Mohon tunggu...
Khairun Nisaa
Khairun Nisaa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am Twins, dreamer and girl who want to be the best.. Salam kenal buat semua yang ingin berkenalan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisah Sandiwara

16 Mei 2012   01:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah sepi..

Sunyi tak berpenghuni

Badai tidak berlalu

Betah bertahan pada sanubari ini

Maukah kau ulurkan tangan?

Dalam kehancuran yang menekan

Puisi itu seolah menghipnotisku, namun seperti terputus, dan belum terselesaikan,puisi yang dibuat oleh mama yang membuatku semakin terheran-heran. Apakah perasaan mama seperti itu? Kuharap hanya imajinasi, namun puisi itu sangat menyentuhku. Perlahan kucoba merapalkan berulang kali, hingga aku menjiwainya.

Malam yang indah bertabur bintangdengan udara yang menusuk rusuk. Aku bersukacita,ditemani sahabat karibku Dinda.Dengan beralas rumput hijau, kami berbaring menatap langitgelap, dengan purnama sempurna yang bersinar terang.

“Aku suka malam ini.” Katakudengan raut penuh kebahagiaan.

“Tidak pernah aku melihat kamu sebahagia ini.” Akunya dengan senyum yang membuat hatiku selalu tenang. Aku hanya tersenyum mendengar itu,“Ayo kenapa? Cerita dong!” paksanya menyenggol lengan ku.

“Mau dengar ?” tanyaku menggodanya.

“Gak, terimakasih.” Balasnya dengan raut merengut yang di buat-buat.

“Ha…ha… kok gitu sih ngambekan, ya udah aku cerita deh.”

Seketika, seberkas cahaya terang menghalangi pandanganku,bergerak menujupelataran depan taman tempat kami berbaring. Lalu redupwalau samar, terlihat bayangan seseorang berjalan mendekat. Serentak kami berdiri dengan cepat.

“Mama” suara lembut itu berasal dari sebelahku.

Wanita setengah baya itu berjalan bak seorang puteri yang anggun. Namun perkiraan ku salah, sedetik kemudian ia menjelma menjadidrakula yang haus akan darah.

“Kiara, mana mama kamu?” ia berbicara dengan suara tinggi, aku tak kuasa menatapnya.

“Mama?” tanyaku heran,“Sudah dua minggu mama pergi.”kataku dengan hati-hati.

“Dengar Kiara, kamu jangan pernah berteman dengan anak saya lagi, kamu tidak pantas. Seharusnya kamu sadar diri.” Emosinya meluap-luap seakan tak terbendung.Aku hanya diam tak bersua

“Apakah kamu sama seperti mamamu?” ia membuat kalimat Tanya dengan intonasi datar. Sejenak ia memerhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.“Saya rasa, buah tidak kan jatuh jauh dari pohon. Mama kamu wanita apa sih, tidak punya harga diri. Menggoda suami orang,suka menceritakan orang,tidak tau adab.”

Kupingku panas, hinaanbertubi-tubi itu sungguh mengoyak hati.

“Seharusnya kalian itu sudah cukup menderita, orang tua kamu sudahbercerai”

Kata-katanya yang terakhir cukup membuat jantung ini berhenti berdetak.

Kubanting pintu kamar, kenangan itu muncul lagi dibenakku, menghantui, dan membuatku terpuruk dalam penderitaan yang sempurna.

Terdengar sayup-sayup suara bising di luar sana.

“Dari awal aku tidak bisa bila harus hanya di rumah saja, setiap hari mengurus rumah,mengurus anak. Untuk apa sekolah tinggi kalau akhirnya hanya terkurung di dapur seumur hidup.” Mama berteriak keras dengan diiringi isak tangis, membantah perkataan papa yang tetap pada argumennya.

Mereka selalu menutupi semua pertengkaran yang terjadi dan bersandiwara menjadi sepasang suami istri yang sangat harmonis ketika aku ada.Mereka selalu menyuguhkan kemanisan hidup di hadapanku. Jujur, aku suka kehidupan ku yang dahulu, terasa manis walau dalam kebohongan. Karena aku terlalu takut untuk hadapi kenyataan.

Tanganku terkepal, dan aku beranjak menuju meja hias.

PRANG…

dengan sekali pukulan. Kaca itu kini menjadi kepingan tak berbentuk. Darah menetes satu persatu, kepedihannya tak dapat melenyapkan luka hati ini.

Rasanya ingin sekali aku menangis, berteriak sepuasnya untuk melepas beban,tapi air mata tak kunjung menetes, sudah keringkah? Aku menyerah.Lalu, suasana menjadi hening, tidak ada lagi suara-suara itu. Mereka pasti sudah mengetahui keberadaanku.

Kini, aku sadar,

Aku sangat lemah

Diam saat dihina

Tak bergeming walau diinjak

Akulah yang merana

Rasanya sakit sekali..

Saat tiada lagi yang dapat kau percaya,

Saat airmatamu takkan terhapus

Saat tiada yang mendengar walau kau menjerit

Dan tiada yang kan memeluk hangat tubuhmu

Semua pergi, berlari menjauh didinginnya malam yang dapat membunuh.

Dan puisi itupun bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun