Mohon tunggu...
Nidhom Ilum
Nidhom Ilum Mohon Tunggu... -

Just saying what I am thinking now

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Tidak! Ibuku Tidak Gila

23 Desember 2013   07:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor: 417

By: Nidhom VE

Remang itu masihlah menyisakan aroma pengapnya pancaran matahari. Seluet jingganya sore memoles langitan yang tumbuh semakin menghitam. Terdengar deruan jangkrik mengerik dan kodok mengorek digalengan sawah disana. Mendung menandakan hujan akan tiba tak akan lama lagi.

Sepasang wajah nampak terlihat kosong mengarah keluar jendela. Entah apa yang dilihatnya, hanya saja petang yang membayangi mata perempuan itu. Tirai jendela sedikit menari tersapu angin yang menyapa melaluicelah pentilasi yang mengagah tak lelahnya. Terus, perempuan itu hanya mendelik tak berkata.

Uraian rambut menyisir rapih, sekalipun semiran putih menandakan ia semakin sepuh. Sepasang pengelihatannya tajam, namun tak berisi. Ibu! Dialah yang aku maksud dalam penggambaran ini.

“Ibu, ini sudah malam. Ibu lebih baik tidur, yah!” bisikku lembut.

Gerakkan kepala Ibu kaku menarik. Dari samping pengelihatannya, kutemukan sosok yang hilang dari diri perempuan itu. Tangannya bergerak, menyapu wajahku yang tetap memandanginya dalam ketidak sadaran diri. Kuat. Ibu mencengkram lengan bajuku kala aku mengajak Ibu keatas pembaringan.

Dingin itu mulai menelisik melalui celah jendela. Dalam buraman kaca, aku menenggelamkan diri kedasar mimpi buruk yang aku alami dimasa lalu. Yah! Mimpi yang aku sendiri tak mengharapkannya, pun dengan semua orang didunia ini. Mimpi buruk yang berhasil mengoyak keluarga kecilku yang hidup rukun dan bahagia.

***

Cirebon, Ahir 1998

Pagi bergulat dengan mendung. Seiris matahari seakan tak bisa mewarnai hari ini yang berpayungkan musim hujan. Ribut anak tetangga mengadu kepada Ibunya yang entah ada dimana. Bising juga memecah ragu untukku pergi kesekolah.

“Lho, kok belum berangkat, Nak?” Tanya Ibu memecahkan lamunanku.

“Di luar mendung, Bu. Sapto takut nanti ditengah jalan malah kehujanan.” Jawabku.

Kembali aku melemparkan mata keluar jendela. Awan hitam berarak – arakan sekitar langit rumahku. Sepertinya, tak lama lagi akan diguyur hujan. Hampir setiap hari, desaku basah oleh lelehan air mata bumi yang menderas dibulan ini.

Tak ku temui anak – anak yang alulalang pergi kesekolah didepan rumahku seperti biasanya. Padahal, jam sudah menunjukan hampir pukul tujuh. Mungkin, mereka juga menyimpan rasa hawatir seperti yang sedang aku rasakan kini.

Letak sekolah dikampung kami cukup lumayan jauh untuk kami yang berjalan kaki. Jika mendung seperti ini, pastilah dipertengahan jalan bakal basah kuyup karena hujan. Sudah hapal betul kami dengan ini semua, maklum, kami sering mengalami itu dimusim penghujan jika pergi ke sekolah.

Nyata saja, hujan turun begitu deras. Mengguyur empang – empang, petakan sawah, juga atap – atap rumah. Aku ahirnya memutuskan untuk tidak pergi kesekolah hari ini, pun Ibu mengijinkannya. Sepertinya guru – guru disekolah akan memakluminya sekalipun tanpa surat ijin yang bersarang diatas meja mereka.

“Ibu sedang apa?” tanyaku agaknya mengagetkan perempuan itu.

Beliau memintaku agar aku tidak dulu masuk kekamarnya. Nampak Ibu begitu sangat tergesah – gesah dalam posisi badannya yang memunggungiku. Lemari kaca itu lekas Ibu tutup rapat – rapat. Seperti ada sesuatu yang senagaja Ibu sembunyikan dibalik bekasan air mata yang meleleh dipipinya.

Ibu menggiringku keluar dari bilik yang besarnya taklah seperti luasnya petak sawah disamping rumah kami. Dengan senyum ragu, perempuan berbadan sedikit berisi itu seakan sedang merangkai kata.

“Bantu Ibu, yuk!” selorohnya sembari merangkulku.

“Apa yang bisa Sapto bantu, Bu?” tanyaku.

Tangan Ibu menarikku lemah. Ia mengajakku kesebuah ruang yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bilik itu terisi oleh barang – barang. “Tunggu sebentar, Nak!” pesannya kemudian Ibu pergi. Aku melihat kosong kearah ruangan itu. Tak berselang lama, Ibu kembali.

Besi! Dengan susah payah Ibu menggendongnya. Untuk apa Ibu membawa tongkat besi itu. Heran aku hanya bisa melihatnya. Ibu memintaku untuk tidak banyak bertanya. Ia hanya menyuruhku untuk menuruti saja apa yang diperintahkan olehnya.

“Gali disini saja, Nak.” Pintanya.

“Tapi, untuk apa, Bu?” tanyaku.

“Sudah, jangan banyak bertanya. Lakukan saja!”

Akupun hanya menurut saja. Salah satu ruang belakang yangbelum di tehelpun lekas aku keduk dengan sebuah linggis. Terus ku rojok tanah yang sudah mengeras itu hingga menjadi sebuah lubang kecil yang dalam. “Masukkan besi ini kelubang sana, Nak!” kembali Ibu memerintah. Aku hanya mengangguk. Setelah usai, aku meng-urugnya kembali dengan menyisakan dari tingginya batang besi yang sudah agak berkarat tersebut.

Kini, besi itupun kokoh terpendam disana. Teguh juga menyisakan kebingungan diotakku. Untuk apa Ibu menyuruhku membuat itu. Kembali aku bertanya, tapi tetap saja Ibu malah memarahiku. Dan ahirnya, aku dan Ibu meninggalkan besi yang setengah terpendam itu dalam ruang yang sepi.

***

Cirebon, Awal 2000

Sedari pagi, aku sudah rapih dengan pakaianku. Ibu menyuruhku untuk mengunjungi Nenek dikota Bandung. Entah mengapa permintaan itu begitu sangat mendadak. Malam Ibu meminta, dan pagi harinya aku sudah siap untuk berangkat.

“Hati – hati dijalan yah, Nak. Salam untuk keluarga disana. Bilang sama Nenek, Ibu belum sempat ke Bandung.” Ujarnya ketika mengantarku. Aku lesuh mengangguk.

Mobil bergerak meninggalkan terminal kota Cirebon. Lambaian tangan Ibu nampak terlihat dari tembusan kaca jendela. Rasanya, begitu sangat berat meninggalkan Ibu dirumah dengan kondisi seperti itu.

Dalam rangkakan mobil, pikiranku tak hentinya memikirkan Ibu yang ada dirumah. Tak terpikirkan olehku, kenapa tidak kami berdua saja bertolak ke Bandung bersama. Setidaknya, aku tidak perlu risau dengan keadaan Ibu.

Mobil berlari begitu cepat, hingga batas Bandungpun sudah aku lihat. Tak lama lagi, aku akan turun dan berganti mobil. Seakan aku sudah mengerti rute perjalan hingga rumah Nenek, karena sudah beberapa kali aku kesana tanpa Ibu mendampingi. Tepat pukul empat, aku sudah menginjak daerah kelahiran Ibu. Tak ada siapapun yang aku lihat saat aku sampai disana.

***

Empat hari di Bandung menyesakkan rindu akan kampung halaman di kota Cirebon. Bukan hanya rumah semata, melainkan Ibu yang membesarkan rindu itu lahir dihatiku. “Bagaimana kabar Ibu, yah?” Harapku agar Ibu baik – baik saja disana.

Sabtu sore itu aku memutuskan pulang kerumah. Setiap jengkal roda mobil memutar, senyumku meletus simpul membayang wajah Ibu. Tidakkah perempuan itu merindukanku seperti halnya aku yang merindukan Ibu.

Hampir lima jam aku duduk menanti hingga sambutan kota Cirebon, beberapa ikat buah tangan titipan Nenek sudah aku bingkis rapih untuk Ibu. Pasti Ibu senang menerimannya. Mobilpun bergerak masuk kedalam terminal, ahirnnya aku sampai juga dikota udang tersebut dan siap berganti mobil untuk sampai kerumah.

Rumahku terpadang dimata kini. Sepi juga menelan akan sebuah kehidupan. Seloroh ku berpikir, pasti Ibu sedang dihalaman belakang atau sedang pergi ke rumah Mang Wawan untuk menjual beras hasil panen.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku kala memasuki rumah.

Senyap menyambut begitu terasa. Namun, kala aku melihat seisi rumah sepertinya pemandangan ini tak pernah aku temukan biasanya. Bukankah Ibu itu seorang perempuan yang tidak tahan dengan rumah yang kotor? Tapi, kenapa rumah ini tak seperti sebelum aku meninggalkannya beberapa hari yang lalu.

Kursi – kursi ruang tamu menghadap arah yang salah. Salah satu bagian dari mereka terkapar pasrah dalam sepi. Begitupun dengan ruang yang disebelahnya. Beberapa pecahan beling berserak tak beraturan. Ada apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apakah aku salah memasuki rumah? Ah. Tidak! Aku masih ingat betul rumah ini. Pintunyapun masih sama, berwarna cokelat pudar.

Ibu! Ingatku. Lekas aku hempaskan seluruh pembawaan yang menggelayut dibadanku. Terlalu lama aku melupakan perempuan itu. Seisi rumah hancur berantakan, berharap tidak pada Ibu.

Panikku lekas menerkam tubuh yang tergelepar dilantai kamar. “Ibu!” panggilku. Lekas kuraih badannya yang lemah. Berharap, masih ada sisa nyawa didalam diri Ibu.

“Ibu!” lagi aku memanggil. Betapa nian aku melonjakkan bola mata kala aku melihatnya. Wajah mojang priangannya yang dulu sedap untuk dipandang kini tak menarik lagi sekedar untuk didelik semata. Beberapa lingkar biru lebam menghiasi wajah perempuan itu. Darah yang mengalir kering juga setia menemaninya dalam ketidak sadaran diri.

“Ibu kenapa, Bu. Siapa yang sudah melakukan ini kepada Ibu, biar Sapto yang membalasnya.” Tangisku.

Tak jua Ibu memicingkan mata. Lekat juga tertutup. Beberapa kali air mataku memandikan wajah Ibu. Darah merahnya yang membeku, perlahan mencair terkikis air jiwaku. Terus aku memanggil, berharap Ibu masih bisa mendengar. Namun sama, tak ada yang berubah sampai sorepun menarik senja. “Ibu, bangunlah!”

***

Tiga bulan setelah kejadian itu, Ibu, semakin menjadi orang yang tidak aku kenali. Ia selalu melamun juga menutup diri. Beberapa kali, Ibu menjerit – jerit tak kenal waktu, tak lama dari itu, Ibu, akan menangis tersedu – sedu tanpa penyebab yang pasti.

Setiap aku memanggil nama Bapak, pasti Ibu akan menggeleng seraya ketakutan untuk mendengarnya. Entah, aku juga tidak mengerti. Apa semua ini karena ulah Bapak? Semenjak aku menemukan Ibu dari kepulanganku, Bapak, tidak pernah kembali lagi kerumah. Tak tahu rimbanya kini dimana.

Bukan hanya itu, beberapa tetanggapun beberapa kali mengadu padaku kala rumah mereka didatengi oleh Ibu. Seringkali rumah mereka diacak – acak oleh Ibu. Pernah suatu kejadian disore hari. Rumah Ibu Siti dua rumah dari tempat tinggalku, kala itu ia sedang pergi kewarung untuk membeli sesuatu. Kepergiannya tanpa dulu mengunci rumah. Pikir Ibu Siti jarak rumahnya dengan warung taklah jauh, ia hanya menutup pintu depan saja dan meninggalkannya. Kala ia kembali, betapa Ibu Siti tercengang melihat kondisi rumah sudah berantakan. Ia bingung, apakah rumahnya habis kemalingan. Dengan seksama dan hati – hati ia merangkak kembali kedalam rumahnya. “Bu Nina!” kaget Ibu Siti melihat Ibuku sedang tersudut diruang dapur. Matanya melebar kala melihat Ibu Siti. Ibu mengejar Ibu Siti hendak mencekik, namun Ibu Siti berhasil melarikan diri dan meminta bantuan kepada yang lain.

“Maafkan Ibu, Ibu Siti.” Tuturku.

Perempuan itu nampaknya mengerti, dan ia hanya bisa mengangguk memaafkan. Akupun kembali membawa Ibu kerumah. Didalam rumah aku menatap wajah Ibu. Kenapa Ibu menjadi orang liar seperti ini. Setelah kejadian dirumah Ibu Siti, kembali Ibu berulah dirumah tetangga yang lainnya. Ibu Retno, Ibu Sinar, Mang Joni, sampai rumah Pak RT pun hampir terjamah oleh Ibu. Mereka mengadu padaku, dan aku hanya bisa meminta maaf.

Mereka menganggap Ibuku sudah gila. Namun aku memprotes keras akan itu. Ibuku tidak gila, akan tetapi beliau hanyalah stress dampak kekerasan yang dilakukan Bapak setiap hari. “Ibu kamu lebih baik dibawa ke rumah sakit jiwa saja, Sapto!” ujar beberapa tetangga. “Tidak, Ibuku tidak gila.” Belaku kepada yang lain.

Semakin hari keadaan Ibu semakin memprihatinkan. Tak pernah aku temui Ibu Dalam keadaan seperti ini. Betapa bingungnya aku mengurus Ibu sendiri. Tak ada kerabat dekat dikota Cirebon, mereka semua hidup di Bandung.

Aku putus asa. Lelahku menjaga Ibu hampir dua puluh empat jam lamanya. Siang aku terjaga, pun pada malam harinya. Sedikit rasa lelahku menunggu Ibu. Entah mengapa, mata Ibu tidak pernah terpejam barang satu jam saja untuk tidur. Beliau terus berbicara dengan topic pembicaraan yang aku sendiripun tak mengerti. “Kamu harus pergi, dia akan kembali!” kata Ibu dalam ketidak sadaran diri.

Menjelang malam, Nenek dan Mang Heri datang berkujung. Bukan tanpa alasan, akulah yang memintanya. Mungkin dengan adanya mereka dirumah ini, bisa sedikit membantu.

“Nina!” panggil Nenek sembari memeluk tak percaya. Dalam dekapan Ibu terus berbicara tak jelas. Mataya terbuka menakutkan bagi orang yang melihat Ibu untuk kali pertama. Nenek menangis menyiram kasih anaknya. Terus ia mengeratkan harapan dalam tangis. Nina, sadarlah!

***

Semua orang menyarankan agar Ibu dipasung saja biar tidak membuat kekacauan didesa ini lagi. Aku kembali menolak keras, namun, Nenek rasanya setuju dengan mereka semua. Kalutku mengembung dalam pikiran.

“Ibu, kenapa Ibu seperti ini?”

Aku menuntun Ibu dalam kesempoyongan. Mang Hendri sudah telihat disana dengan sebuah rantai besar yang terpasang disebuah besi. Bukankah besi itu yang dulu aku buat dengan Ibu! Ah, Tuhan!

Betapa hancurnya aku melihat orang yang aku cintai kini dalam keadaan yang terbatas. Ibu meraung –raung meminta untuk dilepaskan. Kaki kirinya bergelangkan rantai besar yang dikuncikan pada besi yang dulu aku dan Ibu tanam. Kenapa harus ditempat itu. Kenapa harus besi itu? Apakah Ibu sudah mengetahui tanda – tanda akan dirinya dimasa depan sehingga Ibu menyiapkan ini semua jauh – jauh hari. Oh, Ibu, aku menangis karenamu.

Kasih Ibu kepada beta, tak tehingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya, menyinari dunia!

Lirih aku menyenandungkan lagu itu untuk Ibu. Dalam raungan, aku melihatnya menjadi sesosok yang berbeda. Tak ada yang berbeda, hanya saja cara pikirnya yang berbeda. Simpul aku menatap. Tak kuat aku melihat. Ibu! Maafkan Sapto. Terus aku menagis.

Tak percaya. Perempuan yang sudah memanjakanku dengan cinta harus berahir dalam gelangan pasungan. Yang lebih menyakitkan, aku sendirilah yang ikut serta melakukannya. Namun, bukan karena aku tidak cinta akan tetapi untuk kebaikan semua.

“Ibu, Maafin Sapto sudah melakukan ini. Percayalah, Sapto akan menjaga Ibu sebisa Sapto. Sapto sayang Ibu sepenuh jiwa, Sapto.” Tuturku disusul kecupan sayang kekening Ibuku yang terpasung besi.

- Selesai –

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun