah untuk kembali pulang, udaranya begitu segar dan tak ada salahnya aku duduk sejenak. Bangku panjang dengan cat coklat tua mengkilat, begitu teduh dibawah naungan pohon jambu yang rindang. Aku duduk menikmati setiap hembusan napas, memejamkan mata untuk kesekian detik, membuka mata dan menutupnya kembali.kulakukan berulang-ulang hingga rasanya aku ingin tidak membukanya kembali. 3 menit, aku bertahan menikmati sensasi angin dan mengetahui keadaan sekitar hanya dengan telinga.
5 menit kurasa, ketika seperti sesuatu mendekat kearahku tapi aku belum ingin membukamata ini. mendengarkan segala yang mempunyai suara, begitulah kira-kira. Hanya mendengarkan. 2 menit setelah Itu, aku mulai yakin dengan yang aku dengar. Hembusan napas yangberat dengan aroma segar. Aroma yang sudah sangat kukenal, dan sungguh aku berharap dugaanku kali ini salah. Aku menarik napas sebelum memberanikan diri untuk membuka mata.
Tapi aku terlalu takut dan ntah mengapa mulai menghitung. 1, nafas itu semakin mendekat, 2,tidak bernafas. Seperti ditahan namun berganti menjadi detakan jantung. 3, tidak ada yang terdengar. 4, aku membuka mata, terlalu histeris dengan sentuhan dipundakku. Tercengang dan mengerjap.
"kau, tidak apa-apa kan?" Ia terlihat khawatir.
"kau?, knpa kau disini?"
"seharusnya, aku yang bertanya begitu." dia menghela napas dan menghembuskan dengan keras.
"ayo, kuantar kau pulang," ia menyeretku, memaksa naik motornya dan aku tak membantah, aku lega karena aku tak harus pulang sendiri.
"ada yang ingin kau katakan?" Revan menatapku lekat.
"tentu saja ada, lebih tepatnya ada yang harus kau jelaskan." ucapku ketika telah sampai didepan rumah,"apa mama memberitahu semuanya?"
"itu bukan masalah Nadia,apa masalahnya kalau aku tahu?,aku wajib tau." ucapnya dengan hati-hati.
Percakapan itu diakhiri dengan masuknya aku ke rumah. dapat dibilang,aku tidak tau terima kasih, rasanya sedih juga meninggalkan ia sendiri tanpa mengucapkan apapun. Revan terlihat begitu khawatir dan terus menelponku hingga malam,tentu saja tidak kujawab.
Esoknya,saat aku membuka mata, kudengar seseorang bersuara renyah bertanya,"apakah nyenyak tidurnya tuan puteri?"
Spontan aku berteriak dan ia membalas dengan tawaan lepas.
"mau nasi goreng atau roti?" aku hanya melongo saat ditangannya terdapat nampan.Apa revan memasak untukku? Satu pertanyaan itu yang muncul di otakku.
Hari itu cukup indah, seperti tak ada kejadian apapun diantara kami, ia memperlakukanku lebih baik dari saat berpacaran dulu. "aku tidak ingin mendengar kata itu lagi." ucapnya dengan suara yang nyaris tak kudengar. "aku tetap pacarmu." tambahnya dengan senyum menawannya. aku mengatakan minta putus sekali lagi,dan ia menolaknya. Kucoba meyakinkan diriku, kalau itu hanyalah rasa iba dari seorang Revan.
2 hari berlalu..
Lelaki itu terus saja menangis.Matanya tampak sembap dan tak lagi bertenaga, ia tak beranjak dan terus mengenggam sebuah tangan, entah apa yang ada dalam pikirannya, tapi ia tak henti menitikkan air mata. Begitu tulus dan tampak sangat terpukul.
Pemandangan itu mengiris hatiku, kini ia mencoba menenangkan, walau hatinya tak setenang ucapannya kepada seorang wanita yang ia panggil bunda,wanita itu tampak kurus dan sangat tertekan,wanita yang tak kuasa saat melihatseorang gadis yang tertutup kain putihdihadapannya, ya, itu adalah ibuku. Dan keadaanku tak lebih baik saat melihat jasadku terbujur kaku. Kini aku sadar, cinta yang tulus tak selalu terlihat namun dapat dirasakan. Air matanya terasa hangat saat tanganku menyentuh pipi lelaki itu "jangan tangisi aku, Revan." air mata tak menitik lagi. ia merasakan kehadiranku.
Cinta mu yang baru ku tahu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H